Senin, 02 Januari 2012

BANTAHAN ILMIYAH UNTUK ISLAM JAMA'AH (LDII) SERI 3


B. TENTANG MANKUL

Masih Banyak Yang Punya Sanad (1)

Pertama,
Sanad-sanad atau ijazah kitab-kitab hadits seperti ini masih banyak, bahkan para ulama selain Jama’ahnya Haji Nur Hasan Ubaidah justru memiliki lebih banyak sanad dan ijazah. Jadi tidak benar kalau dikatakan bahwa yang demikian sudah jarang, langka, dan terputus.
Sanad dari jalur yang diakui sebagai guru Haji Nur Hasan al-Ubaidah seperti Syaikh Umar Hamdan rahimahullahu [1] saja diriwayatkan oleh banyak sekali ulama diseluruh dunia. Belum lagi ulama-ulama lain dari selain jalur Syaikh Umar Hamdan rahimahullahu.
Ambil contoh saja Syaikh Yasin Fadani rahimahullahu [2].


Sampul Dalam
Kitab Ithaful Ikhwan
Syaikh Yasin Padani
 
Dalam Kitabnya Ithaful Ikhwan bi Ikhtishar Muthmahil Wajdan Fi Asanid Asy-Syaikh Umar Hamdan, Syaikh Yasin Padani rahimahullahu telah meringkas sanad-sanad periwayatan/ijazah yang dimiliki Syaikh Umar Hamdan rahimahullahu dalam sebuah kitab setebal kurang lebih 263 halaman. Kitab ini bahkan telah diberi ijazah secara khusus oleh Syaikh Umar Hamdan rahimahullahu sendiri sebagaimana dicantumkan dihalaman 9.
Dalam kitab Syaikh Yasin Padani rahimahullahu yang lain yang berjudul: Al-‘Ujalah fi Al-Ahadits Al-Musalsalah disebutkan beberapa sanad dari berbagai  jalur melalui Syaikh Umar Hamdan rahimahullahu. Pada musalsal no. 84 beliau berkata, “Mengkhabarkan kepada kami Al-Allamah Asy-Syaikh Umar Hamdan Al-Mahrusi dan Syaikh Muhammad Abdul Baqi, tiap-tiap keduanya dari Sayyid Ali ibn Dhohir Al-Witri dari Abdul Ghani Ad-Dahlawi dari Muhammad ‘Abdin As-Sindi.. dan seterusnya.


Sampul Dalam
Kitab Al-‘Ujalah
Syaikh Yasin Padani

Contoh yang lain adalah Syaikh Ahmad Al-Ghumari rahimahullahu . [3]
Dalam Kitabnya Al-Mu’jam Al-Wajiz, Syaikh menceritakan biografi singkat Masyaikh yang memberikan kepadanya ijazah/sanad, salah satunya adalah Syaikh Umar Hamdan rahimahullahu (Urutan no. 59).
Contoh yang lain lagi adalah Syaikh Hasan Masyath Al-Makki rahimahullahu.[4]
Dalam Kitabnya Ats-Tsabat Al-Kabir, disebutkan didalamnya banyak Masyaikh yang memberikan kepada beliau ijazah/sanad, diantaranya dari Syaikh Umar Hamdan rahimahullahu (hal 162-163).
Dan banyak lagi yang lainnya. 

Sampul Dalam
Kitab Al-Mu’jam al-Wajiz
Syaikh Ahmad Al-Ghumari

Bahkan Dr. Ridho bin Muhammad Shafiyudin telah menyebutkan 55 murid dari Syaikh Umar Hamdan yang terkenal meriwayatkan dari beliau, dalam tulisannya ”Syaikh Muhadits Haramain Umar bin Hamdan bin Umar al-Mahrasi al-Makki al-Madini”. [5] Sayang sekali tidak ada didalam 55 nama itu Haji Nur Hasan Ubaidah. Begitu juga dalam Natsrul Zawahir karya Dr. Yusuf bin Abdurahman hal. 933, disana disebutkan banyak nama murid syaikh, tidak ada nama Haji Nur Hasan Ubaidah. 


Sampul Dalam
Kitab Ats-Tsabat Al-Kabir
Syaikh Hasan Masyath
Bisa jadi kalaupun benar Haji Nur Hasan termasuk murid Syaikh Umar Hamdan rahimahullahu, maka dia bukan termasuk murid syaikh yang terkenal, apalagi yang paling hebat dan istimewa seperti kisah yang banyak beredar dikalangan jama’ahnya.




[1] Beliau adalah Abu Hafs Umar ibn Hamdan ibn Umar ibn Hamdan al-Mahrasi At-Tunisi Al-Maghribi al-Madani Al-Maki, ahli hadits terkenal, lahir di Maroko pada tahun 1292 H dan meninggal di Madinah tahun 1368 H/1949 M.
Lihat biografi beliau dalam kitab :
-  Muhadits Haramain Umar bin Hamdan bin Umar al-Mahrasi al-Makki al-Madini oleh Dr. Ridho bin Muhammad Shafiyudin,
-  Ithaful Ikhwan bi Ikhtishar Muthmahil Wajdan Fi Asanid Asy-Syaikh Umar Hamdan oleh Syaikh Yasin Padani,
-  Natsrul Zawahir karya Dr. Yusuf bin Abdurahman hal. 931-933,
-  Tasynif al-Asma’ bi Syuyukh Al-Ijazah was Sama’ oleh Mahmud Said Mamduh hal. 426-432, dan lain sebagainya.
[2] Beliau adalah Abi Faid Muhammad Yasin bin Isa bin Udiq al-Fadani al-Indunisiyi asy-Syafi'I, Musnad dunya, berasal dari Padang Indonesia dan menetap di Mekkah. Lahir tahun 1335 H / 1916 M, dan meninggal dunia di Mekah, 1410 H / 1989 M.
Lihat biografi beliau dalam kitab : Natsrul Zawahir karya Dr. Yusuf bin Abdurahman hal. 2147 - 2150.
[3] Beliau adalah Ahmad bin Muhammad bin Shodiq Al-Ghumari, ulama sufi Maroko, meninggal tahun 1380 H/1962 M.
Lihat biografi beliau dalam kitab : Tasynif al-Asma’ bi Syuyukh Al-Ijazah was Sama’ oleh Mahmud Said Mamduh hal. 71.
[4] Beliau adalah Abu Ahmad Hasan bin Muhammad bin Abbas bin Ali bin Abdul Wahid Al-Masyath, Ahli hadits Mekkah, meninggal tahun 1399 H/1979 M.
Lihat biografi beliau dalam kitab : Ats-Tsabat Al-Kabir dalam Muqadimah (hal 19 dan seterusnya) oleh Dr. Muhammad bin Abdul Karim bin Ubaid.
[5] Diterbitkan oleh Departemen Studi Keislaman di Fakultas Al-Adab wa al-Ulum al-Insaniyah Universitas Malik Abdul Aziz di Jeddah.

Manqul Bukan Jaminan Kebenaran (2)
Kedua,
Sanad dan ijazah seperti ini bukanlah jaminan kebenaran dalam hal aqidah atau manhajnya. Bukan pula jaminan orang yang memberi ijazah akan sama aqidah atau manhajnya dengan orang yang diberi ijazah. Dahulu pun contohnya sangat banyak, para perawi yang meriwayatkan hadits tapi mereka memiliki pemahaman menyimpang seperti Khawarij, Murji’ah dan lainnya.

Misalkan ada perawi yang bernama: Imron bin Hiththan seorang perowi dalam Shahih Bukhori, lihat dihadits no. 5835 dan 5952. Walaupun Imam Bukhori rahimahullahu meriwayatkan dari jalur dia, sebenarnya Imron berpemahaman Khawarij.[1]
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu (w. 852 H/ 1448 M) berkata,
عمرَان بن حطَّان السدُوسِي الشَّاعِر الْمَشْهُور كَانَ يرى رَأْي الْخَوَارِج قَالَ أَبُو الْعَبَّاس الْمبرد كَانَ عمرَان رَأس القعدية من الصفرية وخطيبهم وشاعرهم انْتهى والقعدية قوم من الْخَوَارِج كَانُوا يَقُولُونَ بقَوْلهمْ وَلَا يرَوْنَ الْخُرُوج بل يزينونه وَكَانَ عمرَان دَاعِيَة إِلَى مذْهبه
“Imran bin Hiththan as-Sudusi, seorang penyair terkenal. Ia berfaham Khawarij. Abu Abbas al-Mubarrad berkata, ‘‘Imran bin Hiththan adalah pimpinan, penyair dan khathib al-Qa’diyah.’ Al-Qa’diyah adalah kelompok sempalan dari Khawârij yang berpandangan tidak perlu memberontak atas penguasa akan tetapi mereka hanya merangsang untuk memberontak. Imran adalah juru dakwah kepada mazhabnya”. (Fathul Baari 1/432).
Alasan Imam Bukhori rahimahullahu dan para ulama lainnya menerima hadits Imran karena walaupun berpemahaman Khawarij, Imron dikenal tsiqah dan tidak suka berdusta.
Al-Hafizh Al-Mizzi rahimahullahu (w. 742 H/ 1341 M) berkata,
قَالَ أَبُو دَاوُدَ: لَيْسَ فِي أَهْلِ الأَهْوَاءِ أَصَحُّ حَدِيْثاً مِنَ الخَوَارِجِ. ثُمَّ ذَكَرَ عِمْرَانَ بنَ حِطَّانَ
Imam Abu Dawud berkata, Tidak ada dari ahli bid’ah yang shahih haditsnya kecuali dari kelompok Khawarij, kemudian beliau menyebutkan Imron bin Hiththan… ”. (Tahdzib Al-Kamal 22/323).[2]



[1] Imron semula adalah ahlus sunnah, kemudian diakhir hidupnya berubah karena terpengaruh oleh istrinya. Al-Hafizh Ibnu Atsakir rahimahullahu menyebutkan kisahnya, “… Bahwa Imran bin Hiththan menikahi perempuan Khawarij (dengan tujuan) untuk mengeluarkan perempuan tersebut dari pemahaman Khawarijnya. Akan tetapi, perempuan itulah yang justru kemudian mengubah Imran menjadi Khawarij” (Tarikh Dimasyq 43/490).
[2] Lihat pula biografi Imron oleh:
§  Bukhori dalam Tarikh (6/413),
§  Ibnu Abi Hatim dalam Jarh wa Ta’dil jilid (6/296),
§  Ibnu Hibban dalam Ats-Tsiqah (5/222),
§  Adz-Dzahabi dalam Siyar ‘Alam An-Nubala (5/121 –cet. Darul Hadits),
§  Ibnu Hajar dalam Tahdzib At-Tahdzib (8/127) dan lainnya.

Ahli FBBL Tidak Diterima Riwayatnya (3)

Ketiga,
Dalam hubungannya dengan ilmu hadits, orang yang suka bertaqiyah atau bersumpah palsu demi membela mazhabnya tidak dapat diterima riwayatnya, walaupun ia menyebutkan sanad disertai sumpah. Jama’ahnya Nur Hasan Ubaidah dikenal memiliki sikap taqiyah dan membolehkan sumpah palsu untuk membela kelompoknya, yang disebut Fathonah, bithonah, budi luhur (FBBL), bahkan menjadikannya ibadah dan menisbatkannya kepada sunnah.[1] Dengan demikian, andaikata benar mereka memiliki sanad periwayatan maka periwayatannya itu tidak diterima disisi ahli hadits ditinjau dari ilmu hadits.
Al-Hafizh Adz-Dzahabi rahimahullahu (w. 748 H/ 1347 M) memberi alasan,
بَلِ الْكَذِبُ شِعَارُهُمْ، وَالنِّفَاقُ وَالتَّقِيَّةُ دِثَارُهُمْ، فَكَيْفَ يُقْبَلُ مَنْ هَذَا حَالُهُ
”... sebab bahkan kedustaan adalah ciri khas mereka dan taqiyah dan nifak pakaian mereka. Bagaimana bisa diterima riwayat dari mereka?”. (Mizan Al-I’tidal 1/118 –Cet Darul Kutub Ilmiyah)
Maksud beliau, walaupun mereka memiliki sanad dan menuturkan sanad, tapi riwayat mereka tetap tidak diterima, sebab menjadi kabur dan tersamar antara kebenaran dan kedustaannya. Tidak jelas, apakah riwayatnya ini taqiyah atau sebuah kebenaran. 

Sampul Al-Kifayah


Imam Al-Khathib Al-Baghdadi rahimahullahu (w. 463 H/ 1072 M) berkata,
طَائِفَة من أهل الْعلم إِلَى قبُول أَخْبَار أهل الْأَهْوَاء الَّذين لَا يعرف مِنْهُم استحلال الْكَذِب وَالشَّهَادَة لمن وافقهم
”... Sebagian ulama menerima riwayat dari ahli bid’ah yang tidak dikenal menghalalkan dusta dan membuat kesaksian palsu untuk para pengikutnya”. (Al-Kifayah hal. 367 –cet Darul Huda).
Al-Hafizh Ibn Shalah rahimahullahu (w. 643 H/ 1245 M) berkata,
وَمِنْهُمْ مَنْ قَبِلَ رِوَايَةَ الْمُبْتَدِعِ إِذَا لَمْ يَكُنْ مِمَّنْ يَسْتَحِلُّ الْكَذِبَ فِي نُصْرَةِ مَذْهَبِهِ أَوْ لِأَهْلِ مَذْهَبِهِ
”Diantara para ulama ada yang menerima riwayat ahli bid’ah asal tidak menghalalkan dusta untuk membela mazhab atau bagi pengikutnya”. (Muqadimah Ibn Shalah hal. 298 –cet Darul Ma’arif).
Imam Nawawi rahimahullahu (w. 676 H/ 1278 M) berkata,
وَمَنْ لَمْ يُكَفَّرْ قِيلَ: لَا يُحْتَجُّ مُطْلَقًا، وَقِيلَ: يُحْتَجُّ بِهِ إِنْ لَمْ يَكُنْ مِمَّنْ يَسْتَحِلُّ الْكَذِبَ فِي نُصْرَةِ مَذْهَبِهِ، أَوْ لِأَهْلِ مَذْهَبِهِ ،
”Dan siapa saja (Ahli bid’ah) yang tidak kafir, sebagian (ulama) menolak riwayatnya secara mutlak dan sebagian yang lain menerima asal tidak menghalalkan dusta untuk membela madzhab dan pengikut madzhabnya”. (At-Taqrib wa At-Taisir hal. 50-51 – Darul Kutub Al-’Arobi).



[1] Pembahasan masalah ini akan datang dalam bab khusus, insyaAllah Ta’ala. Disana dijelaskan perbedaan antara taqiyah yang disyari’atkan dan taqiyahnya Pengikut H. Nur Hasan.


Pencetus Manqul Kok Tidak Jelas Ijazah Manqulnya?! (4)





Keempat,

Kenyataannya sang pencetus ilmu manqul itu sendiri tidak jelas sanad/ijazahnya sebab katanya hilang dibecak. Kita sekarang ini susah untuk menelusuri kebenaran atau keabsahan sanadnya itu. Sedangkan ijazah itu sendiri baru sah setelah ada cap atau tandatangan dari Pemberi ijazah seperti telah ma’ruf.

Contoh ijazah dari Syaikh Umar Hamdan rahimahullahu yang diberikan kepada seorang muridnya:

Contoh Ijazah Syaikh Umar Hamdan
Anehnya… walaupun sanad Haji Nur Hasan sendiri tidak jelas, tapi tetap saja mereka berani berhujjah mengkafirkan manusia dan menganggap amalan selain kelompoknya tidak sah hanya gara-gara orang-orang awam itu dianggap tidak memiliki sandaran sanad/ijazah dari masyaikh?!! ...
MasyaAllah hal yang demikian mengherankan orang-orang berakal …

Lha Yang Mewajibkan Manqul Kok Ndak Manqul?!! (5)

Kelima,
Mereka sendiri tidak konsisten dalam menerapkan sanad/ijazah ini. Kadangkala mereka mengutip dari siapa saja –tentu saja tanpa ‘manqul’ dari si sumber tersebut- asalkan dianggap menguntungkan dan mendukung maka segera akan mereka kutip. Kalau mereka konsisten, seharusnya segala sesuatu ada manqulnya ada riwayatnya ada sanadnya. Tapi kenyataannya, mereka sendiri tidak melakukannya.
Agaknya sikap ghuluw ini telah melelahkan pelakunya …

Sampul Mukthasor Al-Jama'ah
Contohnya sangat banyak sekali, misalkan mereka memanqulkan lembaran yang diberi judul Luzumul Jama’ah atau disebut juga Mukhtasor Al-Jama'ah Wa Al-Imamah, disana mereka mengutip dari Syaikh Majhul (tidak dikenal) bernama Syaikh Dr. Shodiq Amin, padahal sosok ini adalah sosok imajiner, sebab ini adalah nama samaran dari sebuah tim penulis Ikhwanul Muslimin yang disembunyikan.[1] Lalu sejak kapan, Para Pengikut Nur Hasan itu merasa telah manqul dari orang imajiner ini?!!! ...
Kalau mereka benar-benar telah manqul, lalu mana sanad/ijazah antum kepada Syaikh Shodiq Amin tersebut?!!.
Begitu juga mereka mengutip dari Mu’amalatul Hukam, apakah benar mereka telah manqul kitab ini dari Syaikh Ibnu Barjas rahimahullahu (w. 1425 H). Begitu juga mereka mengutip dari beberapa syaikh yang lain, apakah benar-benar mereka telah manqul dari yang bersangkutan?.



[1] Mereka menukil perkataan seorang yang bernama Syaikh Dr. Shadiq Amin dari bukunya ‘Ad-Da’wah Al-Islamiyah Faridhah Syar’iyah Wadharurah Basyriyah’. Orang dengan nama ini majhul, tidak diketahui siapa dia, sedangkan pada bukunya itu, ia banyak menyebutkan hal-hal dusta dan pengelabuan. Semula orang-orang menduga bahwa Shodiq Amin itu adalah Syaikh Abdullah Azzam rahimahullahu, tapi kemudian Syaikh ini pun mengingkarinya, dan mengatakan bahwa pembuatnya terdiri dari beberapa orang dari kalangan ikhwanul Muslimin. (Lihat dalam catatan kaki Kutub Hadzara Minhal Ulama (1/351) oleh Syaikh Masyhur Hasan Alu Salman).
Syaikh Ali Hasan Al-Halabi, muhadits Yordania berkata, “Sesungguhnya nama ‘Shadiq Amin’ (artinya orang yang benar dan terpercaya -pen) menyelisihi shidq (kebenaran) dan amanah. Maka ‘Shadiq Amin’ adalah kepribadian khayal yang tidak ada wujudnya sama sekali, tetapi ketiadaan keberanian ilmiah menjadikan pemilik (nama) itu bersembunyi dibelakang nama-nama pinjaman dan menjiplak kepribadian-kepribadian khayal dengan menunggangi kedustaan dan dugaan! Padahal tidak diizinkan oleh syari’at”. (Lihat dalam catatan kaki Tashfiyah wat-Tarbiyah, footnote ke 14 hal. 15).

Tak Manqul Kok Ajaib Imannya? (6)

Keenam,
Sebenarnya Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam tidak pernah mengatakan bahwa siapa saja yang tidak manqul/tidak punya sanad ijazah, ilmunya tidak diterima, ditolak, semua amalannya dianggap tidak sah, maka shalatnya tidak sah, begitu juga puasa, haji, zakat dan amalan lainnya pun tidak sah. Bahkan syahadatnya pun tidak sah, sehingga orang (yang tidak mangkul) itu masih kafir.
Itu semua adalah pemahamannya jama’ah H. Nur Hasan yang keliru dan tidak memiliki dalil yang kuat. Bahkan riwayat yang ada justru sebaliknya, orang yang menerima ilmu dari sebuah kitab saja lalu beriman dengan apa yang ada didalamnya justru dianggap “orang-orang yang ajaib imannya” oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam. 


Sampul dalam
Kitab Juz’un Al-Hasan bin Arfah yang ditahqiq Syaikh Abdurrahman  Al-Faryawai

Diriwayatkan oleh Imam Al-Hasan ibn Arfah rahimahullahu dalam Juz’un (hal. 20 no. 19 [1]),
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ عَيَّاشٍ الْحِمْصِيُّ، عَنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ قَيْسٍ التَّمِيمِيِّ، عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «أَيُّ الْخَلْقِ أَعْجَبُ إِلَيْكُمْ إِيمَانًا؟» ، قَالُوا: الْمَلَائِكَةُ، قَالَ: «وَمَا لَهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ، وَهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ عَزَّ وَجَلَّ؟» ، قَالُوا: فَالنَّبِيُّونَ، قَالَ: «وَمَا لَهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ، وَالْوَحْيُ يَنْزِلُ عَلَيْهِمْ؟» ، قَالُوا: فَنَحْنُ، قَالَ: «وَمَا لَكُمْ لَا تُؤْمِنُونَ، وَأَنَا بَيْنَ أَظْهُرِكُمْ؟» ، قَالَ: فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَلَا إِنَّ أَعْجَبَ الْخَلْقِ إِلَيَّ إِيمَانًا لَقَوْمٌ يَكُونُونَ مِنْ بَعْدِكُمْ، يَجِدُونَ صُحُفًا فِيهَا كُتُبٌ يُؤْمِنُونَ بِمَا فِيهَا»
Menceritakan kepada kami Ismail ibn ‘Iyasy Al-Hamshi dari Al-Mughiroh ibn Qais At-Tamimi dari ‘Amru ibn Syu’aib dari Bapaknya dari Kakeknya, yang berkata: Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda: "Makhluk mana yang menurut kalian paling ajaib imannya?". Mereka mengatakan: "Para malaikat." Nabi shallallahu’alaihi wasallam mengatakan: "Bagaimana mereka tidak beriman sedang mereka disisi Rabb mereka?". Mereka pun (para sahabat) menyebut para Nabi, Nabi shallallahu’alaihi wasallam pun menjawab: "Bagaimana mereka tidak beriman sedang wahyu turun kepada mereka". Mereka mengatakan: "Kalau begitu kami?". Nabi shallallahu’alaihi wasallam menjawab: "Bagaimana kalian tidak beriman sedang aku ditengah-tengah kalian." Mereka mengatakan: "Maka siapa wahai Rasulullah?". Beliau shallallahu’alaihi wasallam menjawab:  "Orang-orang yang ajaib imannya adalah orang-orang yang datang setelah kalian, mereka hanya menemukan lembaran-lembaran kitab lalu mereka beriman dengan apa yang di dalamnya".
Atsar ini telah dikuatkan Imam As-Sakhawi rahimahullahu (w. 902 H/ 1497 M) dalam Fathul Mughits (2/156).[2]
Al-Hafizh Ibn Katsir rahimahullahu [3] (w. 774 H/ 1372 M) dalam Tafsirnya (1/167 –cet Darul Thoyibah) menjadikan hadits ini dalil bagi amalan wijadah[4].
Dan Imam Al-Albani rahimahullahu [5] mendhaifkannya dalam Adh-Dhaifah no. 647, kemudian beliau rujuk dengan menghasankannya dalam Ash-Shahihah (7/654-657 no. 3215).



[1] Semisalnya Al-Khatib dalam Syaraf Ashabul Hadits (1/65) no. 55.
[2] Imam As-Sakhawi rahimahullahu berkata,
وَقَدِ اسْتَدَلَّ الْعِمَادُ بْنُ كَثِيرٍ لِلْعَمَلِ بِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْحَدِيثِ الصَّحِيحِ: («أَيُّ الْخَلْقِ أَعْجَبُ إِلَيْكُمْ إِيمَانًا؟) 
“Dan sungguh beristidal (menjadikannya dalil) Al-Imad ibn Katsir bagi amalan (wijadah) dengan sabda Rasulullah n dalam hadits shahih: “Apakah mahluk yang paling ajaib imannya?....”. (Fathul Mughits 2/156).
[3] Al-Hafizh Ibn Katsir rahimahullahu berkata dalam Tafsirnya (1/167 –cet Darul Thoyibah):
وَهَذَا الْحَدِيثُ فِيهِ دَلَالَةٌ عَلَى الْعَمَلِ بالوِجَادة الَّتِي اخْتَلَفَ فِيهَا أَهْلُ الْحَدِيثِ
“Dan hadits ini didalamnya terdapat dalil atas amal dengan wijadah yang berbeda pendapat tentangnya ahli hadits”.
[4] Istilah ketika rowi meriwayatkan dari kitab/lembaran hadits yang tidak didengar langsung dari pemiliknya, tidak pula lewat ijazah atau munawalah. Wijadah tentu tidak masuk dalam cakupan manqul.
Imam Al-Bulqini rahimahullahu sebagaimana dalam Fathul Mughits (2/156) mengatakan, 
وَهُوَ اسْتِنْبَاطٌ حَسَنٌ
“Dan ini (apa yang dikatakan Ibnu Katsir dan lainnya) adalah istinbat yang baik”.
Al-Imam Ibn Sholah rahimahullahu (w. 643 H) dalam Ulumul Hadits (hal. 181 – cet Darul Fikr) memberi alasan,
فَإِنَّهُ لَوْ تَوَقَّفَ الْعَمَلُ فِيهَا عَلَى الرِّوَايَةِ لَانْسَدَّ بَابُ الْعَمَلِ بِالْمَنْقُولِ، لِتَعَذُّرِ شَرْطِ الرِّوَايَةِ فِيهَا
"Karena seandainya pengamalan itu tergantung pada periwayatan maka akan tertutuplah pintu pengamalan hadits yang dinukil (yang dimanqul) karena tidak mungkin terpenuhinya syarat periwayatan padanya".
Ahli Hadits Mesir Syaikh Ahmad Syakir rahimahullahu berkata,
والكتب الأصول الامهات في السنة  وغيرها : تواترت  روايتها الى مؤلفيها بالوجادة  ومختلف الاصول العتيقة الخطية الموثوق بها. ولا يتثكك في هدا الا غافل عن دقة المعنى في الراوية والوجادة اومتعنت لا تقنعه حجة
"Dan kitab-kitab pokok dalam sunnah dan selainnya, telah mutawatir periwayatannya sampai kepada para penulisnya dengan cara al-wijadah. Demikian pula berbagai macam buku pokok yang lama yang masih berupa manuskrip tapi dapat dipercaya, Tidak meragukan keabsahannya kecuali orang yang lalai dari ketelitian makna pada bidang riwayat dan al-wijadah, atau orang yang membangkang, yang tidak puas dengan hujjah”. (Al Baitsul Hatsits hal 126 –cet Darul Kutub Al-Ilmiyah).
[5] Beliau adalah Muhammad Nashiruddin bin Nuh Najati Al-Albani. Ahli Hadits Abad Ini. Syaikh Bin Baz pernah berkata, “Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaani, beliaulah mujaddid abad ini dalam pandanganku, wallahu’alam". Syaikh Al-Albani wafat pada hari Jum'at malam Sabtu tanggal 21 Jumada Tsaniyah 1420 H atau bertepatan dengan tanggal 1 Oktober 1999 di Yordania.
Lihat biografi beliau dalam kitab : Tarjamah Muwajazah li Fadhilatul Muhadits Syaikh Abu Abdurahman Muhammad Nashruddin Al-Albani karya Dr. Ashim Al-Quryuthi.  Hayat Al-Albani karya Syaikh Syaibani dan lainnya.

Para Ahli Hadits pun Tidak Se-Lebay Mereka (7)

Ketujuh
Kebanyakan Ahli hadits yang nyata-nyata dalam keilmuan dan ketinggian sanad atau ijazahnya diakui oleh dunia, ternyata tidak se-lebay Haji Nur Hasan dan pengikutnya dalam masalah ini. Bahkan sebagian ulama telah menukil adanya ijma (kesepakatan ulama) dalam masalah bolehnya beramal dengan sebuah kitab walaupun tidak memiliki sanad yang muntasil kepada penulisnya, selama kitab itu shahih dan diyakini kebenaran isinya kepada penulisnya.
Imam As-Sayuthi rahimahullahu (w. 911 H/ 1505 M) dalam Tadribur Rawi fi Syarah Taqrib An-Nawawi hal 75-76 mengatakan,
قَالَ ابْنُ بَرْهَانٍ فِي الْأَوْسَطِ ذَهَبَ الْفُقَهَاءُ كَافَّةً إلَى أَنَّهُ لَا يَتَوَقَّفُ الْعَمَلُ بِالْحَدِيثِ عَلَى سَمَاعِهِ بَلْ إذَا صَحَّ عِنْدَهُ النُّسْخَةُ جَازَ لَهُ الْعَمَلُ بِهَا وَإِنْ لَمْ يَسْمَعْ ، وَحَكَى الْأُسْتَاذُ أَبُو إِسْحَاقَ الْإسْفَرايِينِيّ الْإِجْمَاعَ عَلَى جَوَازِ النَّقْلِ مِنْ الْكُتُبِ الْمُعْتَمَدَةِ وَلَا يُشْتَرَطُ اتِّصَالُ السَّنَدِ إلَى مُصَنِّفِهَا وَذَلِكَ شَامِلٌ لِكُتُبِ الْأَحَادِيثِ وَالْفِقْهِ ، وَقَالَ الطَّبَرِيُّ مَنْ وَجَدَ حَدِيثًا فِي كِتَابٍ صَحِيحٍ جَازَ لَهُ أَنْ يَرْوِيَهُ وَيَحْتَجُّ بِهِ
“Berkata Ibn Barhan didalam kitab Al-Ausath: Ahli fiqh secara keseluruhan berpendapat bahwa mengamalkan hadits tidak hanya terbatas dengan mendengarkannya saja, bahkan jika teks hadits itu shahih menurutnya, maka boleh mengamalkan teks hadits itu walaupun tidak didengarkan. Ustadz Abu Ishaq Al-Asfarayaini menceritakan ijma atas bolehnya menukil dari beberapa kitab yang menjadi pegangan dan tidak diisyaratkan bahwa sanadnya harus bersambung dengan penulisnya, sama saja baik kitab-kitab hadits atau fiqh. Ath-Thabari berkata, “Barangsiapa yang mendapatkan suatu hadits didalam kitab shahih, maka ia boleh meriwayatkannya dan berhujjah dengannya”.
Syaikh Muhammad Jamaluddin Al-Qasimi rahimahullahu [1] Ahlu Hadits dari Syam menyebutkan pula nukilan ijma ini dalam kitabnya Al-Mashu ’ala Al-Jaurabain hal 61. Kitab ini diberi muqadimah oleh Syaikh Ahmad Syakir rahimahullahu [2] dan dikomentari oleh Syaikh Al-Albani rahimahullahu.
Al-Qasimi rahimahullahu menyebutkannya pula dalam Qawa’id al-Tahdits hal 213.
Al-Hafizh Abu Bakar Ahmad bin Ali bin Tsabit bin Ahmad bin Mahdi Al-Khathib Al-Baghdadi rahimahullahu (w. 463 H/ 1072 M) dalam Al-Kifayah fi Ilmu Riwayah (halaman 354 dan seterusnya –cet Maktabah Al-Ilmiyah), bahkan membuat suatu bab khusus yang beliau beri judul:
ذِكْرُ بَعْضِ أَخْبَارِ مَنْ كَانَ مِنَ الْمُتَقَدِّمِينَ يَرْوِي عَنِ الصُّحُفِ وِجَادَةً مَا لَيْسَ بِسَمَاعٍ لَهُ وَلَا إِجَازَةٍ
“Sebagian Khabar menyebutkan bahwasanya ada diantara orang-orang terdahulu (ulama dulu) yang meriwayatkan dari lembaran yang mereka dapatkan bukan lewat pendengaran (sema’an) atau ijazah (izin meriwayatkan)”.
Kemudian beliau menyebutkan hadits-haditsnya….  [3]
Silahkan download terjemahan dan catatan kaki Al-Kifayah fi Ilmu Riwayah hal. 354  disini (klik)


[1] Beliau adalah Jamaluddin atau Muhammad Jamaluddin bin Muhammad Said bin Qasim. Ahli Hadits Syam di Zamannya. Meninggal tahun 1332 H/ 1914 M.
Lihat biografi beliau dalam kitab : Syaikhul Syam Jamaluddin Al-Qasimi karya Syaikh Mahmud Mahdi al-Istambuli. Jamaluddin Al-Qasimi Ahda Ulama’ al-Ishlahul Hadits Fi Syam karya Dr. Nazhar Abathoh dan lainnya.
[2] Beliau adalah Ahmad Ibn Muhammad Syakir Ibn Ahmad Ibn 'Abdil-Qadir. Ahli Hadits Mesir pada zamannya. Lahir pada tahun 1309 H /1892 M dan meninggal di Mesir tahun 1377 H /1958 M.
Lihat biografi beliau dalam kitab : Shubhul Safir fi Hayat Al-Allamah Ahmad Syakir karya Rajab bin Abdul Maqshud.
[3] Penulis akan memberi keterangan dan catatan kaki semampunya.

Benarkan Orang Yang Tidak Manqul Pencuri Ilmu? (8)
Kedelapan
Para pengikut Haji Nur Hasan Ubaiidah menuduh orang yang beramal dengan kitab tanpa sanad kepada penulisnya (tanpa manqul) sebagai pencuri ilmu (berdosa). Padahal ilmu para Nabi telah diwarisi oleh para ulama dan diabadikan dalam karya-karya ilmiyah mereka, dan semuanya adalah hak setiap orang muslim untuk mempelajari dan mengamalkannya, tidak satupun dari mereka (ulama) yang mensyaratkan suatu persyaratan tertentu bagi yang ingin membaca karya mereka.
Contohnya Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu (w. 204 H/ 820 M) sebagaimana dikisahkan oleh Abu Nu’aim rahimahullahu (w. 430 H/ 1038 M) dalam kitabnya Hilyatul Auliya (9/118),
حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ أَحْمَدَ الْمُقْرِئُ، ثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عُبَيْدٍ الشَّعْرَانِيُّ، قَالَ: سَمِعْتُ الرَّبِيعَ بْنَ سُلَيْمَانَ، يَقُولُ: دَخَلْتُ عَلَى الشَّافِعِيِّ وَهُوَ عَلِيلٌ، فَسَأَلَ عَنْ أَصْحَابِنَا، وَقَالَ: «يَا بُنَيَّ، لَوَدِدْتُ أَنَّ الْخَلْقَ كُلُّهُمْ تَعَلَّمُوا - يُرِيدُ كُتُبَهُ - وَلَا يُنْسَبُ إِلَيَّ مِنْهُ شَيْءٌ
Menceritakan kepada kami Ibrohim bin Ahmad Al-Muqri, menceritakan kepada kami Ahmad bin Muhammad bin Ubaid Asy-Sya’rani. Beliau berkata, “Aku mendengar Ar-Robi’ bin Sulaiman berkata, Aku mengunjungi Syafi’i ketika menjelang wafatnya. Seorang teman kami bertanya kepada beliau, maka beliau menjawab, “Ya anakku, aku berangan-angan seandainya seluruh manusia mempelajari karya-karyaku, dan mereka tidak menisbatkan sedikitpun dari karya-karya itu kepadaku”.

Dalam Sunan Abu Dawud Ada Yang Tidak Manqul ?! (9)
Kesembilan,
Dalam ilmu hadits terdapat istilah wijadah, dengan dalil sabda Rasulullah shallallahu’alahi wasallam seperti yang telah kami sebutkan pada bagian keenam. Sebagian ulama hadits telah menerima riwayat wijadah tanpa mempersoalkannya, asalkan ada kepastian keshahihan teks yang diwijadahi.
Dalam Kutubusittah saja terdapat riwayat wijadah, sebagaimana dalam Sunan Abu Dawud (1/289) no. 1108,
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا مُعَاذُ بْنُ هِشَامٍ قَالَ وَجَدْتُ فِي كِتَابِ أَبِي بِخَطِّ يَدِهِ وَلَمْ أَسْمَعْهُ مِنْهُ قَالَ قَتَادَةُ عَنْ يَحْيَى بْنِ مَالِكٍ عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ
Menceritakan kepada kami Ali Ibn Abdullah, menceritakan kepada kami Mu’adz ibn Hisyam[1], beliau berkata, “Aku menemukan dalam kitab bapakku dengan tulisan tangannya dan aku tidak mendengar hadits ini dari beliau”. Beliau berkata: Qatadah dari Yahya ibn Malik dari Samurah ibn Jundub… dan seterusnya sampai akhir hadits
Hadits ini dari jalur wijadah Ibnu Hisyam, diriwayatkan pula oleh:
·      Imam Ahmad rahimahullahu (w. 241 H/ 855 M) dalam Musnad (5/11) no. 20130,
·      Imam Al-Hakim rahimahullahu (w. 405 H/ 1015 M) dalam Al-Mustadrak (1/427) no. 1068,
·      dan Imam Baihaqi rahimahullahu (w. 458 H/ 1066 H) dalam Sunan (3/238) no. 5722.
Walaupun tidak termasuk dalam kaidah manqul Nur Hasan, Imam Al-Hakim rahimahullahu malah berkata tentang hadits ini, “Shahih berdasarkan syarat Imam Muslim”, yakni artinya sanad hadits ini termasuk dalam kategori shahih menurut Imam Muslim rahimahullahu (w. 261 H/ 875 M) dalam Shahihnya, pendapat Al-Hakim disepakati Al-Hafizh Adz-Dzahabi rahimahullahu (1/289).
Dan hadits ini dihasankan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam ash-Shahihah no. 365.
Banyak sekali Ahli hadits yang meriwayatkan hadits-hadits wijadah semisal ini, tentu tidak mungkin penulis sebut semuanya, akan tetapi hanya sebagian contoh saja. Penulis akan sebutkan dengan no dan halamannya agar pembaca mudah merujuknya langsung:
1.         Imam Ibn Sa’ad rahimahullahu (w. 168 H/ 785 M) dalam Thabaqah (1/70),
2.         Imam Abdurrazaq rahimahullahu (w. 211 H/ 827 M) dalam Al-Mushanaf no. 1134, 4335, 9473,
3.         Imam Ibn Abi Syaibah rahimahullahu (w. 235 H/ 850 M) dalam Mushanaf (1/344/4) dan (6/304/5),
4.         Imam Abd ibn Hamid rahimahullahu (w. 249 H/ 863 M) dalam Musnad (1/193) no. 182,
5.         Imam Ibn Abi Dunya rahimahullahu (w. 281 H/ 894 M) dalam Sifatul Jannah no. 154,
6.         Imam Al-Bazzar rahimahullahu (w. 292 H/ 905 M) dalam Musnad no. 1116 (no. 53 - Musnad Sa’ad) atau dalam Bahrul Zakhr (3/355) no. 998,
7.         Imam Abu Ya’la rahimahullahu (w. 307 H/ 920 M) dalam Al-Musnad (14/194) no. 6759,
8.         Imam At-Thabari rahimahullahu (w. 310 H/ 923 M) dalam Tahdzib Al-Atsar (3/42) no. 650,
9.         Imam Abu Awanah rahimahullahu (w. 316 H/ 928 M) dalam Mustakhrij-nya (5/361) no. 2030,
10.     Imam Ath-Thahawi rahimahullahu (w. 321 H/ 933 M) dalam Musykilul Atsar (4/104),
11.     Imam Ibn Abi Hatim rahimahullahu (w. 327 H/ 938 M) dalam Tafsir no. 6843, 7537, 14059, dan 16412,
12.     Imam Thabrani rahimahullahu (w.  360 H/ 971 M) dalam Mu’jam Al-Kabir (3/169) no. 3026 dan Al-Ausath (5/327),
13.     Imam Ibn Sunni rahimahullahu (w. 364 H/ 974 M) dalam Amal Yaum Wal Lailah (2/305) no. 422,
14.     Imam Al-Lalikai rahimahullahu (w. 408 H/ 1027 M) dalam Al-Ushul (1/455) no. 383,
15.     Imam Abu Nu’aim rahimahullahu (w. 430 H/ 1038 M) dalam Hilyatul Auliya (4/179).
16.     Imam Ibn Abdil Bar rahimahullahu (w. 463 H/ 1071 M) dalam Jami Al-Bayan Al-Ilmu (1/234) no. 218,
17.     Imam Ibn Atsakir rahimahullahu (w. 571 H/ 1176 M) dalam Tarikh Dimasyq (7/82), (9/434) dan lainnya banyak sekali.
Apakah pantas jika kita mengkafirkan para ulama diatas karena telah membolehkan riwayat yang tidak manqul dan telah beramal dengan riwayat tersebut?. Kita berlindung kepada Allah Ta’ala dari mengkafirkan kaum muslimin terutama para ulamanya.



[1] Dan telah ma’ruf diketahui kebiasaan wijadahnya Mu’adz ibn Hisyam oleh Ahli Hadits, sebagaimana disebutkan dalam riwayat hidupnya, lihatlah : Adz-Dzahabi rahimahullahu dalam Mizan Al-I’tidzal (6/453 – Darul Kutub Al-Ilmiyah), beliau berkata : “Mu’adz ibn Hisyam ibn Abi Abdillah Al-Dastawa’i Al-Bashri, shaduq, shohibul hadits dan terkenal”. Berkata Ibn Madini, “Disisinya ada sekitar sepuluh ribu hadits dari Ayahnya”. Al-Mizzi rahimahullahu dalam Tahdzib Al-Kamal jilid (28/139 -143) no. 6038 – cet Mu’asasah Ar-Risalah, disana disebutkan bahwa jika Mu’adz mendengar dari ayahnya, dia berkata, “Ini aku mendengarnya (langsung)”, kemudian jika tidak, dia berkata, “Ini tidak didengar (langsung) darinya”.
 
Lihat pula : Bukhari rahimahullahu dalam Tarikh Al-Kabir (7/366) biografi no. 1572, Ibn Hibban rahimahullahu dalam Ats-Tsiqat (9/176) no. 15857 –Darul Fikr. Ibn Hajar rahimahullahu dalam Taqrib At-Tahdzib (1/536) no. 6742 -Dar Ar-Rasyid, dan lainnya.

Ilmu Manqul Bukan Berasal dari Ulama Mekkah Madinah (10)

Kesepuluh
Para pengikut Nur Hasan Ubaidah telah menisbatkan pemahaman manqul ini kepada para ulama Haramain (Mekkah dan Madinah) terutama guru-gurunya di Masjidil Harom dan Darul Hadits Mekkah. Akan tetapi faktanya guru-guru Haji Nur Hasan tidak memiliki pemahaman seperti yang mereka nisbatkan.
Ambil contoh saja para mudaris (guru) di Darul Hadits.[1]
Syaikh Abdurrazaq Hamzah rahimahullahu [2] adalah pendiri dan pengajar Darul Hadits bersama Syaikh Abdul Dhohir Abu Samah rahimahullahu  [3] sekaligus juga menjadi menantunya. Syaikh Abdurrazaq rahimahullahu ini justru memiliki metode mengajar yang menyalahi kaidah manqul Nur Hasan Ubaidah dan pengikutnya. Yaitu menyuruh muridnya membaca sendiri kitab-kitab !!!.
Hal tersebut diterangkan oleh Imam Masjidil Harom, Syaikh Umar bin Muhammad As-Subail rahimahullahu (w. 1423 H) tatkala menjelaskan biografi lulusan terbaik Darul Hadits Mekkah yaitu Syaikh Muhammad As-Sumali (w. 1420 H/ 1999 M) yang hidup sezaman dengan Nur Hasan.
Syaikh Umar bin Muhammad As-Subail rahimahullahu berkata,
وكانت طريقة الشيخ عبد الرزاق في تدريسه للحديث: أنه كان يقرأ السند، ثم يسأل طلابه عن اسم الراوي وكنيته ولقبه، فإذا لم يعرف؛ بحثوا عنه في الكتب
“Syaikh Abdurrazaq ini memiliki metode mengajar ilmu hadits dengan cara menjelaskan rangkaian sanad kemudian memberi pertanyaan kepada murid-muridnya tentang nama, kunyah dan laqab dari para perawi hadits. Bila ada yang tidak bisa menjawab. Ia diharuskan mencari sendiri jawabannya dalam kitab-kitab hadits”.[4]
Contoh yang lainnya,
Salah satu murid Syaikh Umar Hamdan dan Syaikh Muhammad Ibrahim Asy-Syaikh (Mufti Saudi di zaman itu) adalah ulama Mekkah, namanya Syaikh Abdurrahim Shadiq Al-Makki rahimahullahu, beliau ini ternyata membaca-baca kitab Syaikh Al-Albani dan mengambil manfaat darinya, tentu saja tanpa manqul kepada Al-Albani karena Syaikh Al-Albani ini bahkan dikenal lebih banyak mendapatkan ilmu di perpustakaan-perpustakaan dengan membaca buku. 
Syaikh Abdurrahim Shadiq Al-Makki rahimahullahu berkata tentang Kitab karangan-karangan Syaikh Al-Albani yang beliau baca:
لقد سبق لي أن درست شيئأ من كتب السنة وعلومها على مشايخي: عمر حمدان ومحمد إبراهيم الشيخ (مفتي المملكة السعودية رحمه الله) ولكنني وايم الله قد تخرجت أخيرأ من مدرستكم، لمثابرتي على ما تؤلفون وتحققون
“Dahulu saya mempelajari kitab-kitab sunnah dan ilmu hadits pada para guruku: Umar Hamdan dan Muhammad Ibrahim asy-Syaikh (mufti Saudi Arabia rahimahullahu), tetapi Demi Allah, akhir-akhir ini saya telah banyak belajar dari madrasah kalian, dengan selalu aktif mengikuti (membaca) karangan-karangan dan tahqiq-tahqiq anda”.[5]
Perhatikan ….!!! ternyata murid Syaikh Umar Hamdan dan Syaikh Muhammad Asy-Syaikh tidak fanatik dalam “manqul” dan membaca ‘kitab-kitab karangan” andai pemahaman mereka sama dengan Bapak Nur Hasan Al-Ubaidah.
Contoh lain lagi,
Banyak diantara guru-guru di Darul Hadits dan di Masjidil Harom yang menulis dan membuat kitab-kitab yang termasuk kategori ‘kitab karangan” dalam versi Haji Nur Hasan dan pengikutnya. Bahkan kalau memang mereka menerapkan metode manqul sebagaimana dipahami Haji Nur Hasan dan pengikutnya, tidak mungkin mereka menyebarkan tulisan-tulisannya dengan dicetak dan diperbanyak oleh para penerbit, sebagiannya telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa sehingga sampai kepada kaum muslimin diberbagai Negara.

Gambar ini adalah sampul kitab karya Syaikh Abdul Dhohir Abu Samah judulnya: “Ad-Da’watu Ilallah” yang andai diketahui oleh awam Madigoliyah, mereka akan menghukuminya sebagai “Kitab Karangan” yang tidak bernilai dan haram untuk dibaca.

Syaikh Abdul Dhohir Abu Samah rahimahullahu, diantara tulisannya adalah Hayatul Qu-lub Bi Du’a ‘Alamul Ghuyub, Al-Aulia wal Karamat, ar-Risalah Al-Makiyyah, Ad-Da’watu Ilallah dan lainnya.
Syaikh Abdurrazzak Hamzah rahimahullahu , Beliau adalah singa yang buas bagi pengikut bid’ah dan hawa nafsu, beliau memiliki beberapa buku yang membantah kesesatan seperti Dhulumat Abu Rayah dan Al-Muqobalah Baina Al-Hadi wa Dholal. Bukunya ini dicetak dan disebarkan ke berbagai negara sebagai bantahan bagi pelaku bid’ah. Tentu menurut kaidah manqul, ini tidak boleh terjadi karena para pembacanya harus manqul dulu. 

Kitab tentang ilmu hadits yang diberi kata pengantar oleh Syaikh Abdurrazaq Hamzah

Beliau juga telah banyak mentakhrij, menta’liq dan membuat kata pengantar untuk beberapa kitab sunnah, diantarnya kitab Ibnu Katsir yang di Syarh Syaikh Ahmad Syakir tentang ilmu hadits (lihat gambar samping). Dalam kitab ini diterangkan tentang wijadah dan kebolehan beramal dengannya.
Syaikh Abdullah Khoyyat rahimahullahu, termasuk murid senior Syaikh Abdul Dhohir, beliau juga mengajar dan imam di Masjidil Harom.[6] Diantara tulisannya adalah sebuah Tafsir (3 Jilid), Kitab Khutbah fi Masjidil Harom (6 Jilid), Kitab Dalil Al-Muslim fi Al-‘Itiqad, Kitab I’tiqad as-Salaf, dan lainnya berjumlah sekitar 26 kitab, ini yang sempat tercatat.
Syaikh Muhammad Jamil Zainu rahimahullahu, murdaris di Darul Hadits Mekkah[7], kitab-kitab Syaikh telah kita kenal bahkan sangat banyak diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, seperti Minhajul Firqatin Najiyah wat Thaifah Al-Manshurah, Ash Shufiyyah fi Mizan Al Kitab wa As Sunnah, Kaifa Ihtadaitu Ila At Tauhid wa Ash Shirath Al Mustaqim yang berisi kisah beliau menemukan kebenaran tauhid dan manhaj salaf, dan lainnya karya beliau banyak sekali.
Semua itu adalah contoh-contoh yang mudah penulis dapatkan saja, seandainya menelusurinya lebih jauh, penulis yakin akan banyak menemukan fakta lainnya yang menunjukan keyakinan bahwa kaidah manqul ini bukan berasal dari para ulama tersebut tapi murni “ijtihad” Nur Hasan dan pengikutnya.



[1] Mahad Darul Hadits sendiri telah menyangkal bahwa Haji Nur Hasan termasuk salah satu murid di pesantren ini sebagaimana informasinya dari surat resmi Syaikh Muhammad Umar Abdul Hadi direktur Darul Hadits Mekkah dan Direktur Umum Inspeksi Agama di Masjid Al-Haram, As-Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Humaid. Kisahnya terdapat dalam buku Bahaya Islam Jama’ah, Lemkari, LDII hal. 83. Kata mereka, “Tidak benar ada orang yang bernama Nurhasan Al-Ubaidah yang belajar disana tahun-tahun 1929-1941”.
Dalam buku, Bukti Kebohongan Imam Jama’ah LDII oleh LPPI, dikutip jawaban dari Direktur Umum Inspeksi Agama di Masjid Al-Haram, As-Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Humaid pada tahun 1399 H. Isi jawaban itu: “Perguruan Darul Hadits belum berdiri sebelum 1352 H (1932 M). Maka study H. Nurhasan Al-Ubaidah sebelum lahirnya perguruan tersebut pada perguruan itu adalah diantara hal yang membuktikan bahwa pengakuannya tidak benar. Dan setelah kami periksa arsip perguruan Darul Hadits di sana, tidaklah terdapat nama dia sama sekali, hal itu membuktikan bahwa dia tidak pernah study di sana.
Mengenai pertanyaan saudara tentang “Dapatkah dibenarkan pendiriannya yang mengharuskan diterimanya hadits-hadits Nabi yang hanya diriwayatkan oleh dia saja?” Dapatlah dijawab bahwa menggunakan periwayatan hadits, sehingga tidak dapat diterima kecuali melalui dia adalah suatu pendirian yang batil. Ini adalah penipuan terhadap ummat yang tidak patut dipercaya, sebab riwayat hadits-hadits Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam sudah tercantum dalam kitab-kitab hadits induk yang shahih dan kitab-kitab hadits induk lainnya.
Selanjutnya, dia (Nurhasan) tidak akan sanggup mencakup (menghafal) hadits-hadits Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam walau sekedar sepersepuluhnya. Oleh karena itu, bagaimana mungkin tidak dibolehkan seseorang menerima hadits-hadits Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam, kecuali hanya melalui dia, sedangkan dia pun sudah terbukti tidak pernah study pada Perguruan Darul Hadits di Makkah Al-Mukarramah. Orang ini sebenarnya hanya pemalsu keterangan, penipu ummat, untuk mengajak orang-orang awam masuk ke dalam alirannya.
Mengenai pertanyaan saudara tentang “Benarkah dia seorang Amirul Mukminin yang dibai’at secara ijma’ dan bahwa mengenai Amirul Mukminin itu telah menunjuk seorang wakilnya yaitu Haji Nur Hasan Al-Ubaidah Lubis, dan adakah legalitasnya yang mewajibkan umat tauhid di Indonesia untuk patuh dan taat kepada dia?”. Jawabannya: “Haji Nur Hasan Al-Ubaidah mengaku wakil Amirul Mukminin dan tidak ada orang yang mengangkatnya sebagai wakil. Tetapi orang ini sebenarnya hanyalah dajjal (penipu) dan pemalsu keterangan, sehingga tidak perlu dihiraukan dan tidak patut dipercaya, bahkan wajib dibongkar kepalsuannya kepada khalayak ramai serta di jelaskan penipuannya dan keterangan-keterangannya yang palsu supaya khalayak ramai mengetahuinya. Dengan demikian, kita termasuk orang yang berdakwah beramar ma’ruf nahi munkar, dalam hal ini memerangi aliran-aliran sempalan yang menyesatkan”. Wallahu’alam.
[2] Beliau adalah Muhammad ibn Abdurrazak ibn Hamzah ibn Taqiyuddin ibn Muhammad, dari keturunan Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam. Ahli hadits yang berasal dari Mesir. Beliau meninggal hari kamis tanggal 22/2/1392 H (1972 M) setelah sakit cukup lama, dan dishalatkan di Masjidil Harom ba’da shalat maghrib.
Lihat biografi beliau dalam : Majalah At-Tauhid 01/03/2005, tahun 25 no. 6.
[3] Beliau adalah Abdul Dhohir (atau Muhammad Abdul Dhohir) ibn Muhammad Nuruddin At-Talini Al-Mishri Al-Makki, Abu Samah. Ahli hadits yang berasal dari Mesir. Syaikh meninggal tahun 1370 H/ 1950 M.
Lihat biografi beliau dalam : Natsrul Zawahir karya Dr. Yusuf bin Abdurahman hal. 736.
[4] Dari Tarjamah Syaikh Muhammad bin Abdullah As-Sumali karya Syaikh Umar bin Muhammad As-Subail dan Hasan bin Abdurahman Al-Mu’alim dalam Majalah Al-Asholah (27/79-82).
[5] Fakta itu tercantum dalam surat beliau kepada Syaikh Al-Albani tertanggal 29/4/1390 H (3 Juli 1970 M). Surat ini disebutkan Al-Albani dalam Ash-Shahihah (II/22 - Maktabah al-Ma’arif).
[6] Beliau adalah Abu Abdurrahman Abdullah ibn Abdul Ghani ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Abdul Ghani Khayath. Syaikh rahimahullahu meninggal di Mekkah di tahun 1415 H/ 1994 M. Biografinya ditulis oleh Muhammad Ali Al-Jafari berjudul ‘Syaikh Abdullah Abdul Ghani Al-Khayath”.
Lihat biografi beliau dalam kitab: Dza’il Al-‘Alam karya Ahmad Al-Alawanah, hal. 132, ‘Itmam al-‘Alam karya Dr. Nizar ‘Abathah/Muhammad Riyadh al-Mahi, hal. 170 dan lainnya.
[7] Ahli hadits dan penulis yang membekas dihati, Pengajar di Darul Hadits Mekkah, dan salah seorang murid dari Syaikh Muhammad Nasiruddin Al-Albani. Syaikh Jamil wafat tahun 1431 H (2010 M) di Mekkah.
Biografi beliau bisa disimak dalam bukunya Kaifa Ihtadaitu Ila At Tauhid wa Ash Shirath Al Mustaqim.

Menolak Kebenaran Dari Yang Tidak Manqul Termasuk Kesombongan (11)
Kesebelas,
Andaikata kita menolak kebenaran yang berasal dari mereka yang dianggap belum atau tidak manqul, atau merendahkan dan melecehkan mereka, niscaya sikap kita itu termasuk dalam kesombongan sebagaimana disebutkan hadits.
Imam Muslim rahimahullahu meriwayatkan,
و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَمُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ وَإِبْرَاهِيمُ بْنُ دِينَارٍ جَمِيعًا عَنْ يَحْيَى بْنِ حَمَّادٍ قَالَ ابْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ حَمَّادٍ أَخْبَرَنَا شُعْبَةُ عَنْ أَبَانَ بْنِ تَغْلِبَ عَنْ فُضَيْلٍ الْفُقَيْمِيِّ عَنْ إِبْرَاهِيمَ النَّخَعِيِّ عَنْ عَلْقَمَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ قَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً قَالَ إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin al-Mutsanna dan Muhammad bin Basysyar serta Ibrahim bin Dinar semuanya dari Yahya bin Hammad, Ibnu al-Mutsanna berkata, telah menceritakan kepada kami Yahya bin Hammad telah mengabarkan kepada kami Syu'bah dari Aban bin Taghlib dari Fudlail al-Fuqaimi dari Ibrahim an-Nakha'i dari Alqamah dari Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu’anhu dari Nabi shallallahu’alaihi wasallam, beliau bersabda: "Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat seberat biji sawi dari kesombongan." Seorang laki-laki bertanya, "Sesungguhnya laki-laki menyukai baju dan sandalnya bagus (apakah ini termasuk kesombongan)?" Beliau menjawab: "Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Kesom-bongan itu adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia." (Shahih Muslim no. 91 –Cet Darul Mughni).
Perhatikanlah dalam hadits diatas, bukankah Nabi shallallahu’alaihi wasallam menyebutkan secara umum “menolak kebenaran” beliau tidak mengecualikan dengan perkataan semisal, “Kecuali kalau kebenaran itu datangnya dari orang yang belum manqul” atau “kecuali kebenaran itu datangnya dari si fulan atau si fulan?!!”. Justru menolak kebenaran termasuk kesombongan yang mencegah seseorang masuk surga.
Kadang kala, para pengikut Haji Nur Hasan Ubaidah menuntut kepada orang yang menyampaikan kebenaran keabsahan manqulnya. Padahal amar ma’ruf nahi mungkar itu tidak lah disyaratkan harus manqul dahulu atau memiliki sanad/ijazah dahulu.
Dalam hadits yang terkenal disebutkan,
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ
"Barangsiapa diantara kamu melihat kemungkaran hendaklah ia mencegah kemungkaran itu dengan tangannya. jika tidak mampu, hendaklah mencegahnya dengan lisan, jika tidak mampu juga, hendaklah ia mencegahnya dengan hatinya. Itulah selemah-lemah iman." (Shahih Muslim no. 49 –cet Darul Mughni)
Coba renungi, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam tidak pernah mengatakan, “Hendaklah kamu memiliki ijazah sanad dahulu atau hendaklah kamu manqul dahulu, baru mencegah kemungkaran !!!”. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam hanya berbicara secara umum, siapa yang mengetahui kemungkaran hendaklah ia mencegahnya.
Ahli Hadits Abad ini Syaikh Al-Albani rahimahullahu  juga menggunakan hadits ini ketika seorang pembantah memintanya menunjukan ijazah terlebih dahulu sebelum mengkritiknya. Beliau rahimahullahu menceritakan dalam kitabnya, Silsilah Adh-Dhaifah (1/103-104) tatkala beliau berdialog dengan seorang Syaikh lulusan Al-Azhar,
فأخبرته بأنه ضعيف ، فازداد حدة وافتخر علي بشهاداته الأزهرية ، وطالبني بالشهادة التي تؤهلني لأن أنكر عليه ! فقلت : قوله صلى الله عليه وسلم : " من رأى منكم منكرا ... " الحديث!
“… saya beritahu kepadanya bahwa hadits (yang ia sebutkan) itu dha'if, tetapi ternyata dia justru bertambah keras!!, dan membanggakan kepadaku Ijazah Al-Azhar-nya, dan dia menuntut ijazahku sehingga aku pantas mengkritiknya!, maka aku jawab, sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, “Barangsiapa diantara kamu melihat kemungkaran … ! (al-hadits)”.
Syaikh Al-Albani ini sebenarnya memiliki ijazah periwayatan dari Syaikh Muhammad Raghib Tabakh rahimahullahu,[1] hanya saja beliau ingin mengingatkan kepada orang tersebut bahwa kebenaran itu harus diterima darimanapun datangnya, hatta dari orang yang tidak memiliki ijazah sekalipun.
Syaikh Al-Muhadits Al-Albani rahimahullahu menyebutkan ijazah beliau dalam Shahih Abu Dawud (5/253-254), setelah menyebutkan hadits Musalsal Al-Mahabah yang terkenal itu,
وقد أجازني بروايته الشيخ الفاضل راغب الطباخ رحمه الله
”Dan sungguh telah memberikan ijazah kepadaku untuk hadits musalsal ini Syaikh Al-Fadhil Raghib At-Tabakh rahimahullahu...”.
Syaikh Al-Albani rahimahullahu meriwayatkan dari Syaikh Muhammad Raghib rahimahullahu kitab tsabat (kitab isnad dan ijazah) yang berjudul ”Al-Anwar Al-Jaliyah Fi Mukhtasar Al-Atsabat Al-Halabiyah”.[2]