Minggu, 19 Februari 2012

Akhir Baiat Dua Sekawan

Akhir Baiat Dua Sekawan

Hubungan berakhir setelah Nurhasan membelot.
Nurhasan Ubaidah bin Abdul bin Thahir bin Irsyad atau Madigol, adalah sang pendiri Islam Jamaah kelahiran Kediri 1915. Sebelum mendirikan Islam Jamaah/Darul Hadits, Nurhasan pernah berbaiat kepada Wali Al-Fatah, imam Jamaah Muslimin (Hizbullah), sebelum akhirnya membelot.
Imam Jamaah Muslimin (Hizbullah) saat ini, Muhyiddin Hamidy mengisahkan, pertemuan antara Wali Al-Fatah dengan Nurhasan terjadi pada tahun 1956.
Kata Hamidy, saat itu Al-Fatah tertarik bertemu dengan Nurhasan setelah mendapat kabar bahwa Nurhasan adalah ahli Hadits lulusan Makkah yang mendirikan pesantren di Kediri, Jawa Timur.
Keduanya lalu bertemu di Jakarta. Mereka berdiskusi dan bersepakat soal perjuangan mendirikan khilafah tanpa jalur politik. Dari Al-Fatah, Nurhasan mendapat pemahaman tentang jamaah, imamah, dan baiat.
“Nurhasan tertarik kemudian berbaiat bergabung dengan Jamaah Muslimin. Nurhasan lalu diangkat sebagai Amir Tarbiyah wat Ta’lim,” kata Hamidy yang diangkat menjadi Imam setelah meninggalnya Al-Fatah pada November 1976.
Hamidy yang saat itu masih berumur 20-an melihat sebagian anggota Jamaah Muslimin belajar ke pesantren Nurhasan, Darul Hadits di Kediri. Saat itu Jamaah Muslimin masih berjumlah ratusan dan belum memiliki pesantren.
Namun kata Hamidy, kemesraan itu hanya berlangsung singkat. “Sekitar dua–tiga tahun berjalan, Nurhasan yang merasa lebih alim membelot dan membentuk jamaah sendiri. Dia pun memerintahkan semua muridnya untuk membaiatnya,” kata Hamidy.
Sejak itu, kata Hamidy, Nurhasan membuat ajaran-ajaran baru untuk melanggengkan kepemimpinannya. Di antaranya adalah konsep manqul, yakni ilmu agama (al-Qur`an dan as-Sunnah) harus dipelajari langsung dari Nurhasan, atau lewat orang yang telah belajar langsung dengannya. Kalau tidak, maka ilmunya dianggap tidak sah, ibadahnya tidak sah, dan Islamnya juga tidak sah.
Ajaran manqul yang berujung pada aksi menajiskan dan mengkafirkan orang Islam di luar jamaahnya ini mengantarkan Nurhasan ke dalam bui. Belum setahun sejak aksi membelotnya kepada Al-Fatah, Nurhasan ditangkap aparat Koramil.
Dari dalam bui, Nurhasan mengirim muridnya untuk menghadap Al-Fatah yang juga menjabat Kepala Biro Politik Departemen Dalam Negeri agar membantu membebaskannya. Al-Fatah masih sudi membantu membebaskannya.
Setelah bebas, Nurhasan sowan ke Jakarta untuk berbaiat ulang kepada Al-Fatah. Dalam surat baiat keduanya ini, Nurhasan juga memerintahkan murid-muridnya untuk berbaiat dan masuk ke dalam Jamaah Muslimin (Hizbullah).
Namun, lagi-lagi Nurhasan membelot. Kepada murid-muridnya, dia mengatakan baiatnya kepada Al-Fatah sebagai bentuk muslihat (fathanah) saja. Tidak lama Nurhasan kembali ditangkap polisi karena ajarannya yang meresahkan. Kali ini Al-Fatah enggan mengulurkan bantuannya.
Pada 29 Oktober 1971, ajaran Islam Jamaah/Darul Hadits resmi dilarang lewat Keputusan Jaksa Agung. Sejak itu, jamaah Nurhasan berkali-kali berganti nama seperti YAKARI dan LEMKARI. Akhirnya pada Mubes ke-4 LEMKARI, 21 November 1990 ditetapkan menjadi Lembaga Dakwah Islam Indonesia.
Bambang Irawan, mantan tangan kanan Nurhasan yang menyatakan keluar dari Islam Jamaah pada awal tahun 1980-an, mengatakan, jamaah Nurhasan sempat akan dibasmi oleh pemerintah usai pelarangan oleh Jaksa Agung pada 1971 itu. Namun, Bambang bergerak cepat dan melobi Ali Murtopo, dan menjanjikan dukungan Islam Jamaah kepada pihak penguasa. Hal itu diceritakan Bambang sepekan sebelum wafatnya pada 29 November 2010 lalu.
Sihir Nurhasan
Hamidy mengatakan, saat hubungan Nurhasan dengan Al-Fatah masih baik, Nurhasan bisa bertandang ke Jakarta dua kali sebulan. Nurhasan datang bersama jamaahnya mengendarai sepeda motor besar Harley Davidson. “Setiap kali datang, selalu membawa istri baru. Usianya muda-muda,” kata Hamidy.
Hal tersebut juga dibenarkan istri mendiang Bambang Irawan, Siti Maryam dan sejumlah mantan mubaligh dan mubalighah LDII. Nurhasan dikabarkan pernah menikah hingga 23 kali.
Kata Hamidy, jika di depan Al-Fatah, Nurhasan selalu menunduk dan menjaga perkataan. Tetapi kepada orang lain, perkataannya lebih mirip preman dan sering beraksi seperti tukang sihir. Sepeti mengendarai motor dengan berdiri dan mata tertutup, memasak telur di kepala, bermain ular, hingga berguling-guling di atas duri.
Nurhasan juga sering menggunakan kata-kata porno, semisal (maaf) kemaluan perempuan, ketika menyebut orang-orang di luar jamaahnya. Di antara ucapannya yang masih tergolong “sopan” : sakliyane jamaah koyodene sak kusir-kusir-e, sak jaran-jaran-e, sak teletong-teletong-e (selain jamaah kita bagaikan kusir sekalian dengan kuda-kudanya, sekalian dengan kotoran-kotorannya).
Imam Nasai, Muhammad Rusli, dan Diah Rudiah, mantan mubaligh dan mubalighah LDII mengaku kata-kata kotor dan porno tersebut lazim digunakan. Bukan hanya dalam percakapan antar muda-mudi, tapi juga oleh para mubaligh ketika menyampaikan pengajian di hadapan para jamaah.
“Bahkan kata-kata itu juga ada di teks taklim daerahan yang dibacakan kepada jamaah setiap pekannya,” kata Rusli yang asli Gorontalo ini.
Akibat hal itu pula, setiap tahun selalu saja ada santri-santriwati yang menjalani hukuman kafarah dosa zina. Menurut para mantan mubaligh LDII, jamaah LDII diwajibkan membayar sejumlah uang untuk setiap pengakuan dosa, seperti onani, zina, hingga aborsi.
Menurut Zulfikar Sandala, mantan LDII yang berdomisili di Bitung, Sulawesi Utara, setidaknya ada empat hingga lima orang santriwati yang menjalani kafarah zina di pesantren pusat LDII di Burengan, Kediri. “Kalau laki-laki dihukum di Jombang. Jumlahnya lebih banyak lagi,” ujar Zulfikar yang pernah menjadi petugas keamanan di Burengan selama dua tahun ini.
LDII = Islam Jamaah
Menyusul deklarasi paradigma baru LDII pada tahun 2007 lalu, Pusat Penelitian Kehidupan Beragama Kementerian Agama RI berinisiatif melakukan penelitian ke delapan kota. Di antaranya Makassar, Nganjuk, Karawang, Jakarta Timur, Palembang, Jombang, Tasikmalaya, dan Kalimantan Selatan.
Penelitian tersebut rampung pada tahun 2009. Pihak Kemenag tidak pernah mempublikasikan hasil penelitian tersebut. Namun Suara Hidayatullah mendapatkan salinan hasil penelitian tersebut.
Kesimpulannya, LDII telah melakukan perubahan dalam berinteraksi dengan pihak di luar jamaahnya. Meski demikian, Puslitbang mencatat, LDII masih cenderung tertutup ketika ditanya soal keimaman, jamaah, amir, ataupun baiat. Terlebih jika ditanya perihal Nurhasan.
Hal ini dikatakan seorang mantan peneliti Puslitbang, Mazmur Sya’roni. Katanya, saat melakukan penelitian di Gading Mangu, Jombang, dia mendapati masjid LDII dinamakan dengan Luhur Nurhasan. “Tapi ketika mereka ditanya siapa Nurhasan, mereka menjawab, ‘Tidak tahu’. Atau, alasannya, ‘Saya orang baru’,” kata Mazmur menjelaskan.
Oleh karena itu, Mazmur memutuskan untuk menyusup ke Pondok Pusat LDII Burengan, Kediri. Atas bantuan orang dalam, dia bisa menginap selama tiga hari di sana. Mazmur berada di Pondok Burengan pada 16–19 April 2010, bertepatan dengan acara Khataman Sunan Ibnu Majah jilid 2.
Dari para penceramah LDII tersebut, Mazmur mendapatkan bahwa LDII memang kelanjutan dari ajaran Nurhasan, yakni Islam Jamaah. Mazmur juga sempat menyaksikan pembacaan Hadits oleh Amir LDII/Islam Jamaah, Sultan Aulia. “LDII memang Islam Jamaah,” kata Mazmur kepada Suara Hidayatullah.
Menurut seorang sumber di Puslitbang, Mazmur memang melakukan penelitian tersendiri ke pusat LDII di Kediri. Namun, katanya, pihak Puslitbang tidak berani menyebarkan hasil penelitian tersebut. “Tekanannya besar, Mas,” kata sumber tersebut.* Suara Hidayatullah, Agustus 2011