Rabu, 23 November 2011

Sejak SMP, Shalat Jum’at Saya Sudah Terpisah Dari Yang Lain (1)

Mantan LDII: Sejak SMP, Shalat Jum’at Saya Sudah Terpisah Dari Yang Lain (1)

Friday, 27/05/2011 15:30 WIB | Arsip | Cetak

Belum lagi usai kasus NII, Indonesia kembali digegerkan lewat kasus perceraian Adam Amrullah Adam dengan Narendra Garini Anutama Natakusumah. Kasus ini bermula saat Adam memutuskan keluar dari LDII (Islam Jama’ah) karena sadar akan kesesatan Jama’ah yang eksis di tahun 70-an tersebut. Sang istri tidak menerima, Karena Adam sudah tergolong kafir.



Padahal jika melihat rekam sejak selama ini, jabatan Adam di LDII bukan main-main. Ia adalah seorang mantan petinggi kepemudaan di Lembaga Dakwah Islam Indonesia.

“Saya dulu Ketua Pemuda LDII Se Jakarta Timur dan pengurus Forum Mahasiswa Islam Jama’ah Sejabotabek.” Katanya kepada Eramuslim.com, Jum’at pagi, 27/05/2011.
“Dari kakek, nenek, sampai ibu dan ayah saya juga LDII. Keluarga besar kami LDII,” tambahnya.

Untuk mengetahui lebih jauh mengenai kiprah Adam di LDII hingga alasannya keluar dari LDII, berikut petikan wawancara wartawan Eramuslim.com, Muhammad Pizaro dengan Adam Amrullah, yang dilakukan Jum’at pagi, 27/05/2011, di sebuah tempat di bilangan Jakarta Selatan. Selamat Membaca..

Bisa Anda Ceritakan Awal Anda Terfikir Berhenti Dari LDII?

Kalau dimulai dari ragunya sebenarnya saya dari kecil sudah ragu, yaitu sejak SD. Dulu di TV ada berita tentang pahlawan bernama Sultan Hasanuddin. Disitu diceritakan Sultan Hasanuddin berperang dan meninggal karena tertembak. Saya lalu bertanya ke orangtua, “Pak, beliau ini pahlawan dan orang Islam apakah dia masuk surga?” Lalu ayah saya jawab dengan ringan, “tidak!”. Lalu saya tanya lagi, “Kenapa Tidak?” Ayah saya bilang, “Karena dia (Sultan Hasanuddin, red.) bukan jama’ah kita.

Kenapa saya tanya begitu? Karena memang di LDII, orang yang diluar jamaah tidak bisa masuk surga. Saya tidak bisa berfikir. Padahal seharusnya Sultan Hasanuddin sudah berperang sampai mati akan mendapat pahala besar. Cuma itulah di Islam Jama’ah jika bukan jama’ahnya maka orang itu kafir.

Semua Keluarga Anda LDII?

Dari kakek dan nenek, baik pihak ibu dan pihak bapak itu semuanya Islam Jama’ah. Sampai anak-anak-cucunya, hingga cicit itu Islam Jama’ah. Mereka menyebutnya awalun mukminin, karena menurut mereka orang sebelum mereka bukan orang beriman. Itu kan bathil sekali, Walisongo itu belum dianggap Islam oleh mereka dan masih dianggap jahiliyah sebelum datangnya Nurhasan (Al-Imam Nurhasan Ubaidah Lubis Amir, pendiri Islam Jama’ah di Indonesia, red.).

Memiliki Keluarga Yang Taat LDII, kok Anda Sendiri Memilih keluar?

Pertama saya ini orangnya suka memperhatikan. Dan saya melihat, mereka memang semangat mengaji, tapi untuk shalat, mereka shubuhnya telat. Dan itu banyak, tidak satu-dua orang. Saya mulai ragu kok begini, padahal katanya orang benar. Sedang teman-teman saya di luar Islam jamaah, kok sholatnya pada khusyuk sekali, sedangkan saya sendiri shalat sering terburu-buru. Lho, orang yang shalat khusyuk kaya begini kok dikafirkan oleh Islam Jama’ah.

Ternyata mereka punya dalil yang unik, yakni ‘siapa saja yang beramal di dalam jamaah, kalau dia benar Allah akan terima, kalau salah, Allah akan maafkan.’ Makanya orang di luar Islam Jama’ah itu hina.

Saya pas kuliah pun mulai berani berdakwah, karena niatnya menyelamatkan teman-teman saya untuk tidak masuk neraka. Saya bawa berbagai kitab kuning, At Tirmidzi dan lain sebagainya.

Tapi pas Kuliah Tidak Ada Yang Memberitahu Anda Bahwa LDII itu Sesat?

Oh.. ada. Saya tantang debat, kalah dia. Karena saya hafalan dalilnya banyak saat itu. Sampai ada satu orang yang masuk LDII, dan sekarang tidak mau keluar. Astaghfirullah (Tertawa sambil geleng-geleng kepala). Di tempat saya kerja juga aneh, karena saya tidak pernah shalat berjamaah bersama mereka.

Jadi Memang Anda Harus Bara’ Dengan Orang Non Islam Jama’ah, Termasuk Dari Perkara Shalat?

Iya memang tidak boleh.

Tidak Sah?

Memang tidak sah dan tidak akan diterima. Bahkan saat saya SMP jika Shalat Jum’at, saya selalu dijemput orangtua. Kita shalat sendiri di mesjid Islam Jama’ah.

Oh Ada Ya?

Oh banyak sekali di Jakarta.

Lalu Jika Ada Orang Yang di Luar Islam Jama’ah Ingin Shalat Disana?

Kalau ada tamu-tamu atau tetangga yang tidak tahu tentang Islam Jama’ah biasanya berani. Tapi kalau mereka tahu itu milik Islam Jama’ah mereka tidak akan berani. Jika dia bukan Islam Jama’ah biasanya habis itu dipel. Karena bagi Islam Jama’ah, mereka (non Islam Jama’ah, red.), dinilai tidak bisa bersuci sebagus mereka. Jadi mereka itu sebenarnya bagus, tapi lebay. Bahasa agamanya ghuluw. Orang-orang jadi tidak tenang karena sedikit-dikit najis. Sampai ada saudara saya yang menderita gila karena takut dirinya najis. Saudara saya beneran gila sampai sekarang ini. Jadi akidah ini (LDII, red.) sudah banyak memakan korban.

Tahun Berapa Anda Memutuskan Keluar?

Setelah menyaksikan kebenaran-kebenaran. Saat itu saya ikut ESQ tahun 2007, siapa tahu dapat channel dan saya ingin tahu. Melihat begitu banyak orang sayang kepada Allah dan RasulNya, saya kembali berfikir kenapa mereka dicap kafir. Tapi saya tidak mengerti kala itu, karena ilmu saya belum sampai. Jadi terkesan, dalam pandangan Islam Jama’ah, kok mau berislam susah sekali. Kita harus baiat, imamnya mengumpat lagi. Anda saja tidak tahu kan dimana imamnya?

Jadi Baiat Itu Bagian Dari Rukun Islam Jama’ah?

Itu pengali. Jika shaum, zakat, shalat anda beres, rukun iman pun beres, kalau tidak baiat sama saja dikali nol. Ngeri kan? Itu rumus yang saya bikin sendiri. Bahasa mereka kalau Islam tidak jamaah sama saja mencret. Tidak lama setelah itu saya lihat banyak guru-guru dari Islam Jama’ah yang keluar. Ini kan menarik, kok ulama yang mengerti bahwa keluar dari Islam Jama’ah menjadi murtad dan kafir, kenapa malah memutuskan keluar.

Lalu pada tahun 2008, saya banyak berdiskusi dengan teman-teman dari PKS. Saya lihat tampang mereka baik-baik, sholatnya tenang, mereka juga membaca Qur’an, masak orang seperti ini kafir sih? Akhirnya saya mulai berkenalan, tetapi saya masih belum berani shalat bareng mereka. Kalau ada kajian saya suka nguping sedikit.

Akhirnya saya mulai berani bertanya tentang Islam. tentang hadis bahwa Umat Islam akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya di dalam neraka, kecuali satu millah. Kebetulan saat itu ada ikhwan dari Ahlussunah dijelaskan, “Akhi memang saat ini kita terpecah menjadi banyak aliran, cuma jama’ah yang tauhidnya beres, itu berhak masuk surga.” Wah waktu itu saya gembiranya subhanallah. Jangan-jangan ini jawaban yang benar yang selama ini saya cari.

Memang saat di LDII, anda tidak boleh bertanya ke jama’ah atau Ustadz lain?

Tidak boleh. Apa-apa tidak boleh. Di Islam Jama’ah itu terlalu memposisikan Imamnya ketinggian. Jadi seakan-akan jika melanggar ucapan Imam itu seperti terkena karma dan kualat. Padahal banyak kader yang keluar setelah mendapat pencerahan bahwa LDII itu sesat.

Tapi faktanya oleh imam selalu diputar balikkan. Karena ketika tahu ada jama’ah yang keluar, Imamnya langsung ngomong kepada jama’ah, “Lihat tuh mereka jadi ahli neraka, karena tidak taat pada imamnya. Disuruh jangan baca buku (dari jama’ah lain), malah baca buku, akhirnya keluar.”

Saya selalu berusaha mencari perbandingan dengan NU, Muhammadiyyah, PERSIS, Ahlus Sunnah, dan semuanya, mereka ternyata sepakat bahwa ushul itu tauhid. Lha Islam Jama’ah kok beda sendiri? Lalu saya berfikir apa yang membedakan, apakah ada definisi lain tentang baiat? Akhirnya setelah saya ikut banyak pengajian (diluar Islam Jama’ah), saya sadar seluruh nabi mengajarkan tauhid, mengesakan Allah dan mengenyampingkan Tuhan-tuhan yang lain. Dan ternyata menuruti kata Imam, walau itu salah harus diikuti.Itu kan rusak tauhidnya, karena dia memposisikan imam lebih tinggi dari Allah.
Bahkan jika Allah dan Rasul bilang halal, imamnya bilang haram, maka bisa jadi haram.

Contohnya?

Contohnya apa? Banyak. Jika orangtua meninggal. Orangtuanya Islam Jama’ah, anaknya tidak, tapi anaknya beragama Islam, dapat waris gak? Secara umum dapat waris kan? Tapi dalam Islam Jama’ah, orang kafir tidak boleh dapat waris.

Lalu masalah menikah, ada orang NU boleh tidak nikah dengan Muhammadiyyah? Orang Islam Jama’ah bilang haram (jika Islam Jama’ah menikah dengan jama’ah lain, red.) Betapa syariat ini hancur jika manusia menggantikan posisi Allah tentang halal-haram. Makanya, setiap mengaji saya menangis, betapa saya bodoh sekali selama ini.

Apakah Anda Sempat bertanya ke Ustadz-ustadz di LDII tentang Keganjilan ini?
Jelas. Sebagian dari mereka ternyata sudah ada yang sudah tahu bahwa selain kita ini (non Islam Jama’ah, red.) masih beragama Islam. Tapi fakta ini ditutup-tutupi. Padahal ini penting. Ilmu punya, tapi tidak disampaikan, ini kan aneh? Dan saya sempat dilarang mengaji di luar Islam Jama’ah, lalu disidang oleh keluarga besar karena doktrinnya selain dari Islam Jama’ah itu kafir dan tidak bisa masuk surga.

Dan itu selalu didengung-dengungkan setiap anda mengaji?

Iya. Barangsiapa yang melaksanakan Qur’an, Hadis, dan baiat wajib masuk surga, barangsiapa yang tidak bersungguh-sungguh dan tidak berbaiat wajib masuk neraka. Akhirnya saya tidak kuat mengaji. Saya cuma menghadiri pengajian seminggu sekali, bahkan sebulan sekali. Padahal dulu di keluarga, saya yang paling aktif mengajak keluarga ke pengajian. (pz/bersambung)

Mantan LDII: Saya Dibilang Akan Dihancurkan Allah dan Masuk Neraka

Pembaca Eramuslim, pada lanjutan wawancara kedua ini, banyak diceritakan pengalaman Adam Amrullah saat keluar dari LDII. Adam mengaku mendapat banyak sekali cobaan, teror, dan ujian yang mengalir deras. Dari mulai ancaman verbal sampai ancaman penghilangan nyawa.
Foto: Dokumen Pribadi Adam Saat Menunaikan Umroh Tahun 2008

Foto: Dokumen Pribadi Adam Saat Menunaikan Umroh Tahun 2008

“Setiap orang yang keluar dari jamaah LDII itu halal dibunuh. Bahkan dengan sesama pendekar Silat di LDII, saya mau dihabisi. Padahal itu teman saya sendiri, karena saya juga pelatih silat di Islam Jama’ah.” Ujarnya tersenyum lagi heran.

Tidak hanya itu, keputusan para jama’ah yang keluar LDII sering kali direspon dengan ejekan. “Kamu gak usah shalat lagi, kamu kan sudah kafir.” Kata Adam menirukan gaya para Imam di LDII.

Bagaimanakah kelanjutan dari wawancara wartawan Eramuslim.com, Muhammad Pizaro, dengan Adam Amrullah? Berikut petikannya. Selamat Membaca.

Apa Yang Anda Terima Ketika Keluar dari LDII?

Saya disuruh cerai sama mertua saya. Disitu saya sangat kaget, wah memang jamaah ini sesat. Dulu sebelum cerai, saya bersama istri bisa pelukan sepuluh kali sehari. Saya sangat sayang sama istri saya, saat istri saya sakit TBC selama setahun, dan sempat tidak bisa jalan karena sakit saraf di pinggangnyasaya yang merawatnya. Bahkan saya mencebokinya saat sakit. Sebelum saya tunjukan akidah Islam saya hubungan kami baik semua. Tapi setelah keluar semuanya berubah.

Bahkan istilah yang dipakai untuk mencap orang yang keluar dari LDII disebut anjing neraka. Jadi saya dicap jelek, dicap mau menghancurkan jama’ah LDII. Padahal saya mengajak orang untuk tidak menganggap jama’ah di luar LDII itu kafir. Apalagi sekarang diwawancara (dan mulai berbicara) di media.

Terus dilihat seakan-akan saya adalah orang hina, sepertinya saya ini penjahat. Sorot muka mereka tidak senyum.

Memang Anda Masih Berinteraksi Dengan Para Kader LDII?

Saudara saya kan disana semua, termasuk tetangga. Akhirnya saya mulai ditelepon dan dikirimi email, saya dibilang kalau saya sudah murtad. Akhirnya saat itu saya merasa down dan strees. Dicap murtad itu tidak enak. Saya juga diancam. Mereka bilang, “kamu akan dihancurkan Allah dan masuk neraka.”

Kami Dengar Termasuk Ancaman Pembunuhan?

Oh.. itu merata. Artinya setiap orang yang keluar dari jama’ah LDII itu halal dibunuh. Bahkan dengan sesama pendekar silat di LDII, saya mau dihabisi. Padahal itu teman saya sendiri, karena saya juga pelatih silat di Islam Jama’ah. (Tertawa) Emangnya Saya makanan mau dihabisi.

Ada yang Bilang LDII itu Sudah Memiliki Paradigma Baru. Bahkan itu Di situs LDII dikatakan bahwa Mereka Berbeda Dengan Islam Jama’ah. Tanggapan Anda?

Sebenarnya dari tahun 70-an juga banyak yang keluar, tapi tidak terekam. Jadi dari dulu sudah banyak yang keluar, Cuma beritanya dipendam. Nah baru di tahun 2004 mulai banyak kasus keluarnya beberapa orang dari Islam Jama’ah yang berani muncul. Sabar dengan berbagai penganiayaan.

Mengenai paradigma baru, sampai kemarin saja masih ada yang keluar dari LDII. Bisa ditanya (kepada mereka) apakah LDII sudah memiliki paradigma baru? Menurut saya, ini topeng baru. Mengakunya punya paradigm baru, aselinya bohong. Bisa ditanya kepada seluruh jama’ah yang keluar. Kalau LDII mengaku punya paradigma baru. Kita juga bisa lihat dari kenyataan, yang keluar-keluar ini bisa memberi testimoni.

Kedua, pernahkah anda melihat orang-orang LDII yang tinggal di sekitar mesjid umum? Mereka shalat dimana? Katanya sudah paradigma baru, kok tidak kelihatan shalat di Mesjid? Lha katanya sudah tidak mengkafir-kafirkan? Itu kan perlu bukti. Kalau cuma ngomong doang sih bisa. Buktinya apa? Kalau Shalat Jum’at mereka masih shalat di mesjidnya sendiri. Waktu idul adha dan idul fitri begitu juga. Artinya apa? Artinya ini kan mereka masih memisahkan diri dari jama’atul muslimin yang lain. Apakah ini paradigma baru? Kalau menurut saya tidak.

Lantas Apa Beda Islam Jama’ah dengan LDII?

Islam Jama’ah itu intinya, ruhnya dan batinnya, sedangkan LDII itu bajunya.

Bisa Anda Jelaskan Lebih Detail?

Oke, Islam Jama’ah adalah sebuah sekte, sebuah sempalan Islam, dengan tata cara ibadah dan keyakinan sendiri, yang untuk memperlancar eksistensinya, memperlancar dakwahnya, mereka tidak mau dianggap organisasi yang ilegal akhirnya mereka membuat organisasi. Cuma organisasinya pun banyak, kadang-kadang mereka memakai nama LDII, kadang-kadang mereka memakai nama Pecinta Alam Indonesia, ada juga yang pakai baju Pramuka. Isinya sama, orang-orang Islam Jama’ah juga.

Islam Jama’ah ini Sekte Internasional atau Hanya Cakupan Lokal Indonesia Saja?
Asal muasalnya dari Kediri. Nurhasan Al Ubaidah Lubis yang mendirikan. Yang membuat thoriqoh ya itu dia, termasuk mewajibkan persenan dan baiat.

Jadi Hampir Sama dengan NII?

Saya kalau melihat NII seperti melihat LDII Sendiri. Mirip sekali dengan NII. Memang berbeda dalam beberapa hal, tapi intinya tetap sama, duit, metodenya rahasia, dan kalau keluar dianggap halal dibunuh. Cuma LDII lebih lihai mendekati penguasa, tokoh masyarakat, dan orang-orang penting.

Apa Bisa Dikatakan Mereka Tidak Konsisten, Bukankah Orang Diluar Kelompok Disebut Kafir?

Tidak ada konsistensi dalam diri mereka. Istilahnya begini, dalam perkara yang menimpa mereka, mereka akan menghalalkan berbagai cara. Contohnya, ketika ada kasus triliunan rupiah, mereka menasehati para jama’ah apa? Supaya sabar dan tidak usah memproses ke pengadilan, karena Undang-undang Indonesia adalah hukum thoghut.

Tetapi ketika ada kasus Pak Bambang Irawan (Digugat LDII ke Pengadilan karena kasus pencemaran nama baik tahun 2006, red.), mereka pinjam hukum thaghut, mereka sewa pengacara-pengacara mahal untuk memenjarakan Bambang Irawan. Jadi mereka benar-benar licik sekali. Kapan dia mau pakai, dia pakai. Padahal itu katanya hukum thoghut.

Anda Tidak Membuat Forum Untuk Para Mantan LDII?

Alhamdulillah satu per satu kenalan demi kenalan mulai menyimpan nomor telepon. Jadi mulai tahun 2009, kami mulai koordinasi. Akhirnya kita bikin silaturahim dan bikin link. Ada yang dari Sumatera dan Sulawesi. Yang belum dari Kalimantan, saya dapat laporan katanya disana sangat ekstrem. Kalau tahu bahwa mereka keluar dari LDII, mereka bisa mati. Akhirnya, beberapa dari mereka lari ke Jawa.

Dan akhirnya saya bikin forum atas saran tokoh-tokoh agama, namanya Forum Ruju’ Ilal Haq, forum orang-orang yang taubat kembali menuju al haq. Ini forum mantan LDII.
Ini pun belum banyak dari mereka yang berani muncul. Karena mental mereka selama ini sudah biasa dicuci otaknya, jadi mudah takut dan minder. Bahkan ada yang lucu, ketika ada jama’ah yang keluar, imam-imamnya di LDII itu bilang kepada mereka, “Sudah ngapain kamu shalat, kamu kan sudah kafir.”

Jadi beberapa yang keluar itu merasa down. Kecuali mereka yang diberi kekuatan oleh Allah. Dan saya sendiri bisa seperti ini setelah melalui proses panjang, ikut kajian tauhid, sampai mentalnya bisa seperti sekarang. Alhamdulillah ini rahmat dari Allah.

Lalu Apa Rencana Anda Ke Depan Untuk Membuka Mata Umat Mengenai Permasalahan LDII?

Misi pertama kita adalah misi perlindungan, karena kami sangat kecil dan yang dipites itu gampang. Akhirnya kami merapat ke Forum Umat Islam (FUI). Alhamdulillah dengan izin Allah, kami diterima. FUI menganggap kami adalah bagian dari FUI yang terdiri dari 43 Ormas, yang Sekjennya Ustadz Muhammad Al Khathathth dan Ustadz Munarman. Jadi, kalau ada apa-apa kami disuruh memberi laporan dan koordinasi.

Selain misi perlindungan, karena banyaknya penganiayaan, misi kami selanjutnya adalah memberikan informasi seluas-luasnya ke kaum muslimin tentang kesesatan LDII. Akhirnya kami presentasi ke Departemen Agama, MUI, dan FUI. Tapi dari ketiga lembaga ini, yang paling memberi perhatian FUI saja, sepertinya yang lain adem-adem saja.

Ketiga, misi kami mengajak orang-orang yang di Islam Jama’ah untuk ruju’ ilal haq. kembali ke jalan Islam yang benar.

MUI Bagaimana?

Kami sudah presentasi, tapi kami malah dibilang memberi berita palsu, (oleh oknum MUI, red.). Akhirnya kami kasih bukti. Mereka bilang ini butuh dicek. Saya tantang balik, ya sudah silahkan saja dicek. Dalam hati saya, kami kok keluar dari aliran sesat malah tidak dianggap gembira. Dia bilang kita perlu meng-cross-check lebih jauh lagi.

Beda dengan FUI, mereka gembira menerima kita. Ahlan wa sahlan istilahnya. Rata-rata mereka senang. Saat saya mengaku bahwa saya adalah mantan Islam Jama’ah, ada yang diantara kita dipeluk, kita didoakan sampai nangis-nangis, dan kami sangat disayang.

Kalau Departemen Agama berada dalam pertengahan, ada yang mendukung, ada yang biasa-biasa saja, tapi ya dingin-dingin saja begitu. Saya tidak mengerti masalahnya dimana. Selain itu, yang menerima kami juga ada dari Forum Ulama Umat Indonesia (FUUI) Bandung yakni Ustadz Athian Ali dan Ustadz Hedy.

Pesan Anda Kepada Orang-orang yang Masih di LDII?

Pesan saya banyak-banyak istighfar. Karena jujur di hati kita kesombongannya luar biasa besar. Contoh ada orang shalat, tapi hati kita bilang percuma saja shalat tapi kafir. Itu adalah kesombongan yang luar biasa dalam diri kita. Jadi saya hanya bisa bilang kita istighfar dan mohon ampun kepada Allah. Semoga dengan taubatnya kita, Allah memberikan hidayah. Karena dalam pandangan saya, rata-rata orang-orang Islam Jama’ah adalah orang-orang yang semangat mencari ilmu.

Yang kedua, bertanyalah ke Ulama yang bukan Islam Jama’ah. Dan ketahuilah tidak ada satupun Ulama di dunia ini apalagi di sampai akhirat nanti, yang menyatakan Ulama Islam Jama’ah itu yang paling pinter dan yang paling mengerti Qur’an dan hadis. Ternyata setelah saya selidiki yang paling terbelakang adalah ilmunya itu (pemahamannya Islam Jama’ah, red.).

Mereka kan mengakunya membaca kutubus sittah (Shahih Al Bukhari, Shahih Muslim, Sunan An Nasa`i, Sunan Abi Dawud, Sunan At Tirmidzi, dan Sunan Ibnu Majah, red.) tapi pemahaman siapa? Ternyata pemahamannya Nurhasan, bukan pemahamannya para Ulama.

Contoh dalil wa mimma rozaqnahum yunfiqun, ada gak ulama di dunia ini yang dari zaman Rasulullah sampai akhir zaman yang menyatakan ayat itu terjemahannya supaya menyetor 10 persen uangnya ke imamnya? Tidak ada kan? Kalau tidak bayar dihitung hutang? Berlipat kalau bulan depan tidak bayar? Artinya apa? Saya melihat pemahaman orang-orang Islam Jama’ah itu ngaco.

Apalagi yang lebih parah ushuluddin itu mereka anggap kalau tidak baiat hidupnya haram, makannya haram, nikahnya haram, tidurnya pun haram. Padahal Ushuluddin itu tauhid. Man qola La ilaha Illallah dakholal jannah'. Tapi kalau di Islam Jama’ah, kalau tidak baiat kafir, pas ditanya apa dalilnya, malah bengong.

Memang ada baiat yang syar’i, tapi ketahuilah baiat yang (syar’i) diberikan kepada penguasa muslim yang mengatur maslahat orang Islam, yang jelas eksistensinya, dan diketahui kekuasaannya, bukan baiat sempalan. Tapi kalau baiat diberikan kepada orang yang ilmunya tidak jelas, akhirnya seperti Islam Jama’ah. (pz/habis)
Lainnya (Arsip)

Membongkar Kesesatan LDII : Bantahan Manqul (2)

Senin, 25-September-2006, Penulis: Al Ustadz Qomar ZA, Lc

Dalil-dalil Manqul LDII

Disini akan kami sebutkan dalil-dalil mereka dalam hal manqul dan akan kami jelaskan kedudukan dalil atau pemahaman dari dalil itu - Insya Allah - .

Diantara dalil mereka:
Pertama,
Firman Allah Ta'ala:
لَا تُحَرِّكْ بِهِ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَ بِه ِ(16) إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْءَانَهُ (17) فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْءَانَه ُ(18) ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا بَيَانَهُ(19(
Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran karena hendak secepat-cepatnya (menguasai)nya. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila kami telah selesai membacanya maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, atas tanggungan kamilah penjelasannya. [Al Qiyamah:16-19]

وَلَا تَعْجَلْ بِالْقُرْءَانِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يُقْضَى إِلَيْكَ وَحْيُهُ ...(114)
"Dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al Quran sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu." [Thaha:114]

Kajian
Ibnu Katsir mengatakan: firman Allah …ولا تعجل بالقرآن seperti firman Allah dalam surat (al Qiyamah) ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا بَيَانَهُ …لاتحرك به لسانك…terdapat riwayat dalam kitab Ash Shahih dari Ibnu Abbas, bahwa beliau mengatakan: "Bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam mengalami usaha yang payah dalam menghafal wahyu, sehingga beliau menggerak-gerakkan lidahnya (untuk menghafal-pent), maka Allah turunkan ayat ini. Yakni bahwa Nabi dulu, jika datang kepada beliau Malaikat Jibril dengan wahyu maka setiap kali Jibril mengucapkan satu ayat Nabi menirukannya karena semangatnya untuk menghafal, maka Allah bimbing kepada yang lebih mudah dan ringan supaya tidak berat baginya, sehingga Allah berfirman (yang artinya): "Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran karena hendak secepat-cepatnya (menguasai)nya. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya" Yakni, Kami jadikan itu hafal di dadamu, lalu kamu (nanti) bacakan kepada umat manusia dan kamu tidak akan lupa sedikitpun. "Apabila kami telah selesai membacanya maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, atas tanggungan kamilah penjelasannya".

Dan dalam ayat ini, Allah berfirman(artinya) : "Dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al Quran sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu".Yakni diamlah kamu dan dengarkan, jika malaikat selesai membacakannya kepadamu maka bacalah setelahnya …[Tafsir Ibnu Katsir : 3/175]. Jadi ayat ini menerangkan bagaimana Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam menerima wahyu dan bahwa nabi disuruh membaca setelah bacaannya Jibril. Namun orang-orang LDII menyimpulkan bahwa kalau begitu harus manqul dalam belajar, kalau tidak maka tidak sah. Pertanyaan kami, mana yang mengatakan bahwa jika tidak demikian, maka tidak sah?? Bahkan sampai dianggap kafir??.

Lalu seandainya cara demikian itu wajib tentu Nabi akan praktekkan kepada semua orang, tapi ternyata tidak, buktinya surat-menyurat Nabi dengan para raja. Kemudian tentu para Sahabat juga akan mengikutinya, tapi ternyata tidak buktinya surat menyurat mereka [lihat dalam pembahasan Mukatabah di atas dan al Wijadah]. Lihat pula bagaimana ulama mengambil pelajaran dari ayat itu. As Sa'dy mengatakan: "Dalam ayat ini ada adab menuntut ilmu agar seorang murid jangan memotong guru dalam masalah yang sedang dia mulai terangkan, lalu jika guru selesai maka baru ia bertanya yang belum paham.

Demikian pula jika di awal penjelasan ada yang mengharuskan untuk dibantah atau dinilai baik, maka jangan langsung dibantah atau dinyatakan diterima sampai ia selesai menjelaskannya, supaya jelas yang benar dan yang salah …" [Tafsir as Sa'dy : 899, lihat pula hal. 514].

Tidak ada faidah yang diambil dari ayat itu bahwa ilmu itu wajib manqul, dimana kalian dari penjelasan ulama tafsir, justru kalian tafsiri dari diri kalian sendiri !??.

Kedua,
Firman Allah Ta'ala:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا (36(
"Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak memiliki ilmunya sesungguhnya pendengaran, pengelihatan, dan hati seluruhnya itu akan ditanya tentangnya" [al Isra:36]

Kajian
Tafsir ayat ini, Qatadah mengatakan: "Jangan kamu katakan bahwa kamu melihat sementara kamu tidak melihat, mendengar sementara kamu tidak mendengar, mengetahui sementara kamu tidak mengetahui karena Allah akan bertanya kepadamu tentang itu semua." Ibnu Katsir mengatakan: "Kandungan tafsir yang mereka (para ulama) sebutkan adalah bahwa Allah melarang untuk berbicara tanpa ilmu bahkan sekedar dengan sangkaan yang itu hanyalah perkiraan dan khayalan [Tafsir Ibnu Katsir:3/43] demikian tafsir para ulama. Maka dari sisi mana dan atas dasar tafsir siapa ayat ini sebagai dasar sistem manqul ala LDII ??? Sementara para ulama' tidak kenal sama sekali sistem manqul seperti itu.

Ketiga,
من قال في القرآن برأيه فأصاب فقد أخطأ
'Barangsiapa membaca/mengartikan Al Quran dengan pendapatnya sendiri (tanpa manqul), walaupun benar maka sungguh-sungguh hukumnya tetap salah (HR Abu Daud) (Ini terjemah LDII dinukil dari Bahaya LDII hal. 254)

[Arti yang benar lebih umum dari pada itu mencakup menafsiri al Quran. Ubaidullah al Mubarakfuri mengatakan: Yakni, berbicara tentang lafadznya, bacaanya, maknanya dan kandungannya. [Mir'atul mafatif syarh Misykatul Mashabih:1/330]-pen]

Kajian
Hadits ini lemah, diriwayatkan oleh Abu Dawud [Kitabul 'Ilm:4/43], Tirmidzi [5/184], Nasa'i [Sunan Kubra kitab Fadhailul Quran:5/31], Ibnu Jarir at Thabari [dalam tafsirnya:1/25]. Semuanya melalui jalan (sanad yang sampai kepada) Suhail bin Mihran bin Abi Hazm al Qutha'i. [Dalam kitab Taqributtahdzib: (kunyahnya) Abu Abdillah dikatakan pula bahwa ayahnya adalah Abdullah al Qutha'i - pen] Dari Abu 'Imran (Abdul Malik bin Habib) al Jauni, dari Jundab dari Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bahwa Nabi mengatakan:…(hadits tersebut)

Hadist tersebut 'illahnya pada Suhail bin Mihran bin Abi Hazm al Qutha'i. Imam Ahmad, Ibnu Ma'in, al Bukhari dan yang lain mencacatnya (Tahdzibut tahdzib:4/261) dan Ibnu Hajar mengatakan: Dha'if (lemah). (Taqribut tahdzib:421). Demikian, sanad hadits ini lemah karena ada seorang rawi yang dha'if.

Asy syekh al Albani mengatakan tentang hadits ini: Dha'if [Dha'if, Sunan Abu Dawud:3652, hal.294 dan Miyskatul Mashabih, no:235], al Baihaqi mengatakan: Pada hadits ini ada kritikan ['Aunul Ma'bud:10/85].

Keempat,
من قال في القرآن بغير علم فليتبوأ مقعده من النار
'Barangsiapa membaca Al Quran tanpa berilmu atau manqul maka hendaknya menempati tempat duduknya di neraka' (HR Tirmidzi) (Ini terjemah LDII dinukil dari Bahaya LDII hal. 254)
[Terjemah yang benar bukan membaca bahkan lebih umum dari pada itu termasuk menafsiri atau menerjemahkannya, lihat al Kifayah fi 'Ilmirriwayah:343-pen]

Kajian
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud: [kitabul Ilm ], At Tirmidzi: 5/183 dan beliau mengatakan: "Hasan Shahih", An Nasa'i dalam Sunan al Kubra : [kitab Fadhailil Quran:5/31], Ahmad 1/233, 323, 293 [Demikian disebutkan oleh al Mizzi dalam Tuhfatul asyraf:4/423 demikian pula Ibnu Hajar dalam an Nukatudhiraf:4/423, sementara tidak saya dapati dalam sunan Abu Dawud di Kitabul 'Ilm kemudian saya dapati asy Syekh Ubaidullah al Mubarakfuri mengatakan dalam bukunya Mir'atul Mafatih:1/331: Saya tidak mendapatinya dalam Sunan Abu Dawud, namun nampak dalam Mukhtashor Jami' al Mawarits karya al Mizzi demikian pula al 'Iraqi dalam takhrijnya terhadap Ihya' bahwa hadits tersebut dalam riwayat Abu Dawud Kitabul 'ilm dalam sunannya melalui riwayat Ibnul 'Abd… (Lihat, al Mughni 'An Hamlil asfar Juz:1/29 no:101 cet maktabah dar thabariyyah-pent) Ibnul 'Abd adalah salah satu periwayat sunan Abu Dawud. -pen] , 327 dan ad Darimi dalam Musnadnya : 1/76, tetapi dengan matan yang lain. Dan Ibnu Jarir at Thabari dalam Tafsirnya:1/34, semuanya melalui jalan Abdul A'la dari Said bin Jubair dari Ibnu 'Abbas. Dari Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bahwa beliau mengatakan:….(hadits tersebut). Abdul A'la dalam sanad tersebut adalah Ats Tsa'labi, Ibnu Hajar mengatakan: "Shaduqun Yahim, yakni hafalannya tidak begitu kuat dan suka keliru."

Hadits ini diriwayatkan juga secara mauquf yakni hanya sampai kepada Ibnu Abbas, diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari dua jalan yang pertama: Muhammad bin Humaid dari al hakam bin Basyir dari 'Amr bin Qois al Mula'i dari Abdul a'la dengan sanad tersebut di atas tapi sampai kepada Ibnu Abbas saja.
Kedua: Dari Ibnu Humaid dari Jarir, dari Laits, dari Bakr, dari Said bin Jubair dari Ibnu Abbas.
Ibnu Hajar mengatakan: Ibnul Qhotton menshahihkannya [An Nukatudhiraf: 4/423]. Asy Syekh al Albani mendhaifkannya dalam Misykatul Mashabih [No:234 Juz:1/79]. Lalu saya dapati beliau mentakhrij hadits ini panjang lebar yang berakhir dengan kesimpulan Dha'if dan membantah yang menshahihkannya dalam kitabnya Silsilah al Ahadits Adh Dhaifah : 4/265, no:1783 , silahkan dilihat.

Demikian derajat hadits ini, seandainyapun shahih, maka bukan artinya harus manqul seperti dipahami dan diterjemahkan demikian oleh LDII, tidak ada kata manqul dari tidak mengandung makna manqul sama sekali. Arti yang benar pada hadits pertama (dengan pendapatnya) dan pada hadits kedua (tanpa ilmu) tetapi mereka menafsirinya dengan tanpa manqul, bukankah ini manipulasi makna hadits. Kalau begitu apa sebetulnya makna hadits itu bila shahih, untuk itu kami akan nukilkan penjelasan ulama.

Dalam kitab Aunul Ma'bud, Syarah Sunan Abu Dawud disebutkan: "(dengan ra'yunya/pendapatnya) yakni sekedar dengan akalnya dan dari dirinya sendiri tanpa meneliti ucapan para Imam dari ulama ahli bahasa Arab yang tidak sesuai dengan kaidah syar'iyyah, bahkan dia sesuaikan dengan akalnya, padahal (pemahaman terhadap ayat atau maknanya) tergantung pada naqli. [10/85] Al Baihaqi mengatakan: "Jika hadits ini shahih, maka Nabi memaksudkan –wallahu a'lam- pendapat akal yang lebih dominan di qalbunya tanpa dalil yang mendukungnya. Adapun pendapat yang didukung oleh dalil maka boleh. Beliau juga mengatakan, bisa jadi maksudnya orang yang mengatakan dengan pendapat akalnya tanpa mengetahui prinsip-prinsip ilmu dan cabang-cabangnya [idem]. Makanya, kami nasehatkan jangan terkungkung pada kitab himpunan saja, lihat buku ulama, syarah kutub sittah dari ulama, bukan syarah 'paku bumi' dan imam LDII saja. Para ulama yang mensyarah Kutubus Sittah itu, mereka punya sanad sampai ke Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam dan sanadnya lebih tinggi dan lebih shahih - Insya Allah - .

Dengan demikian ra'yu itu ada dua macam:
1. Ra'yu yang sesuai dengan bahasa Arab dan kaidah-kaidahnya, sesuai dengan Al Quran dan As Sunnah dengan memperhatikan seluruh syarat-syarat tafsir. Maka menafsiri al quran dengan itu boleh.
2. Ra'yu tidak sesuai dengan aturan bahasa Arab, tidak sesuai dengan dalil syar'i serta tidak memenuhi syarat-syarat tafsir, maka ini tidak boleh [At Tafsir wal Mufassirun:1/264]
Ibnu Qoyyim juga membagi ra'yu menjadi dua, yang terpuji dan yang tercela [lihat Al Intishor li Ahlil Hadits hal. 23-34, lihat pula hal. 13 dan At Tafsir wal Mufassirun:1/264]. Dan terakhir simaklah ucapan An Naisaburi: "Tidak boleh hadits ini dimaksudkan bahwa; Jangan sampai seorangpun mengatakan pada Al Quran kecuali apa yang ia dengar (yaitu manqul dalam istilah LDII-pent)". Karena para Sahabat mereka telah menafsirkan Al Quran dan mereka berselisih pendapat pada beberapa masalah dan tidaklah semua yang mereka katakan itu mereka dengar dari Rasul Shallallahu 'alaihi wasallam…[Mir'atul Mafatih:1/330].

Bukankah ini pukulan telak buat kalian wahai para pengikut LDII?! Sungguh tafsir kalian sangat bertentangan dengan ulama'. Maka benar apa yang dikatakan Ibnu Taimiyyah bahwa ahli bid'ah berhujjah dengan sebuah dalil, padahal dalil itu menghujat mereka.

Kelima,
تعمل هذه الأمة برهة بكتاب الله ثم تعمل برهة بسنة رسول الله ثم تعمل بعد ذلك بالرأي فإذا عملوا بالرأي ضلوا
Umat ini sesaat akan mengamalkan berdasarkan kitab Allah kemudian sesaat mengamalkan berdasarkan sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam, kemudian setelah itu mengerjakan dengan pendapatnya maka jika mereka mengamalkan dengan pendapat mereka sesat. [HR Abu Ya'la]

Kajian
Hadits ini lemah, diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Bar dalam Jami' Bayanil Ilm wa Fadhlihi no:1998, 1999, dari sahabat Abu Hurairah, Abul Aysbal mengatakan: "Diriwayatkan oleh Abu Ya'la dalam Musnadnya:10/240 no:5856" dan Al Khatib meriwayatkan dari jalannya dalam kitab Al Faqih wal Mutafaqqih:2/179, kata beliau : "Telah mengkhabarkan kepada kami al Hudzail bin Ibrahim al Jummani, ia mengatakan: Telah mengkhabarkan kepada kami Utsman bin Abdurrahman dengannya". Sanad ini lemah sekali. Utsman bin Abdurrahman az Zuhri al Waqqoshi disepakati, bahwa haditsnya dibuang bahkan Ibnu Ma'in menganggapnya pemalsu hadits demikian pula dikatakan oleh al Haitsami dalam al Majma':1/179. Ada mutaba'ah (dukungan) buat Utsman bin Abdurrahman yaitu dari Hammad bin Yahya al Abah, Ibnu Hajar mengatakan: "Hafalannya kurang kuat dan suka keliru", diriwayatkan pula oleh al Khatib dalam Al Faqih wal Mutafaqqih :2/179 dari dua jalan melalui Jubarah. Dan disana ada 'illah (kelemahan lain) yaitu lemahnya Jubarah Ibnu al Mughallis. Jadi hadits itu dengan dua jalannya tetap tidak shahih Wallahu a'lam [lihat Jami Bayanil Ilm wa Fadhlihi: 2/1039-1040 dengan tahqiq Abul Asybal]

Ibnu Abdil Bar mengatakan: "Ulama berbeda pendapat dalam hal Ra'yu yang tercela tersebut, sebagian kelompok mengatakan: Ra'yu yang tercela adalah bid'ah yang menyelisihi sunnah dalam hal aqidah, serta yang lain -mereka adalah mayoritas ahlul ilmi- mengatakan: Adalah berbicara dalam hukum syari'at agama dengan sekedar anggapan baik dan prasangka." [lihat selengkapnya dalam Jami Bayanil Ilm wa Fadhlihi:2/1052,1054]. Demikian pendapat ulama tentang ra'yu yang dimaksud tidak satupun menafsirinya 'tidak manqul'. [lihat pula kitab Mir'atul Mafatih]

Keenam,
تسمعون ويسمع منكم ويسمع ممن سمع منكم
'Kalian mendengar dan akan didengarkan dari kalian dan akan didengarkan dari orang yang mendengarkan dari kalian'

Kajian
Hadits ini diriwayatkan Abu Dawud: 3659, Ahmad:1/321, Ibnu Hibban:1/263 Al Hakim:195 al Khatib dalam Syaraf Ashabul Hadits dan Ar Ramahurmuzi dalam Muhadditsul Fashil:92, semuanya melalui jalan Al A'masy dari Abdullah bin Abdullah ar Razi, dari Said bin Jubair dari Ibnu Abbas dari Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bahwa beliau mengatakan ….(Hadits itu)… Diriwayatkan pula melalui jalan lain oleh Al Khatib dalam Syarof Ashabul Hadits dan Ar Ramahurmuzi dalam Muhadditsul Fashil:91, Al Bazzar dan At Tabrani. [lihat perinciannya dalam Silsilah al Ahadits Ash Shahihah, no:1784]

Al Hakim mengatakan: "Shahih sesuai dengan syarat Bukhari dan Muslim dan tidak diriwayatkan oleh keduanya, tidak ada 'iilah padanya " [Ithaful Maharah:7/192] dan disetujui oleh Adz Dzahabi. Namun Asy Syaikh al Albani tidak setuju bila dikatakan sesuai dengan syarat al Bukhari dan Muslim, karena Abdullah bin Abdullah bukan merupakan rawi Bukhari dan Muslim, namun hadits itu tetap Shahih sedang al 'Ala'i menghasankannya. [lihat Shahih Sunan Abu Dawud:3659 dan Ash Shahihah:1784]

Demikian derajat hadits itu, tapi dimanakah yang menunjukan bahwa musnad muttashil lebih-lebih 'manqul' ala LDII itu syarat sahnya ilmu?! Bukankah yang namanya syarat di dalam ilmu Ushul Fiqih artinya 'Bila syarat sesuatu tidak terpenuhi maka sesuatu itu tidak sah'.!! Manakah dalam hadits itu yang menunjukan bahwa bila tidak manqul maka ilmu itu tidak sah. Hadits itu hanya berisi anjuran atau perintah untuk menyampaikan, tidak terdapat padanya syarat sahnya ilmu itu harus dengan manqul, oleh karenaya Abu Dawud memberikan judul pada hadits ini 'Bab Keutamaan Menyebarkan Ilmu'. Dan para ulama tidak memahami hadits ini seperti pemahaman LDII buktinya Abu Dawud Ibnu Hibban al Hakim dan ulama yang kita sebut di atas, tidak ada yang berpemahaman seperti LDII.

Ketujuh,
الإسناد من الدين ولولا الإسناد لقال من شاء ما شاء
'Isnad/sanad itu termasuk dari agama kalaulah bukan karena sanad tentu sembarang orang akan mengatakan semaunya'.

Kajian
Ini adalah ucapan Abdullah Ibnul Mubarak diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Muqoddimah kitab Shahihnya 1/47 no:32 dan ar Ramahurmuzi dalam al Muhadditsul Fashil:96 dan al Khotib dalam Syaraf Ashhabul Hadits.

Mereka menganggap ucapan itu sebagai dasar teori manqul, ini tentu tidak sesuai dengan nash ucapan Ibnul Mubarak itu sendiri. Ucapan itu menerangkan keutamaan sanad dan sanad itu lebih umum dari pengertian manqul ala LDII di antara sanad adalah Al Mukatabah seperti yang kami terangkan di atas. Dan tidak mengandung sama sekali keharusan untuk manqul, juga tidak ada larangan mengambil ilmu tanpa manqul, demikian pula beliau ucapkan kata-kata ini di zaman beliau dan beliau meninggal pada tahun 181 H. Berbeda keadaannya dengan keadaan sekarang, oleh karenanya kita dapati para ulama mengatakan bahwa mengamalkan ilmu yang diambil dengan al wijadah, padahal itu tidak sekuat al Mukatabah wajib sebagaimana perincian dalam bahasan al wijadah di atas.

Kedelapan,
إن هذا العلم دين فانظروا عمن تأخذوا دينكم
'Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka lihatlah oleh kalian dari mana kalian mengambil agama kalian.'

Kajian
Ini adalah ucapan Muhammd bin Sirin diriwayatkan Imam Muslim dalam Muqoddimah Shahihnya:26, 1/44 Atsar (ucapan Tabi'in) ini mengandung bagaimana memilih guru agama yaitu memilih yang baik yang sesuai dengan sunnah Nabi, dan tidak sama sekali mengandung keharusan untuk manqul serta tidak ada di dalamnya larangan mengambil ilmu tanpa manqul.

Kesimpulan:
Demikian dalil-dalil mereka, semuanya tidak tepat sebagai dalil. Adapun ayat Al Quran mereka tafsiri dari diri mereka sendiri, berbeda dengan ulama tafsir, makanya mereka tidak menyebutkan referensi tafsir dalam menerangkan ayat-ayat itu. Nah, bukankah ini artinya menafsiri Al Quran dengan ra'yu ?!! Mereka menuduh orang lain bicara hal agama dengan ra'yu, ternyata justru diri merekalah yang melakukannya ?!!

Dalil-dalil yang kalian pakai untuk menyerang selain golongan kalian justru itu senjata makan tuan dan bumerang bagi kalian sendiri. Kalian mengharuskan manqul dan melarang dengan ra'yu, pada kenyataannya bahkan kalianlah yang memakai ra'yu dalam agama ini, dimana kalian tafsirkan ayat dan hadits semau kalian dan tidak sesuai dengan pemahaman ulama. Dan kalau mereka (LDII) mengkafirkan seseorang yang mereka anggap pakai ra'yu, tidakkah vonis kafir itu juga mengenai mereka sendiri?! Karena mereka juga pakai ra'yu. Ingat ketika kau vonis kafir seseorang dan kau tunjuk dengan jari telunjukmu bukankah 4 jarimu menunjuk pada dirimu sendiri.?!

Saya tidak mengkafirkan kalian, namun saya hanya ingin mengingatkan bahayanya mengkafirkan seseorang, yang bisa jadi vonis kekafiran itu justru akan kembali kepada dirinya sendiri seperti dalam hadits Nabi
أيما رجل قال لأخيه يا كافر فقد باء بها أحدهما
"Barangsiapa mengatakan kepada Saudaranya : Wahai orang kafir maka (hukum) tersebut akan kembali kepada salah satu dari keduanya" [HR Bukhari dan Muslim…]

Adapun dalil dari hadits maka sebagiannya shahih dan sebagiannya dha'if dan semuanya mereka pahami dengan pemahaman yang salah, sehingga menjadi bumerang buat mereka sendiri. Terakhir dalil dari ucapan para ulama yang lagi-lagi mereka tafsiri sesuai kepentingan mereka. Kalaupun seandainya maksud ulama itu sesuai dengan maksud mereka –dan itu tidak mungkin- maka ucapan ulama bukan hujjah! Hujjah itu Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya Shallallahu 'alaihi wasallam.

Contoh Hadits-Hadits Dha'if

Sekilas saya melihat buku 'Himpunan' susunan LDII Kitabush Sholah maka saya dapati beberapa hadits dha'if, bahkan ada yang maudhu' diantaranya:
إقرؤوا على موتاكم يس
"Bacalah pada mayit-mayit kalian surat Yasin" hal.147.

Hadits ini Riwayat Abu Dawud Ibnu Majah dan lain-lain, didalamnya terdapat tiga cacat:
- Kemajhulan (tidak ada rekomendasi/komentar dari ulama ahli hadits) rawinya yang bernama Abu Utsman.
- Kemajhulan ayahnya.
- Idlthirab (kegoncangan pada sanadnya)
Hadit ini didha'ifkan oleh Ibnul Qhaththan, Ad Daruqhuthni dan Al Albani. Lihat perinciannya dalam Irwa'ul Ghalil karya al Albani hadits no:688.

من قرأ يس في ليلة أصبح مغفورا له...
"Barangsiapa yang membaca Yasin dalam satu malam maka di pagi harinya dalam keadaan diampuni dosanya", Kitabush shalah, hal.146. Asy Syaikh al Albani mendho'ifkannya dalam Dha'iful Jami':5787.

من قرأ يس كتب الله بقرائتها قرآءة القرآن عشر مرات
"Barangsiapa yang membaca Yasin maka Allah tuliskan dengan membacanya sama dengan membaca Al Quran 10 kali", hal.146.

Asy Syekh al Albani mengatakan: Maudhu' (palsu) karena ada rawi yang bernama Harun Abi Muhammad, azd Dzahabi menuduhnya sebagai pendusta [lihat perinciannya dalam Silsilah al Ahadits adh Dhaifah, no:169]

كان إذا أفطر قال اللهم لك صمت وعلى رزقك افطرت
"Bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bila berbuka membaca Allahumma laka shumtu…" , Kitabush shalah hal.134.
Hadits ini Riwayat Abu Dawud, mursal dan mursal termasuk dha'if. Mursal karena Muadz bin Zuhrah bukan sahabat, lalu mengatakan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam…, bahkan dia juga tergolong majhul. [lihat perinciannya dalam Irwa'ul Ghalil no:919], asy syekh al Albani mengatakan: "Dha'if". Mana persyaratan Musnad Muttashil (MM) di hadits ini dan hadits setelahnya wahai kaum LDII?!

Hadits khutbah Jum'ah hal 104 dan seterusnya, dari riwayat Abu 'Ubaidah dari Abdullah bin Mas'ud, ternyata lemah, karena sanadnya terputus antara keduanya, dimana Abu Ubaidah tidak mendengar dari Abdullah bin Mas'ud. Anehnya mereka sendiri menyebutkan ucapan Abu Abdurrahman/Imam An Nasa'i dalam hal ini, lalu mengapa mereka tetap memakai hadits itu?! Lihat hal.105 : قال أبو عبد الرحمن أبو عبيدة لم يسمع من أبسه شيئا... "Abu Abdurrahman (An Nasa'i) mengatakan: Abu Ubaidah tidak mendengar hadits dari ayahnya (Ibnu Mas'ud) sedikitpun"

Demikian pula hadits Asma wa Sifat pada hal.124 dan kita sudah terangkan sisi kelemahannya diatas.

Perlu dikaji kembali bahwa syarat shahihnya hadits ada lima sebagaimana penjelasan pada halaman 4, sehingga tidak cukup dengan musnad atau muttashil saja, dan betapa banyak hadits yang musnad atau muttashil tapi dha'if atau bahkan maudhu'!!

Demikian sekilas kami melihat dan hanya dalam Kitabus Shalat, bagaimana bila seseorang benar-benar meneliti satu-persatu dan pada semua kitab himpunan mereka.

Mari kembali kepada kebenaran sebelum ajal menjemput…
Bila anda tidak terima penjelasan ini…
Ku tunggu jawaban ilmiyah anda.
qomar77 @ telkom.net
kunjungi www.asysyariah.com

Wallahul musta'an

(Dikutip dari tulisan al Ustadz Qomar Zainuddin, Lc, pimpinan Pondok Pesantren Darul Atsar, Kedu, Temanggung serta Pimred Majalah Asy Syariah. Judul asli Antara Al Qur'an, Al Hadits dan 'Manqul'.)

Membongkar Kesesatan LDII : Apa itu Manqul (1)

Ahad, 24-September-2006, Penulis: Al Ustadz Qomar ZA, Lc

Antara Al Quran, al Hadits dan 'Manqul'
Oleh: Qomar ZA

Jangan khawatir…
Jangan takut…
Baca dulu…
Semoga Allah senantiasa memberimu petunjuk.

Pengertian Manqul dalam Ajaran LDII
Manqul H Nur Hasan Ubaidah adalah proses pemindahan ilmu dari guru ke murid. Ilmu itu harus musnad (mempunyai sandaran) yang disebut sanad, dan sanad itu harus mutashil (bersambung) sampai ke Rasulullah sehingga manqul musnad muttashil (disingkat M.M.M.) diartikan belajar atau mengaji Al Quran dan hadits dari Guru dan gurunya bersambung terus sampai ke Rasulullah.
Atau mempunyai urutan guru yang sambung bersambung dari awal hingga akhir (demikian menurut kyai haji Kastaman, kiyai LDII dinukil dari bahaya LDII hal.253)
Yakni: Waktu belajar harus tahu gerak lisan/badan guru, telinga langsung mendengar, dapat menirukan amalannya dengan tepat, terhalang dinding [Menurut mereka, berkaitan dengan terhalang dinding sekarang sudah terhapus. Demikian dikabarkan kepada kami melalui jalan yang kami percaya. Tapi sungguh aneh, aqidah yang sangat inti bahkan menjadi ciri khas kelompok ini bisa berubah-rubah. Demikiankah aqidah?! - pen] atau lewat buku tidak sah sedang murid tidak dibenarkan mengajarkan apa saja yang tidak manqul sekalipun ia menguasai ilmu tersebut, kecuali murid tersebut telah mendapatkan ijazah (ijin untuk mengajarkan-red) [Ijazah artinya pemberian ijin untuk meriwayatkan hadits misalnya saya katakan: 'Saya perbolehkan kamu untuk meriwayatkan hadits-hadits yang telah saya riwayatkan dari guru saya'- pen] dari guru, maka ia boleh mengajarkan seluruh isi buku yang telah diijazahkan kepadanya itu" [Drs Imron AM, selintas mengenai Islam Jama'ah dan ajarannya, Dwi Dinar, Bangil, 1993 hal. 24 dinukil dari Bahaya LDII hal. 258- pen]

Keyakinan LDII tentang Manqul
1. Mereka meyakini dalam mempelajari ajaran agama harus manqul musnad dan muttashil, bila tidak maka tidak sah ilmunya, ibadahnya ditolak dan masuk neraka.
2. Nur Hasan mengaku bahwa dirinyalah satu-satunya jalur untuk menimba ilmu secara musnad muttashil di Indonesia bahkan di dunia., atas dasar itu ia mengharamkan untuk menimba ilmu dari jalur lain.
3. Ia mendasari kayakinannnya itu dengan dalil-dalil, -yang sesungguhnya tidak tepat sebagai dalil-.

Kajian atas Keyakinan dan Dalil-Dalil mereka

Kajian atas point pertama:
a. Keyakinannya bahwa ilmu tidak sah kecuali bila diperoleh dengan musnad mutashil dan manqul, adalah keyakinan yang tidak berdasarkan dalil, adapun dalil-dalil yang dia pakai berkisar antara lemah dan tidak tepat sebagai dalil. Seperti yang akan anda lihat nanti Insya Allah.

b. Bahwa ini bertentangan dengan dalil-dalil syar'i yang menunjukan bahwa sampainya ilmu tidak mesti dengan manqul, bahkan kapan ilmu itu sampai kepadanya dan ilmu itu benar, maka ilmu itu adalah sah dan harus ia amalkan seperti firman Allah: …وأوحي إلي هذا القرآن لأنذركم به ومن بلغ "Dan diwahyukan kepadaku Al Quran ini untuk aku peringatkan kalian dengannya dan siapa saja yang Al Quran sampai padanya" [Al An'am:19]
Mujahid mengatakan: dimanapun Al Quran datang maka ia sebagai penyeru dan pemberi peringatan. Kata (ومن بلغ) Ibnu Abbas menafsirkannya: "Dan siapa saja yang Al Quran sampai kepadanya, maka Al Quran sebagai pemberi peringatan baginya."

Demikian pula ditafsirkan oleh Muhammad bin Ka'b, As Suddy [Tafsir at Thabari:5/162-163], Muqatil [Tafsir al Qurthubi:6/399], juga kata Ibnu Katsir [2/130]. Sebagian mengatakan : "Berarti bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam sebagai pemberi peringatan bagi orang yang sampai kepadanya Al Quran." Asy Syinqithi mengatakan: "Ayat mulia ini menegaskan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam pemberi peringatan bagi setiap orang yang Al Quran sampai kepadanya, siapapun dia. Dan dipahami dari ayat ini bahwa peringatan ini bersifat umum bagi semua yang sampai kepadanya Al Quran, juga bahwa setiap yang sampai padanya Al Quran dan tidak beriman dengannya maka ia di Neraka". [Tafsir Adhwa'ul Bayan:2/188 lihat pula tafsir-tafsir di atas-pen] Maka dari tafsir-tafsir para ulama di atas - jelas bahwa tidak seorangpun dari mereka mengatakan bahwa sampainya ilmu harus dengan musnad muttashil atau bahkan manqul ala LDII.

Bahkan siapa saja yang sampai padanya Al Quran dengan riwayat atau tidak, selama itu memang ayat Al Quran, maka ia harus beriman dengannya apabila tidak maka nerakalah tempatnya. Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam juga bersabda:بلغوا عني ولو آية"Sampaikan dariku walaupun satu kalimat" [Shahih, HR Ahmad Bukhari dan Tirmidzi]. Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam tidak mengharuskan cara manqul ala LDII dalam penyampaian ajarannya.

c. Keyakinan mereka bertentangan dengan perbuatan Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam, dimana beliau menyampaikan ilmu dengan surat kepada para raja. Seperti yang dikisahkan sahabat Anas bin Malik: عَنْ أَنَسٍ أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَتَبَ إِلَى كِسْرَى وَإِلَى قَيْصَرَ وَإِلَى النَّجَاشِيِّ وَإِلَى كُلِّ جَبَّارٍ يَدْعُوهُمْ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى وَلَيْسَ بِالنَّجَاشِيِّ الَّذِي صَلَّى عَلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menulis surat kepada Kisra, Qaishar, Najasyi dan kepada selurus penguasa, mengajak mereka kepada Allah. bukan an Najasyi yang Nabi menshalatinya" [Shahih, HR Muslim, Kitabul Jihad….no:4585 cet Darul Ma'rifah] (Surat Nabi kepada Heraqlius) [Shahih, HR Bukhari no:7 dan Muslim: 4583]. An Nawawi mengatakan ketika mensyarah hadits ini: "Hadits ini (menunjukkan) bolehnya beramal dengan (isi) surat." [Syarh Muslim:12/330] Surat Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam kepada raja Bahrain, lalu kepada Kisra [Shahih, HR al Bukhari, Fathul Bari:1/154]dan banyak lagi surat beliau kepada raja atau tokoh-tokoh masyarakat, bisa anda lihat perinciannya dalam kitab Zadul Ma'ad:1/116120 karya Ibnul Qoyyim [Cet Ar Risalah ke 30 Thn. 1417/1997]

Surat-menyurat Nabi ini tentu tidak sah menurut kaidah manqulnya Nur Hasan Ubaidah. Adapun Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam menganggap itu sah, sehingga Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam menerima Islam - mereka yang masuk Islam - karena surat itu tidak menganggap mereka kafir karena tidak manqul. Dan Nabi menganggap surat itu sebagai hujjah atas mereka yang tidak masuk Islam setelah datangnya surat itu, sehingga tiada alasan lagi jika tetap kafir, seandainya sistem surat-menyurat itu tidak sah, mengapa Nabi menganggapnya sebagai hujjah atas mereka??.

Kemudian setelah Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam, cara inipun dipakai oleh para sahabatnya seperti surat Umar kepada Abu Musa al 'Asy 'ari yang terdapat didalamnya hukum-hukum yang berkaitan dengan Qadha' [Riwayat Ibnu Abi Syaibah, ad Daruqhutni al Baihaqi dan lain-lain `dishahihkan oleh al Albani dalam Irwaul Ghalil:8/241, Ahmad Syakir dan lain-lain -pen], lihat perinciannya dalam buku khusus membahas masalah ini berjudul رسالة عمر ابن الخطاب إلى أبي موسى الأشعري في القضاء و آدابه رواية ودراية karya Ahmad bin Umar bin Salim Bazmul.], Aisyah menulis surat kepada Hisyam bin Urwah berisi tentang shalat [al Kifayah fi 'Ilmirriwayah:343], Mu'awiyahpun menulis kepada al Mughirah bin Syu'bah tentang dzikir setelah shalat [Shahih, HR Bukhari dan Muslim], Utsman bin Affan mengirim mushaf ke pelosok-pelosok [Riwayat al Bukhari secara Mu'allaq:1/153 dan secara Musnad:9/11], belum lagi para ulama setelah mereka. Namun semuanya ini dalam konsep manqulnya Nur Hasan Ubaidah tidak sah, berarti teori 'manqul anda' justru tidak manqul dari mereka, sebab ternyata menurut mereka semua sah. Dan pembaca akan lihat nanti - Insya Allah - komentar para ulama tentang ini.

Surat-menyurat ini lalu diistilahkan dengan mukatabah, dan para ulama ahlul hadits menjadikannya sebagai salah satu tata cara tahammul wal ada' (mengambil dan menyampaikan hadits), bahkan mereka menganggap ini adalah cara yang musnad dan muttashil, walaupun tidak diiringi dengan ijazah. Ibnus Sholah mengatakan: "Itulah pendapat yang benar dan masyhur diatara ahlul hadits…dan itu diamalkan oleh mereka serta dianggap sebagai musnad dan maushul (bersambung) [Ulumul Hadits:84] . As Sakhowi juga mengatakan: "Cara itu benar menurut pendapat yang shahih dan masyhur menurut ahlul hadits …. dan mereka berijma' (sepakat) untuk mengamalkan kandungan haditsnya serta mereka menganggapnya musnad tanpa ada khilaf (perselisihan) yang diketahui." [Fathul Mughits:3/5]

Al Khatib al Baghdadi menyebutkan: "Dan sungguh surat-surat Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam menjadi agama yang harus dianut dan mengamalkan isinya wajib bagi umat manusia ini, demikian pula surat-surat Abu Bakar, Umar dan selain keduanya dari para Khulafar ar Rasyidin maka itu harus diamalkan isinya. Juga surat seorang hakim kepada hakim yang lainnya dijadikan sebagai dasar hukum dan diamalkan.' [al Kifayah :345] . Jadi, ini adalah cara yang benar dan harus diamalkan, selama kita tahu kebenaran tulisan tersebut maka sudah cukup. [lihat, al Baitsul hatsits:123 dan Fathul mughits:3/11]

Imam al Bukhari pun mensahkan cara ini, dimana beliau membuat sebuah bab dalam kitab Shahihnya berjudul : "Bab (riwayat-riwayat) yang tersebut dalam hal munawalah dan surat/tulisan ulama yang berisi ilmu ke berbagai negeri." [Fathul Bari:1/153]

Kalaulah 'manqul kalian' dimanqul dari para ulama penulis Kutubus Sittah, mengapa Imam Bukhari menyelisihi kalian?? Apa kalian cukupkan dengan kitab-kitab 'himpunan', sehingga tidak membaca Shahih Bukhari walaupun ada di bab-bab awal, sehingga hal ini terlewatkan oleh kalian?? Demikian pula Imam Nasa'i menyelisihi kalian, karena beliau ketika meriwayatkan dari gurunya yang bernama Al Harits Ibnu Miskin beliau hanya duduk di balik pintu, karena tidak boleh mengikuti kajian haditsnya Sebabnya, karena waktu itu imam Nasa'i pakai pakaian yang membuat curiga al Harits ibnu Miskin dan ketika itu al Harits takut pada urusan-urusan yang berkaitan dengan penguasa sehingga beliau khawatir imam Nasa'i sebagai mata-mata maka beliau melarangnya [Siyar A'lam an Nubala:14/130], sehingga hanya mendengar di luar majlis. Oleh karenanya ketika beliau meriwayatkan dari guru tersebut beliau katakan: حدثنا الحارث بن مسكين قراءة عليه وأنا أسمع"Al Harits Ibnu Miskin memberitakan kepada kami, dengan cara dibacakan kepada beliau dan saya mendengarnya" dan anehnya riwayat semacam ini ada pada kitab himpunan kalian Kitabush Sholah hal. 4, "Apa kalian tidak menyadari apa maksudnya??"

d. Istilah 'manqul' sebagai salah satu bidang ilmu ini adalah istilah yang benarbenar baru dan adanya di Indonesia pada Jama'ah LDII. Ini menunjukan bahwa ini bukan berasal dari para ulama. Adapun manqul sendiri adalah bahasa Arab yang berarti dinukil atau dipindah, dan ini sebagaimana bahasa Arab yang lain dipakai dalam pembicaraan. Namun hal itu hanya sebatas pada ungkapan bahasa -bukan sebagai istilah atau ilmu tersendiri yang memiliki pengertian khusus - apalagi konsekwensi khusus dan amat berbahaya.

e. Adapun musnad dan mutashil, memang ada dalam ilmu Musthalah dan masing masing punya definisi tersendiri. Musnad salah satu artinya dalam ilmu mushtolahul hadits adalah 'Setiap hadits yang sampai kepada Nabi dan sanadnya bersambung/mutashil' [Min atyabil manhi fi 'ilmil Musthalah:8]. Akan tetapi perlu diketahui bahwa persyaratan musnad ini adalah persyaratan dalam periwayatan hadits dari Nabi, bukan persyaratan mengamalkan ilmu. Harus dibedakan antara keduanya, tidak bisa disamakan antara riwayat dan pengamalan.

Sebagaimana akan anda lihat nanti - Insya Allah - dalam pembahasan al wijadah, bahwa al wijadah itu secara riwayat terputus Namun secara amalan harus diamalkan. Orang yang tidak membedakan antara keduanya dan mewajibkan musnad mutashil dalam mengamalkan ilmu maka telah menyelisihi ulama ahlul hadits.

f. Musnad muttashilpun bukan satu-satunya syarat dalam riwayat hadits. Karena hadits yang shahih itu harus terpenuhi padanya 5 syarat yakni pertama, diriwayatkan oleh seorang yang adil [adil dalam pengertian ilmu mushtalah adalah seorang muslim, baligh, berakal selamat dari kefasikan dan hal-hal yang mencacat kehormatannya (muru'ah) [Min Atyabil Manhi fi Ilmil Musthalah:13]-pen, kedua yakni yang sempurna hafalannya atau penjagaannya terhadap haditsnya, ketiga, sanadnya bersambung, keempat, tidak syadz [Syadz artinya, seorang rawi yang bisa diterima menyelisi yang lebih utama dari dirinya [nuzhatun nadzor] yakni dalam meriwayatkan hadits bertentangan dengan rawi yang lebih kuat darinya atau lebih banyak jumlahnya. Sedang mu'allal artinya memiliki cacat atau penyakit yang tersembunyi sehingga tampaknya tidak berpenyakit padahal penyakitnya itu membuat hadits itu lemah. -pen] dan kelima tidak mu'allal.

Kalaupun benar –padahal salah- apa yang dikatakan oleh Nurhasan bahwa ilmu harus musnad muttashil, mana syarat-syarat yang lain ? Kenapa hanya satu yang diambil ? Jangan-jangan dia sengaja disembunyikan karena memang tidak terpenuhi padanya !

Atau kalau kita berhusnudhon, ya mungkin tidak tahu syarat-syarat itu, atau lupa, apa ada kemungkinan lainnya lagi?? Dan semua kemungkinan itu pahit. Jadi tidak cukup sekedar musnad muttashil bahkan semua syaratnya harus terpenuhi dan tampaknya keempat syarat yang lain memang tidak terpenuhi sama sekali. Hal itu bisa dibuktikan apabila kita melihat kejanggalan-kejanggalan yang ada pada ajaran LDII, misalnya dalam hal imamah, bai'at, makmum sholat, zakat, dan lain-lain. Ini kalau kita anggap syarat Musnad Muttashil terpenuhi pada mereka, sebenarnya itu juga perlu dikaji.

g. Amal LDII dengan prinsip ini menyelisihi amal muslimin sejak Zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam sampai saat ini.

h. Kenyataannya mereka hanya mementingkan MMM, tidak mementingkan keshahihan hadits, buktinya dalam buku himpunan mereka ada hadits-hadits dha'if, bahkan maudhu' (palsu). Lantas apalah artinya MMM kalau haditsnya tidak shahih karena rawinya tidak tsiqoh misalnya? [Contoh pada pembahasan terakhir -pen]

i. Dari siapa 'manqul' ini dimanqul? Kalau memang harus manqul bukankah 'metode manqul' itu juga harus manqul?? Karena ini justru paling inti, Nur Hasan atau para pengikutnya harus mampu membuktikan secara ilmiyah bahwa manqul ini 'dimanqul' dari Nabi, para sahabatnya dan para ulama ahli hadits. Kalau ia tidak bisa membuktikannya, berarti ia sendiri yang pertama kali melanggar kaidah manqulnya. Kalau ia mau buktikan, maka mustahil bisa dibuktikan, karena seperti yang kita lihat dan akan kita lihat - Insya Allah - ternyata manqul ini menyelisihi Nabi, para sahabat, dan ulama ahlul hadits.

j. Dalam ilmu Mushtholah al Hadits pada bab tahammul wal ada' (menerima dan menyampaikan hadits) terdapat cara periwayatan yang diistilahkan dengan al Wijadah. Yaitu seseorang mendapatkan sebuah hadits atau kitab dengan tulisan seseorang dengan sanadnya [al Baitsul Hatsits:125]. Dari sisi periwayatan, al wijadah termasuk munqothi' [Munqothi: terputus sanadnya. Mursal: terputus dengan hilangnya rawi setelah tabi'in. Mu'allaq: terputus dengan hilangnya rawi dari bawah sanad - pen], mursal [Ulumul hadits:86, Fathul Mughits:3/22] atau mu'allaq, Ibnu ash Sholah mengatakan: "Ini termasuk munqothi' dan mursal…", ar Rasyid al 'Atthor mengatakan: "Al wijadah masuk dalam bab al maqthu' menurut ulama (ahli) periwayatan".[Fathul Mughits:3/22]

Bahkan Ibnu Katsir menganggap ini bukan termasuk periwayatan, katanya: "Al Wijadah bukan termasuk bab periwayatan, itu hanyalah menceritakan apa yang ia dapatkan dalam sebuah kitab." [al Baitsul Hatsits:125]

Jadi al wijadah ini kalau menurut kaidah M.M.M-nya Nur Hasan tentu tidak terpenuhi kategorinya, sehingga tentu tidak boleh bahkan haram mengamalkan ilmu yang diperoleh dengan cara al wijadah. Tetapi maksud saya disini ingin menerangkan pandangan ulama tentang mengamalkan ilmu yang didapat dengan al wijadah, ternyata disana ada beberapa pendapat:
a. Sebagian orang terutama dari kalangan Malikiyah (pengikut madzhab Maliki) melarangnya.
b. Boleh mengamalkannya, ini pendapat asy Syafi'i dan para pemuka madzhab Syafi'iyyah.
c. Wajib mengamalkannya ketika dapat rasa percaya pada yang ia temukan. Ini pendapat yang dipastikan ahli tahqiq dari madzhab as Syafi'iyyah dalam Ushul Fiqh. [lihat Ulumul Hadits karya Ibnu Sholah:87]

Ibnush Sholah mengatakan tentang pendapat yang ketiga ini: "Inilah yang mesti dilakukan di masa-masa akhir ini, karena seandainya pengamalan itu tergantung pada periwayatan maka akan tertutuplah pintu pengamalan hadits yang dinukil (dari Nabi) karena tidak mungkin terpenuhinya syarat periwayatan padanya." [Ulumul Hadits:87] Yang beliau maksud adalah hanya al wijadah yang ada sekarang. [al Baitsul Hatsits: 126]
An Nawawi mengatakan: 'Itulah yang benar' [Tadriburrawi:1/491], demikian pula As Sakhowi juga menguatkan pendapat yang mewajibkan. [Fathul Mughits:3/27]
Ahmad Syakir mengatakan: yang benar wajib (mengamalkan yang shahih yang diriyatkan dengan al wijadah). [al Baitsul Hatsits: 126]

Tentu setelah itu disyaratkan bahwa penulis kitab yang ditemukan (diwijadahi) adalah orang yang terpercaya dan amanah dan sanad haditsnya shahih sehingga wajib mengamalkannya. [al Baitsul Hatsits:127] Ali Hasan mengatakan: Itulah yang benar dan tidak bisa terelakkan, seandainya tidak demikian maka ilmu akan terhenti dan akan kesulitan mendapatkan kitab, akan tetapi harus ada patokan-patokan ilmiyah yang detail yang diterangkan para ulama' dalam hal itu sehingga urusan tetap teratur pada jalannya [Al Baitsul Hatsits:1/368 dengan tahqiqnya]. Dengan demikian pendapat yang pertama tidak tepat lebih-lebih di masa ini. Diantara yang mendukung kebenaran pendapat yang membolehkan atau mewajibkan adalah berikut ini Nabi bersabda:
-أي الخلق أعجب إليكم إيمانا ؟قالوا : الملائكة.قال: وكيف لايؤمنون وهم عند ربهم وذكروا الأنبياء،فقال: وكيف لا يؤمنون والوحي ينزل عليهم ؟!قالوا : ونحن فقال: وكيف لاتؤمنون وأنا بين أظهركم. قالوا فمن يا رسول الله؟ قال قوم يأتون من بعدكم يجدون صحفا يؤمونو بما فيها artinya: "Makhluk mana yang menurut kalian paling ajaib imannya?" Mereka mengatakan: "Para malaikat." Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam mengatakan: "Bagaimana mereka tidak beriman sedang mereka di sisi Rabb mereka?". Merekapun (para sahabat) menyebut para Nabi, Nabi Shallallahu 'alaihi wasallampun menjawab: "Bagaimana mereka tidak beriman sedang wahyu turun kepada mereka". Mereka mengatakan: "Kalau begitu kami?" Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: "Bagaimana kalian tidak beriman sedang aku ditengah-tengah kalian." Mereka mengatakan : "Maka siapa Wahai Rasulullah?" Beliau menjawab: "Orang-orang yang datang setelah kalian, mereka mendapatkan lembaran-lembaran lalu mereka beriman dengan apa yang di dalamnya." [HR Ahmad, Abu Bakar Ibnu Marduyah, ad Darimi, al Hakim dan Ibu 'Arafah, Ali Hasan mengatakan: Cukuplah Hadits itu dalam pandangan saya sebagai Hadits Hasan lighoirihi (bagus dengan jalan-jalan yang lain), semua jalannya lemah namun lemahnya tidak terlalu sehingga dihasankan dengan seluruh jalan-jalannya. Dan al Haitsami dalam al Majma:10/65 serta al Hafidz dalam al Fath:6/7 cenderung kepada hasannya hadits itu. [al Baitsul Hatsits:1/369 dengan tahqiqnya], maraji': Ad Dho'ifah:647-649, syekh al Albani cenderung kepada lemahnya, Fathul Mughits:3/28 ta'liqnya, Al Mustadrak:4/181, musnad Ahmad:4/106, Sunan ad Darimi:2/108, Ithaful Maharoh:14/63. Tafsir Ibnu Katsir:1/44 Al Baqarah:4- pen]
- Amalan Ibnu Umar, dimana beliau meriwayatkan dari ayahnya dengan al wijadah, al Khatib al Baghdadi dalam bukunya [al kifayah:354] meriwayatkan dengan sanadnya sampai kepada Nafi, dari Ibnu Umar, أنه وجد في قائم سيف عمر بن الخطاب صحيفة فيها ليس فيما دون خمس من ا لابل صدقة فإذا كانت خمسا ففيها شاة
'Bahwa beliau mendapatkan pada gagang pedang umar sebuah lembaran (tertulis) 'Tidak ada zakat pada unta yang jumlahnya kurang dari lima, kalau jumlahnya 5 maka zakatnya satu kambing jantan…'
- Abdul Malik bin Habib atau Abu Imran al Jauni beliau adalah seorang Tabi'in yang Tsiqoh (terpercaya) seperti kata al Hafidz Ibnu Hajar dalam [at Taqrib:621], beliau mengatakan: "Kami dulu mendengar tentang adanya sebuah lembaran yang terdapat padanya ilmu, maka kamipun silih berganti mendatanginya, bagaikan kami mendatangi seorang ahli fiqih. Sampai kemudian keluarga az Zubair datang kepada kami disini dan bersama mereka orang-orang faqih." [Al Kifayah:355 dan Fathul Mughits:3/27]

Bila seperti ini keadaannya maka seberapa besar faidah sebuah sanad hadits yang sampai ke para penulis Kutubus Sittah di masa ini, toh tanpa sanad inipun kita bisa langsung mendapatkan buku mereka. Dan kita dapat mengambil langsung hadits-hadits itu darinya, walaupun tanpa melalui sanad 'muttashil musnad manqul' kepada mereka. Dan wajib kita mengamalkannya seperti anda lihat keterangan di atas.

Tidak seperti yang dikatakan Nur Hasan bersama LDIInya bahwa tidak boleh mengamalkanya bahkan itu haram!! Subhanallah, pembaca melihat ternyata dalil dan para ulama menyelisihi mereka, jadi dari mana 'manqulmu' dimanqul?? Ahmad Syakir mengatakan: "Dan kitab-kitab pokok kitab-kitab induk dalam sunnah Nabi dan selainnya, telah mutawatir periwayatannya sampai kepada para penulisnya dengan cara al wijadah.

Demikian pula berbagai macam buku pokok yang lama yang masih berupa manuskrip yang dapat dipercaya, tidak meragukannya kecuali orang yang lalai dari ketelitian makna pada bidang riwayat dan al wijadah atau orang yang membangkang, yang tidak puas dengan hujjah.[Al Baitsul Hatsits:128].

Oleh karenanya para ulama yang memiliki sanad sampai penulis Kutubus Sittah, tidak membanggakan sanad mereka apabila amalannya tidak sesuai dengan Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam. Bahkan mereka tidak pernah pamer, tidak pula mereka memperalatnya untuk kepentingan pribadi atau kelompok, karena mereka tahu hakekat kedudukan sanad pada masa ini., berbeda dengan yang tidak tahu sehingga memamerkan, memperalat dan…dan…

k. Juga, untuk membuktikan benar atau salahnya ajaran manqul. Kita perlu membandingkan ajaran LDII dengan ajaran Nabi dan para sahabatnya. Seandainya manqulnya benar maka tentu ajaran LDII akan sama dengan ajaran Nabi dan para sahabatnya, kalau ternyata tidak sama maka pastikan bahwa manqul dan ajaran LDII itu salah, dan ternyata itulah yang terbukti.

Berikut ini pokok-pokok ajaran LDII yang berbeda dengan ajaran Nabi dan para sahabatnya:
- Dalam hal memahami bai'at dan mengkafirkan yang tidak bai'at.
- Dalam hal mengkafirkan seorang muslim yang tidak masuk LDII
- Dalam hal manqul itu sendiri
- Dalam aturan infaq
- Menganggap najis selain mereka dari muslimin
- Menganggap tidak sah sholat dibelakang selain mereka
- Begitu gampang memvonis seseorang di Neraka padahal dia muslim
- Menganggap tidak sahnya penguasa muslim jika selain golongannya
- Dan lain-lain
[perincian masalah-masalah ini sebagiannya telah kami jelaskan dalam makalah yang lain, dan yang belum akan menyusul insyaallah, tunggulah saatnya!! -pen]
l. Sanad Nur hasan Ubaidah [Seputar sanad Nur Hasan atau Ijazah haditsnya ini banyak cerita unik di kalangan LDII, konon hadits-haditsnya hilang waktu naik becak, yang disampaikan kepada pengikutnya hanya 6.-pen], dalam kitab himpunan susunan LDII pada Kitabush Sholah hal. 124-125 yang sampai kepada Imam at Tirmidzi pada hadits Asma' wa Shifat Allah, ternyata hadits itu adalah hadits lemah, Ibnu Hajar mengatakan: "'Illah (cacat) hadits itu menurut dua syaikh (al Bukhari dan Muslim). Bukan hanya kesendirian al Walid ibnu Muslim (dalam meriwayatkannya), bahkan juga adanya ikhtilaf (perbedaan periwayatan para rawinya), idlthirab (kegoncangan akibat perbedaan itu), tadlis (sifat tadlis pada al Walid ibnu Muslim yaitu mengkaburkan hadits) dan kemungkinan adanya idraj (dimasukkannya ucapan selain Nabi pada matan hadits itu [Fathul Bari, syarah al Bukhari:11/215].). Jadi cacat/'illah/kelemahan hadits itu ada 5 sekaligus, yaitu tafarrud, ikhtilaf, idlthirab, tadlis dan idraj." Imam At Tirmidzipun merasakan kejanggalan pada hadits ini, dimana beliau setelah menyebutkan hadits ini mengatakan: 'Gharib' (aneh karena adanya tafarrud/kesendirian dalam riwayat) [Sunan at Tirmidzi:5/497, no:3507], demikian pula banyak para ulama menganggap lemah hadits ini seperti Ibnu Taimiyyah, Ibnu Katsir, al Bushiri, Ibnu Hazm, al Albani dan Ibnu Utsaimin. [lihat al Qowa'idul Mutsla:18 dengan catatan kaki Asyraf Abdul Maqshud]. Hadits yang shahih dalam masalah ini adalah tanpa perincian penyebutan Asma'ul Husna dan itu diriwayatkan al Bukhari dan Muslim

Kajian keyakinan kedua, bahwa dialah satu-satunya jalan manqul…

Apa ini bukan kesombongan, kebodohan serta penipuan terhadap umat?!. Karena sampai saat ini sanad-sanad hadits itu masih tersebar luas di kalangan tuhllabul ilmi, mereka yang belajar hadits di Jazirah Arab, Saudi Arabia dan negara-negara tetangganya, di Pakistan, India atau Afrika, baik yang belajar orang Indonesia atau selain orang Indonesia, mereka banyak mendapatkan Ijazah [Bukan ijazah tamat sekolah, tapi ini istilah khusus dalam ilmu riwayat hadits. Yaitu ijin dari syekh untuk meriwayatkan hadits - pen] riwayat Kutubus Sittah dan yang lain termasuk diantaranya adalah penulis makalah ini. Kalau dia konsekwen dengan ilmu manqulnya, lantas mengapa dia anggap dirinya satu-satunya jalan manqul?? Sehingga kalian - wahai pengikut LDII - mengkafirkan yang tidak menuntut ilmu dari kalian, termasuk mereka yang mengambil ilmu dari negara-negara Arab dari ulama/syaikh-syaikh yang punya sanad, padahal mereka mendapat sanad, ternyata kalian kafirkan juga?!

Asy Syaikh al Albani dan murid-muridnya di Yordania, asy Syaikh Abdullah al Qar'awi dan murid-muridnya, asy Syaikh Hammad al Anshari dan murid-muridnya di Saudi Arabia, asy syaikh Muqbil di Yaman, asy Syaikh Muhammad Dhiya'urrahman al 'Adhami dari India dan murid-muridnya, dan masih banyak lagi yang lain tak bisa dihitung. Merekapun punya sanad Kutubus Sittah dan selainnya sampai kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam, tapi mereka tidak seperti kalian, wahai Nur Hasan dan pengikutnya. Mereka tahu apa arti sebuah sanad di masa ini, dan perlu diketahui bahwa semua mereka aqidahnya berbeda dengan aqidah kalian, wahai penganut LDII. Mana yang benar, wahai orang yang berakal??

(Bersambung ke Membongkar kesesatan LDII : Bantahan Manqul (2)

(Dikutip dari tulisan al Ustadz Qomar Zainuddin, Lc, pimpinan Pondok Pesantren Darul Atsar, Kedu, Temanggung serta Pimred Majalah Asy Syariah. Judul asli Antara Al Qur'an, Al Hadits dan 'Manqul'.)