Senin, 02 Januari 2012

BANTAHAN ILMIYAH UNTUK ISLAM JAMA'AH (LDII) SERI 1


BANTAHAN ILMIYAH UNTUK ISLAM JAMA'AH (LDII)

A.   TENTANG KEIMAMAN

Pembagian Imam Menjadi Dua (1)

Pertama,
Jama’ah Kyai Nur Hasan meyakini bahwa imam mereka hanya mengurusi urusan akhirat saja sebagaimana dalam “Teks Daerahan” yang dikeluarkan sebulan sekali. Adapun urusan keduniaan urusan kemasyarakatan jama’ahnya diperintah untuk tunduk dan patuh pada pemerintah yang sah di Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Pembagian menjadi dua –imam yang ngurusi akhirat dan imam yang mengurusi dunia- adalah pembagian yang tidak ada asalnya. Bahkan yang disebut imam itu sejak zaman dahulu mengurusi semuanya, baik itu urusan dunia dan urusan akhirat. Oleh sebab itu munculah bab tentang hudud (penegakan hukum), jihad (perang), menjaga perbatasan, memerangi pemberontak, mengambil jizyah dan lain sebagainya dalam kitab-kitab hadits, yang kesemua itu tidaklah ditegakan kecuali oleh seorang amir/imam.
Perhatikan qoul ulama berikut ini, yang menjelaskan bahwa imam itu mengurusi urusan ad-din (agama) dan dunia.
Imam Al-Mawardi rahimahullahu (w. 450 H/ 1058 M) berkata:
الْإِمَامَةُ مَوْضُوعَةٌ لِخِلَافَةِ النُّبُوَّةِ فِي حِرَاسَةِ الدِّينِ وَسِيَاسَةِ الدُّنْيَا وَعَقْدُهَا لِمَنْ يَقُومُ بِهَا فِي الْأُمَّةِ وَاجِبٌ بِالْإِجْمَاعِ
“Keimaman diadakan dalam rangka menggantikan tugas Kenabian berupa menjaga din dan mengatur urusan duniawi. Dan memberikan jabatan ini kepada orang yang bisa melaksanakan di kalangan Umat Islam ini hukumnya adalah wajib berdasarkan ijma (kesepakatan ulama)” (Al-Ahkam Ash-Shulthoniyah I/ 5).
Abu Ma’ali Al-Juwaini rahimahullahu (w. 478 H/ 1085 M) berkata,
الْإِمَامَةُ رِيَاسَةٌ تَامَّةٌ، وَزَعَامَةٌ عَامَّةٌ، تَتَعَلَّقُ بِالْخَاصَّةِ وَالْعَامَّةِ، فِي مُهِمَّاتِ الدِّينِ وَالدُّنْيَا
“Imammah adalah pengaturan yang sempurna, kekuasaan yang menyeluruh, berkaitan dengan manusia secara khusus dan umum, dalam masalah agama dan dunia”. (Ghayyatsil Umam fi Tayyatsil Dzulam hal. 22 – Maktabah Imam Haramain).
Imam Al-Qal‘i rahimahullahu (w. 630 H/ 1233 M) berkata:
نظام أَمر الدّين وَالدُّنْيَا مَقْصُود وَلَا يحصل ذَلِك إِلَّا بِإِمَام مَوْجُود
“Pengaturan urusan din dan dunia merupakan sebuah tujuan, dan tidak akan tercapai selain dengan adanya Imam. (Tahdzibur Riyasah Wa Tartibus Siyasah hal. 94).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu (w. 728 H/ 1328 M) berkata:
يَجِبُ أَنْ يُعْرَفَ أَنَّ وِلَايَةَ أَمْرِ النَّاسِ مِنْ أَعْظَمِ وَاجِبَاتِ الدِّينِ ؛ بَلْ لَا قِيَامَ لِلدِّينِ وَلَا لِلدُّنْيَا إلَّا بِهَا .
“Wajib diketahui bahwa memimpin urusan umat manusia termasuk kewajiban agama yang paling besar. Bahkan urusan agama dan dunia tidak akan tegak kecuali dengannya. (Majmu‘ Fatawa 28/ 390-392).
Imam Ash-Shabuni rahimahullahu (w. 449 H/ 1057 M) menghikayatkan hal ini dari para sahabat,
ويُثبت أصحابُ الحديث خلافةَ أبي بكر رضي الله عنه بعد وفاة رسول الله - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - باختيار الصحابة واتِّفاقهم عليه وقولهم قاطبة: رَضِيَه رسولُ الله - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - لدِيننا فرضيناه لدُنيانا
“Ashabul Hadits menetapkan bahwa kekhalifahan Abu Bakar setelah wafatnya Rasullullah shallallahu’alaihi wasallam adalah berdasarkan pemilihan dan kesepakatan seluruh para sahabat kepadanya. Mereka (para sahabat) menyatakan, “Kalau Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam telah meridhoi dirinya untuk urusan agama” (Rasulullah pernah menjadikan Abu Bakar imam shalat –pen), mengapa kita tidak meridhoinya untuk urusan dunia kita?”. (Aqidah Salaf Ashabul Hadits no. 133).

Rasullullah shallallahu'alaihi wasallam Hanya Mengajarkan Satu Imam (2)

Kedua,
Jika kita meridhoi pemahaman Haji Nur Hasan dan pengikutnya yang telah lalu (lihat disini) maka akan menyelisihi dalil dan akal sehat. Muncullah pertanyaan semacam ini, apakah Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam mengajarkan untuk memiliki dua imam ?!!. Jika dahulu Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam imam akhirat, siapa imam dunia dizaman beliau shallallahu’alaihi wasallam ?. Padahal telah jelas bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam mengajarkan agar kaum muslimin memiliki satu imam. Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Thabroni rahimahullahu dalam Mu’jam Al-Kabir (19/314) no. 710 – Tahqiq Hamdi Abdul Majid As-Salafi,
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ صَدَقَةَ الْبَغْدَادِيُّ، ثنا الْهَيْثَمُ بْنُ مَرْوَانَ الدِّمَشْقِيُّ، ثنا زَيْدُ بْنُ يَحْيَى بْنِ عُبَيْدٍ، ثنا سَعِيدُ بْنُ بِشْرٍ، عَنْ أَبِي بِشْرٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ الزُّبَيْرِ، قَالَ لِمُعَاوِيَةَ فِي الْكَلَامِ الَّذِي جَرَى بَيْنَهُمَا فِي بَيْعَةِ يَزِيدَ: وَأَنْتَ يَا مُعَاوِيَةُ أَخْبَرَتْنِي أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «إِذَا كَانَ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَتَانِ فَاقْتُلُوا أَحَدَهُمَا»
Menceritakan kepada kami Ahmad bin Muhammad bin Shodaqah al-Baghdadi, menceritakan kepada kami Al-Haitsam bin Marwan Ad-Dimasyqi menceritakan kepada kami Ziyad bin Yahya bin Ubaid menceritakan kepada kami Sa’id bin Bisyr dari Abi Bisyr dari Sa’id bin Jubair sesungguhnya Abdullah bin al-Zubair berkata kepada Mu’awiyah dalam percakapan yang dilakukan keduanya tentang pembai’atan Yazid, “Dan sesungguhnya wahai Mu’awiyah, telah mengabarkan kepada kami Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, “Ketika ada dibumi ini dua khalifah, maka bunuhlah salah satu dari keduanya”. [1]
Bukankah pada hadits ini terdapat pemahaman wajibnya memiliki satu imam?.
Syaikh Muhammad Shalih Utsaimin rahimahullahu [2] berkata,
الْبَيْعَةُ الَّتِي تَكُونُ فِي بَعْضِ )الْجَمَاعَاتِ( بِيْعَةٌ شَاذَّةٌ مُنْكَرَةٌ، يَعْنِي أَنَّهَا تَتَضَمَّنُ أَنَّ الْإِنْسَانَ يَجْعَلُ لِنَفْسِهِ إِمَامَيْنِ وَسُلْطَانَيْنِ، الْإِمَامُ الْأَعْظَمِ الَّذِي هُوَ إِمَامٌ عَلَى جَمِيعِ الْبِلَادِ، وَالْإِمَامُ الَّذِي يُبَايِعُهُ وَتُفْضِي أَيْضًا إِلَى شَرٍّ لِلْخُرُوجِ عَلَى الْأَئِمَّةِ الَّذِي يَحْصُلُ بِهِ سَفْكُ الدِّمَاءِ وَإِتْلَافُ الْأَمْوَالِ مَا لَا يَعْلَمُهُ بِهِ إِلَّا اللهُ
“Bai’at yang terdapat pada sebagian jamaah-jamaah merupakan bai’at yang ganjil dan mungkar. Di dalamnya terkandung makna bahwa seseorang menjadikan untuk dirinya dua imam dan dua penguasa, (pertama) imam tertinggi yang merupakan imam yang menguasai seluruh negeri, dan (kedua) imam yang dibai’atnya. Juga akan menjurus kepada kerusakan, dengan keluar dari ketaatan kepada para penguasa, yang dapat menyebabkan pertumpahan darah dan musnahnya harta benda, yang tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah”.[3]


[1] Dengan lafazh ini, diriwayatkan juga dalam Al-Ausath (4/169) no. 3885, Al-Haitsami v (5/198) berkata, “Rijalnya tsiqah”.
[2] Beliau adalah Abu Abdillah Muhammad bin Shalih bin Muhammad bin Utsaimin Al Wuhaibi At Tamimy. Muhadits dan ahli fikih terkenal dan anggota kibar ulama Saudi. wafat pada tahun 15 Syawal 1421 H (10 Januari 2001 M) di Rumah Sakit di Jeddah. Karya-karyanya sangat banyak dan dikenal akan kedalaman dan kejelasan bahasannya.
[3] Direkam dalam Silsilah Liqa’ Al-Bab Al-Maftuh (kaset no. 6, side B)/(6/33).

Imammah Yang Meniru Orang Kafir (3)
Ketiga,
Dualisme ketaatan dari pengikut Haji Nur Hasan adalah pemahaman yang bukan berasal dari pemahaman Islam, justru lebih mirip pemahaman orang-orang Nasrani. Mereka itu mentaati Pausnya di Vatikan, disamping kepada penguasanya masing-masing. Dari sinilah lahirnya pemahaman sekuler yang memisahkan urusan dunia dengan urusan agama. Tentu saja yang demikian bukan berasal dari Islam karena Islam menolak sekularisme.
Telah datang hadits dari Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam larangan untuk bertasyabuh dengan orang-orang kafir.
Imam Abu Dawud rahimahullahu (4/44) no. 4031 meriwayatkan:
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا أَبُو النَّضْرِ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ ثَابِتٍ حَدَّثَنَا حَسَّانُ بْنُ عَطِيَّةَ عَنْ أَبِي مُنِيبٍ الْجُرَشِيِّ عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
Menceritakan kepada kami Utsman bin Abi Syaibah menceritakan kepada kami Abu Nadhr menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Tsabit menceritakan kepada kami Hassan bin ‘Athiyah dari Abi Munib Al-Zurasyi dari Ibnu Umar berkata, bersabda Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, “Barangsiapa bertasyabuh (menyerupai) suatu kaum maka ia termasuk bagian dari mereka”.



Sejak Dulu Imam Itu Maknanya Penguasa (4)

Keempat,
Yang dimaksud Imam, Sulthon, Khalifah, Malik, Amir dan Wali dalam hadits-hadits, kaum muslimin sejak dahulu telah ma’lum bahwa maknanya satu yaitu penguasa. Kepada mereka lah kita diperintahkan untuk taat kepada perintah mereka yang tidak maksiyat, selama mereka masih menegakan sholat ditengah-tengah kita (Muslim).
Kita perhatikan para Khalifaturasyidin, apakah mereka penguasa atau hanya mengaku-ngaku sebagai khalifah saja?. Kita perhatikan juga raja-raja yang bergelar khalifah dan menggantikan masa khulafaturasyidin, apakah mereka penguasa atau hanya mengaku-ngaku khalifah saja?.
Imam Jama’ah Haji Nur Hasan merasa berhak menggunakan hadits-hadits tentang mati jahiliyah dan semacamnya yang sebenarnya hadits-hadits tersebut diperuntukan untuk Imam, Khalifah, Malik, Amir atau Wali dalam arti sebagai penguasa atau pemimpin tertinggi dalam suatu wilayah (bilad). Bukan untuk imam-imam yang tidak memiliki kekuasaan, kekuatan dan kemampuan sedikit pun.
Perhatikan hadits-hadits berikut ini:
حَدَّثَنَا شَيْبَانُ بْنُ فَرُّوخَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ حَدَّثَنَا الْجَعْدُ حَدَّثَنَا أَبُو رَجَاءٍ الْعُطَارِدِيُّ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ فَإِنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ مِنْ النَّاسِ خَرَجَ مِنْ السُّلْطَانِ شِبْرًا فَمَاتَ عَلَيْهِ إِلَّا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
Menceritakan kepada kami Syaiban ibn Farukh, menceritakan kepada kami Abdul Warits, menceritakan kepada kami Al-Hamd menceritakan kepada kami Abu Raja’i Al-‘Uthoridi dari Ibn Abbas dari Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang melihat sesuatu yang ia benci pada pemimpinnya (amirnya) maka hendaklah ia bersabar atasnya, karena tidak ada seorangpun dari manusia yang keluar dari penguasa (sulthon) walaupun sejengkal (sedikit) saja kemudian ia mati diatasnya, maka matinya seperti mati jahiliyah”. (Shahih Muslim no. 1849) [1]
Jadi yang dimaksud dengan amir yang diancam mati jahiliyah itu adalah sulthon (yang artinya dalam bahasa indonesia adalah penguasa). Begitu pula dengan istilah imam, sebagaimana dalam riwayat Imam Muslim rahimahullahu dalam Shahihnya (no. 1841),
حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ عَنْ مُسْلِمٍ حَدَّثَنِى زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا شَبَابَةُ حَدَّثَنِي وَرْقَاءُ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ  :إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ فَإِنْ أَمَرَ بِتَقْوَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَعَدَلَ كَانَ لَهُ بِذَلِكَ أَجْرٌ وَإِنْ يَأْمُرْ بِغَيْرِهِ كَانَ عَلَيْهِ مِنْهُ
Menceritakan kepada kami Ibrohim dari Muslim menceritakan kepada saya Zuhair ibn Harb, menceritakan kepada kami Syababah, menceritakan kepada saya Warqo’ dari Abu Zinad dari Al-A’roj dari Abu Hurairah dari Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya imam itu adalah perisai [2], digunakan untuk berperang dari belakangnya dan sebagai pelindung. Bila ia memerintahkan dengan ketakwaan kepada Allah Azza wa Jalla dan berbuat adil, maka ia akan mendapatkan pahala, dan bila ia memerintahkan dengan selainnya, maka hanya dia lah yang menanggung dosanya”.[3]
Dalam hadits lain diterangkan,
إنّ السُّلطّانَ ظِلُّ الله فِي الْأرْضِ فَمَنْ أَهاَنَهُ أَهاَنَهُ الله وَمَنْ أَكْرَمَهُ أَكْرَمَهُ الله
“Sesungguhnya Sulthon adalah naungan Allah di muka bumi [4], maka barang siapa yang menghinakannya maka Allah akan menghinakan-nya dan barang siapa memulyakannya maka Allah akan memulyakannya”. [5]
Bukankah jama’ahnya Haji Nur Hasan telah sering membahas Kitab Kanzul Ummal pada bab imaroh?.[6] Disana terdapat banyak tambahan untuk hadits diatas –walaupun tambahan itu sebenarnya dhaif- yang menegaskan bahwa imam itu adalah penguasa?. Akan tetapi mereka tidak paham atau pura-pura tidak paham sehingga tidak mengambil hikmah dari hadits-hadits tersebut. 
Misalkan dari jalan Abu Hurairah radhiyallahu’anhu :
السُّلْطَانُ ظِلُّ الله في الأَرْضِ يَأْوِي إِلَيْهِ الضَّعِيفُ وَبِهِ يَنْتَصِرُ المَظلُومُ، وَمَنْ أَكْرَمَ سُلْطَانَ الله في الدُّنْيَا أَكْرَمَهُ الله يوْمَ الْقِيَامَةِ
“Penguasa (sulthon) adalah naungannya Alloh di bumi, kepadanya mengadu orang-orang yang lemah dan dengannya ditolong orang-orang yang teraniaya dan barangsiapa yang memuliakan penguasanya Alloh di dunia maka Alloh akan memuliakan orang itu di hari qiamat”. [7]
Dari jalan Anas radhiyallahu’anhu:
السُّلْطَانُ ظِلُّ الله فِي الأَرْضِ فَإِذَا دَخَلَ أحَدُكُمْ بَلَداً لَيْسَ بِهِ سُلْطَانٌ فَلاَ يُقِيمَنَّ بِهِ
“Penguasa adalah naungannya Alloh di bumi maka ketika salah satu kalian memasuki negara (wilayah) yang di dalamnya tidak ada penguasanya maka janganlah dia bertempat di negara itu”. [8]
Dalam riwayat lain :
إذا مَرَرْتَ بِبَلْدَةٍ لَيْسَ فِيها سُلْطانٌ فلا تَدْخُلْها إنَّما السُّلْطانُ ظِلُّ الله ورُمْحُهُ في الأَرْضِ
“Ketika lewat pada suatu negara (wilayah) tidak ada didalamnya penguasa maka jangan masuk ke dalamnya, sesungguhnya penguasa naungan Allah dan tombak-Nya didalam buminya”.[9]
Akan tetapi tambahan-tambahan dari Al-Muttaqi rahimahullahu semuanya dha’if. Penulis menyebutkannya hanya sebagai ibroh saja bagi Jama’ah Haji Nur Hasan, agar mereka sadar bahwa dari kitab-kitab yang telah “dimanqulkan” dalam jama’ah ini saja sebenarnya telah jelas makna imam, amir, khalifah atau sulthon itu adalah penguasa.
Adapun Para ulama, sejak dahulu tidak memahami istilah Imam, Sulthon, Khalifah, Malik, Amir atau Wali dalam hadits-hadits masalah imaroh kecuali untuk penguasa. Sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Abdul Latif bin Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh rahimahullahu (w. 1293 H) dalam Majmu Atur Rasail Wal Masail An-Najdiyah (3/168):
وأهل العلم .... متفقون على طاعة من تغلب عليهم في المعروف، يرون نفوذ أحكامه، وصحة إمامته، لا يختلف في ذلك اثنان، ويرون المنع من الخروج عليهم بالسيف وتفريق الأمة، وإن كان الأئمة فسقة ما لم يروا كفراً بواحاً
“Dan Ahli Ilmu (ulama) … telah sepakat untuk taat dalam kebaikan kepada orang yang menguasainya, melaksanakan undang-undangnya dan menganggap kepemimpinannya itu sah. Tidak ada yang berselisih didalam hal ini. Mereka melarang khuruj (berontak) kepada penguasa tersebut dan juga melarang memecah belah umat, walaupun penguasanya fasik, selagi mereka tidak menampakkan kekufuran yang nyata”.
Lihat juga pernyataan ijma semisal itu dalam Fathul Baari (13/7) dan Ad-Durar As-Sunniyah fil Ajwibah an-Najdiyah (7/239).
Syaikhul Islam Ibn Taimiyah rahimahullahu (w. 728 H/ 1328 M) dalam Kitab Minhajus Sunnah An-Nabawiyyah (1/115) mengatakan,
وَهُوَ أَنَّ النَّبِيّ  n أَمَرَ بِطَاعَةِ الْأَئِمَّةِ الْمَوْجُودِينَ [الْمَعْلُومِينَ] الَّذِينَ لَهُمْ سُلْطَانٌ يَقْدِرُونَ بِهِ عَلَى سِيَاسَةِ النَّاسِ لَا بِطَاعَةِ مَعْدُومٍ وَلَا مَجْهُولٍ، وَلَا مَنْ لَيْسَ لَهُ سُلْطَانٌ، وَلَا قُدْرَةٌ  عَلَى شَيْءٍ أَصْلًا
“Sesungguhnya Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam telah memerintahkan agar kita mentaati pemimpin yang ada lagi diketahui, yaitu orang-orang yang memiliki kekuasaan untuk mengatur manusia, tidak memerintah kita untuk mentaati pemimpin yang tidak jelas (ma’dum) dan tidak diketahui keberadaannya (majhul), juga bukan kepada orang yang tidak mempunyai kekuasaan dan kemampuan sedikitpun”.
Jelas ?.



[1] Diriwayatkan pula oleh Bukhari no. 7054.
[2] Imam An-Nawawi dalam Syarah Muslim (12/230) berkata:
كَالسِّتْرِ ؛ لِأَنَّهُ يَمْنَع الْعَدُوّ مِنْ أَذَى الْمُسْلِمِينَ ، وَيَمْنَع النَّاس بَعْضهمْ مِنْ بَعْض ، وَيَحْمِي بَيْضَة الْإِسْلَام ، وَيَتَّقِيه النَّاس وَيَخَافُونَ سَطْوَته ، وَمَعْنَى يُقَاتَل مِنْ وَرَائِهِ أَيْ : يُقَاتَل مَعَهُ الْكُفَّار وَالْبُغَاة وَالْخَوَارِج وَسَائِر أَهْل الْفَسَاد وَالظُّلْم مُطْلَقًا
“(Seorang pemimpin/imam) bagaikan perisai, karena ia menghalangi musuh dari mengganggu umat islam, dan mencegah kejahatan sebagian masyarakat kepada sebagian lainnya, membela keutuhan negara Islam, ditakuti oleh masyarakat, karena mereka khawatir akan hukumannya. Dan makna ‘digunakan untuk berperang dibelakangnya‘ ialah orang-orang kafir diperangi bersamanya, demikian juga halnya dengan para pemberontak, kaum khawarij, dan seluruh pelaku kerusakan dan kelaliman”.
[3] Diriwayatkan pula oleh Bukhari no. 2737, Nasai (7/155) no. 4196 dan lainnya.
[4] Syaikh Ibn Barjas rahimahullahu menjelaskan makna “Sulthon adalah naungan Allah”, dalam Kitab Mu’amalatul Hukkam:
قوله (( السلطان ظل الله ))، أي يدفع الله به الأذى عن الناس، كما أن الظل يدفع أذى حر الشمس
“Yang dimaksud “Sulthon adalah naungan Allah” yaitu Allah meyingkirkan dengan perantaraan sulthon hal-hal yang menyakiti manusia, sebagaimana naungan yang melindungi dari terik sinar mentari”.
[5] Diriwayatkan oleh Imam Ibn Abi Ashim dalam Kitab Sunnah no. 855, hadits ini dikeluarkan juga oleh Baihaqi dalam Syu’abul Iman no. 7121. Syaikh Al-Albani menghasankannya dalam Dzilalul Jannah.
[6] Kitab ini adalah karya Syaikh Ali ibn Husamudin ibn Abdul Malik ibn Qadhi Khan Al-Muttaqi (w. 975 H). Akan tetapi pada cetakan Jama’ah Nur Hasan kitab ini dipotong hanya pada bab imaroh tanpa disebutkan pengarangnya. Syaikh Al-Muttaqi ini banyak menulis kitab yang merupakan penyempurnaan tulisan-tulisannya Imam Sayuthi seperti Kanz al-Ummal, Minhaj Al-Ummal, Al-Burhan fi Alamat Mahdi Akhir Zaman dan lainnya.
[7] Kanzul Ummal no. 14582. Hadits ini dinisbatkan kepada Ibnu Annajjar tapi sanadnya dha’if, sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Dha’if Al-Jami no. 3352 dan Silsilah Adh-Dha’ifah (4/162) no. 1663, menurut beliau hadits ini diriwayatkan juga oleh Muhammad ibn Yusuf dalam Juz’un min Al-Amali (1/143), adapun yang diingkari dalam sanadnya adalah Ahmad ibn Abdurrahman. Hadits ini disebutkan dalam Kasyful Khafa (1/456) no. 1487.
[8] Kanzul Ummal no. 14584. Hadits ini dinisbatkan kepada Abu Assyaikh dengan sanad yang dha’if seperti disebutkan Syaikh Al-Albani dalam Dha’if Al-Jami no. 3349.
[9] Hadits ini dikeluarkan oleh Baihaqi dalam Sunan Al-Kabir (8/162) no. 16427 dan Syu’ibul Iman (6/18) no. 7375. Didalamnya ada ar-Rabi’i ibn Shabih dia ini dha’if sebagaimana dinukil oleh Al-Manawi (1/441).

Inilah Yang Diperintahkan Oleh Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam (5)

Kelima,
Jika mereka mengatakan bahwa para penguasa Muslim itu hanya mengurusi dunia saja dan tidak mengurusi agama mereka, maka itu adalah kedustaan yang jelas. Memangnya siapa yang mengurus kelancaran jama’ah haji, urusan hari raya, menjamin keamanan sholat berjama’ah, sholat jum’at dan ibadah-ibadah lainnya?. Memang benar, mereka bukan sosok pemimpin yang ideal, akan tetapi demikianlah yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam dalam hadits-hadits, diantaranya:
Riwayat Adi bin Hatim radhiyallahu’anhu, oleh Ibnu Abi Ashim dalam as-Sunnah (no. 886) :
حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ، ثنا عُمَرُ بْنُ حَفْصِ بْنِ غِيَاثٍ، حَدَّثَنَا أَبِي، عَنْ عُثْمَانَ بْنِ قَيْسٍ الْكِنْدِيِّ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَدِيِّ بْنِ حَاتِمٍ، قَالَ: قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ لَا نَسْأَلُكَ عَنْ طَاعَةِ مَنِ اتَّقَى، وَلَكِنْ مَنْ فَعَلَ وَفَعَلَ، فَذَكَرَ الشَّرَّ، فَقَالَ: «اتَّقُوا اللَّهَ، وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا»
Menceritakan kepada kami Hasan ibn Ali, menceritakan kepada kami Umar ibn Hafz ibn ’Ghayats, menceritakan kepada kami Bapak, dari Utsman ibn Qais Al-Kindi dari Bapaknya dari Adi bin Hatim radhiyallahu’anhu bahwasanya dia berkata : Kami berkata : "Wahai Rasululloh, kami tidak bertanya kepadamu tentang ketaatan kepada pemimpin yang bertaqwa, tetapi pemimpin yang melakukan ini dan itu -yaitu kejelekan-kejelekan-". Maka Rasululloh shallallahu’alaihi wasallam bersabda: "Bertaqwalah kalian kepada Alloh dan mendengarlah dan taatlah".
Dishohihkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullahu dalam Dhilalul Jannah.
Riwayat Abu Umammah radhiyallahu’anhu oleh Ibnu Nasr rahimahullahu dalam As-Sunnah (h. 22 no. 55) :
حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ، أَنْبَا النَّضْرُ بْنُ شُمَيْلٍ، ثنا قَطَنٌ أَبُو الْهَيْثَمِ، ثنا أَبُو غَالِبٍ، قَالَ: كُنْتُ عِنْدَ أَبِي أُمَامَةَ ، فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ: أَرَأَيْتَ قَوْلَ اللَّهِ: {هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ} [آل عمران: 7] مَنْ هَؤُلَاءِ؟ قَالَ: هُمُ الْخَوَارِجُ، ثُمَّ قَالَ: عَلَيْكَ بِالسَّوَادِ الْأَعْظَمِ، قُلْتُ: قَدْ تَعْلَمُ مَا فِيهِمْ؟ فَقَالَ: عَلَيْهِمْ مَا حُمِّلُوا وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ وَأَطِيعُوَا تَهْتَدُوا، ثُمَّ قَالَ: إِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ افْتَرَقَتْ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِينَ فِرْقَةً كُلُّهَا فِي النَّارِ، وَإِنَّ هَذِهِ الْأُمَّةَ تَزِيدُ عَلَيْهَا فِرْقَةً وَهِيَ فِي الْجَنَّةِ، فَذَلِكَ قَوْلُ اللَّهِ: {يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوهٌ} [آل عمران: 106] تَلَا إِلَى قَوْلِهِ: {هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ} [المجادلة: 17] فَقُلْتُ: مَنْ هُمْ؟ فَقَالَ: الْخَوَارِجُ، فَقُلْتُ: أَسَمِعْتَ ذَلِكَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ فَقَالَ: سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Menceritakan kepada kami Ishaq, memberitakan kepada kami An-Nadr bin Syumail, menceritakan kepada kami Qathan Abul Haitsami ia berkata, “Telah bercerita kepada kami Abu Ghalib katanya, “Saya berada disisi Abu Umammah radhiyallahu’anhu ketika seseorang berkata kepadanya: “Apa pendapat anda mengenai ayat : “Dialah yang telah menurunkan kepada kalian Al-Kitab diantaranya (berisi) ayat-ayat muhkam itulah Ummul Kitab, dan ayat-ayat lainnya adalah mutasyabihat, maka adapun orang-orang yang dalam hati mereka ada zaigh (condong kepada kesesatan) maka mereka akan mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat” (Qs. Ali Imran ayat 7). Siapakah mereka ini (yang hatinya mengandung zaigh)?. Beliau berkata, “Mereka adalah Khawarij (orang-orang yang keluar dari ketaatan kepada penguasa)”. Kemudian beliau melanjutkan, “Dan wajib atas kamu untuk tetap komitmen dengan as-sawadul a’zham (penguasa Muslim dan masyarakatnya)[1]”. Saya berkata, “Engkau tahu apa yang ada pada mereka (penguasa Muslim)”. Beliau menjawab, “Kewajiban mereka adalah apa yang dibebankan kepada mereka dan kewajiban kamu adalah apa yang dibebankan kepadamu, maka taatlah kepada mereka niscaya kamu akan mendapat petunjuk”. Kemudian beliau shallallahu’alaihi wasallam berkata: Sesungguhnya Bani Isroil terpecah menjadi 71 golongan semuanya dalam neraka, dan sesungguhnya umatku lebih banyak satu golongan dari mereka dan satu didalam surga, itulah firman Allah Ta’ala:  “Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri..... sampai firman Allah: “Mereka kekal didalamnya”. (Ali Imron 106-107)[2] Ditanyakan kepada beliau: “Siapa mereka (yang hitam wajahnya)?”. Beliau berkata: “Al-Khawarij”. Ditanyakan lagi: “Apakah hal ini anda didengar dari Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam?”. Beliau menjawab, “Aku mendengarnya dari Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam”. [3]
Riwayat Abdullah bin Abu Aufa radhiyallahu’anhu oleh Imam Ahmad rahimahullahu (4/382):
حَدَّثَنَا أَبُو النَّضْرِ، حَدَّثَنَا الْحَشْرَجُ بْنُ نُبَاتَةَ الْعَبْسِيُّ كُوفِيٌّ، حَدَّثَنِي سَعِيدُ بْنُ جُمْهَانَ قَالَ: أَتَيْتُ عَبْدَ اللهِ بْنَ أَبِي أَوْفَى وَهُوَ مَحْجُوبُ الْبَصَرِ، فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ، قَالَ لِي: مَنْ أَنْتَ؟ فَقُلْتُ: أَنَا سَعِيدُ بْنُ جُمْهَانَ، قَالَ: فَمَا فَعَلَ وَالِدُكَ؟ قَالَ: قُلْتُ: قَتَلَتْهُ الْأَزَارِقَةُ، قَالَ: لَعَنَ اللهُ الْأَزَارِقَةَ، لَعَنَ اللهُ الْأَزَارِقَةَ، حَدَّثَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ " أَنَّهُمْ كِلَابُ النَّارِ "، قَالَ: قُلْتُ: الْأَزَارِقَةُ وَحْدَهُمْ أَمِ الْخَوَارِجُ كُلُّهَا؟ قَالَ: " بَلِ الْخَوَارِجُ كُلُّهَا ". قَالَ: قُلْتُ: فَإِنَّ السُّلْطَانَ يَظْلِمُ النَّاسَ، وَيَفْعَلُ بِهِمْ، قَالَ: فَتَنَاوَلَ يَدِي فَغَمَزَهَا بِيَدِهِ غَمْزَةً شَدِيدَةً ، ثُمَّ قَالَ: " وَيْحَكَ يَا ابْنَ جُمْهَانَ عَلَيْكَ بِالسَّوَادِ الْأَعْظَمِ، عَلَيْكَ بِالسَّوَادِ الْأَعْظَمِ  إِنْ كَانَ السُّلْطَانُ يَسْمَعُ مِنْكَ، فَأْتِهِ فِي بَيْتِهِ، فَأَخْبِرْهُ بِمَا تَعْلَمُ، فَإِنْ قَبِلَ مِنْكَ، وَإِلَّا فَدَعْهُ، فَإِنَّكَ لَسْتَ بِأَعْلَمَ مِنْهُ ".
Telah menceritakan kepada kami Abu An Nadhr Telah menceritakan kepada kami Al Hasyraj Ibnu Nubatah Al Absi Kufi telah menceritakan kepadaku Sa'id bin Jumhan ia berkata, saya menemui Abdullah bin Abu Aufa, ketika itu ia sudah menjadi buta. Kemudian saya mengucapkan salam kepadanya, ia bertanya, "Siapakah Anda?" saya menjawab, "Aku adalah Sa'id bin Jumhan." Ia bertanya lagi, "Apa yang terjadi pada ayahmu?" saya menjawab, "Ia telah dibunuh oleh kelompok Al-Azariqah (salah satu jama’ah khawarij –pen)." Ia pun berkata, "Semoga Allah melaknati jama'ah Al-Azariqah. Semoga Allah melaknati jama'ah Al-Azariqah. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam telah menceritakan kepada kami, bahwa mereka itu adalah anjing-anjingnya neraka." Saya bertanya, "Apakah hanya jama'ah Al-Azariqah saja, ataukah semua kaum Khawarij?" ia menjawab, "Ya, benar. Semua kaum Khawarij." Saya berkata, "(Tetapi) Sesungguhnya para penguasa tengah menzhalimi rakyat, dan berbuat tidak adil kepada mereka." Lalu Abdullah bin Abu Aufa menggandeng tanganku dan menggenggamnya dengan sangat kuat, kemudian berkata, "Duhai celaka kamu wahai Ibnu Jumhan, hendaklah kamu selalu bersama As-Sawadil A'zham, hendaklah kamu selalu bersama As-Sawadil A'zham. Jika sang penguasa mau mendengar sesuatu darimu, maka datangilah rumahnya dan beritahulah dia apa-apa yang kamu ketahui, jika ia mau menerimanya, itulah yang diharapkan, dan jika tidak, maka tinggalkanlah, karena kamu tidak lebih tahu daripada dia."
Dan riwayat lainnya…
Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu (w. 1376 H) berkata,
وأمر بطاعة أولي الأمر وهم: الولاة على الناس، من الأمراء والحكام والمفتين، فإنه لا يستقيم للناس أمر دينهم ودنياهم إلا بطاعتهم والانقياد لهم
“Perintah Allah untuk taat kepada ulil amri, dan ulil amri maksudnya orang-orang yang mengurusi urusan manusia, dari kalangan pemerintah, juru hukum dan mufti, karena sesungguhnya tidak akan selesai urusan manusia baik itu urusan agama maupun urusan dunia kecuali dengan ketaatan dan keterikatan kepada mereka”. (Tafsir Taisir Karimir Rahman 2/89).
Imam Abu Ishaq Asy-Syairozi rahimahullahu (w. 476 H/ 1083 M) tatkala menafsirkan ayat,
أطِيعُوا الله وَأَطيعُوا الرَّسُول وأولي الْأَمر مِنْكُم
Berkata,
قُلْنَا المُرَاد بِالْآيَةِ الطَّاعَة فِي أُمُور الدُّنْيَا والتجهيز والغزوات والسرايات وَغير ذَلِك وَالدَّلِيل أَنه خص بِهِ أولي الْأَمر وَالَّذِي يخْتَص بِهِ أولو الْأَمر مَا ذَكرْنَاهُ من تجهيز الجيوش وتدبير الْأُمُور
“Kami katakan: Maksud ayat ini adalah ketaatan dalam urusan-urusan dunia, urusan-urusan ketentaraan, peperangan, kepolisian dan lain sebagainya. Inilah dalil bahwa Ulul Amri diberi kekhususan di sini, sedangkan kekhususan-kekhususan Ulul Amri adalah apa yang telah kami sebutkan, berupa mempersiapkan tentara dan mengurusi berbagai permasalahan.” (At-Tabshiroh  Fi Ushul Fiqh (I/ 407)).
Imam Abdullah bin Mubarok rahimahullahu bersyair,
كم يدْفع الله بالسلطان مظْلمَة ... فِي ديننَا رَحْمَة مِنْهُ ودنيانا
لَوْلَا الْخَلِيفَة لم تأمن لنا سبل ... وَكَانَ أضعفنا نهبا لأقوانا
Berapa banyak kedzaliman dilenyapkan Allah dengan perantaraan penguasa…. Dalam urusan agama kita sebagai rahmat-Nya, maupun dalam urusan dunia kita
Seandainya bukan karena khalifah, tidak akan aman jalan-jalan kita…… Dan orang kuat diantara kita akan menindas orang yang lemah diantara kita
(Badi’ul Masalik hal. 108 – Ibnu Azraq)



[1] Berkata Imam Ibnul Atsir dalam an-Nihayah Fi Ghoribil Hadis (2/1029): “Dan yang dimaksudkan dengan ['Alaikum bis-Sawadil A'zham = Hendaknya kamu bersama As-Sawadil A'zham] yaitu sekumpulan besar manusia yang berhimpun di dalam mentaati sultan (penguasa) dan berjalan di atas jalan yang benar (lurus)”.
[2] Lengkapnya ayat itu: artinya: “Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula muka yang hitam muram. Adapun orang-orang yang hitam muram mukanya (kepada mereka dikatakan): "Kenapa kamu kafir sesudah kamu beriman? Karena itu rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu". Adapun orang-orang yang putih berseri mukanya, maka mereka berada dalam rahmat Allah (surga); mereka kekal di dalamnya”.
[3] Lihat juga Ibn Bathoh dalam Al-Ibanah (2/606) no. 783, hadits ini diriwayatkan oleh yang lainnya secara ringkas. Hadits ini hasan karena Abu Ghalib, dan selainnya rijalnya tsiqah. Lihat Al-Haitsami dalam Al-Majma (6/234) dan Al-Albani dalam Al-Misykat (no. 3554).

Sikap Ulama Mekkah dan Madinah Telah Jelas (6)

Keenam,
Mereka menolak untuk mengakui penguasa muslim sebagai pemimpin (imam atau amir) yang dimaksudkan hadits untuk ditaati, dengan alasan bahwa mereka tidak sepenuhnya menggunakan hukum Allah, banyak berbuat maksyiat dan lain sebagainya dari kejelekan-kejelakan. Padahal Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam sendiri telah bersabda,
يَكُونُ بَعْدِي أَئِمَّةٌ لَا يَهْتَدُونَ بِهُدَايَ وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ
“Akan ada sesudahku para imam yang tidak mengambil petunjukku. Mereka juga tidak mengambil sunnahku. Akan ada di kalangan mereka orang yang berhati iblis dengan jasad manusia”.
قَالَ قُلْتُ كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ
Ditanyakan kepada beliau, “Bagaimana kami harus berbuat jika kami mendapati hal itu ya Rasulullah?”.
قَالَ تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلْأَمِيرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ
Beliau menjawab, “Dengar dan taatilah amir tersebut, meskipun mereka memukul punggungmu dan merampas hartamu, maka dengarlah dan taatlah”.[1]
Ketaatan kita kepada mereka pada perintah yang bukan maksyiat bukan berarti kita setuju dengan segala kerusakan dan kemungkaran yang diperbuat oleh para pemimpin itu, bahkan oleh siapa saja kerusakan dan kemungkaran itu diperbuat, maka kitapun wajib mengingkarinya, minimal dengan hati kita.
Sebagaimana dalam hadits,
إِنَّهُ يُسْتَعْمَلُ عَلَيْكُمْ أُمَرَاءُ، فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ، فَمَنْ كَرِهَ فَقَدْ بَرِئَ، وَمَنْ أَنْكَرَ فَقَدْ سَلِمَ، وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ» ، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، أَلَا نُقَاتِلُهُمْ؟ قَالَ: «لَا، مَا صَلَّوْا» ، أَيْ مَنْ كَرِهَ بِقَلْبِهِ وَأَنْكَرَ بِقَلْبِهِ
“Sesungguhnya akan datang kepada kalian para amir, kalian mengenal dan mengingkarinya, barangsiapa membencinya maka ia telah berlepas diri, dan barangsiapa mengingkarinya maka dia telah selamat, akan tetapi siapa yang ridho dan mengikuti”. Ada yang bertanya kepada beliau, “Ya Rasulullah, apakah kita tidak bunuh saja para pemimpin itu?”. Beliau menjawab, “Jangan, selagi mereka masih sholat”, maksudnya membenci dan mengingkari dengan hatinya saja” (HR. Musim no. 63).[2]
Dan sebagaimana hadits yang telah lalu,
عَلَيْكَ بِالسَّوَادِ الْأَعْظَمِ، قُلْتُ: قَدْ تَعْلَمُ مَا فِيهِمْ؟ فَقَالَ: عَلَيْهِمْ مَا حُمِّلُوا وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ وَأَطِيعُوَا تَهْتَدُوا
“Dan wajib atas kamu untuk tetap komitmen dengan as-sawadul a’zham (penguasa Muslim dan masyarakatnya)”. Saya berkata, “Engkau tahu apa yang ada pada para penguasa itu (berupa kejelekan-kejelekan)”. Beliau menjawab, “Kewajiban mereka adalah apa yang dibebankan kepada mereka dan kewajiban kamu adalah apa yang dibebankan kepadamu, maka taatlah kepada mereka niscaya kamu akan mendapat petunjuk”. (Ibnu Nasr dalam As-Sunnah h. 22 no. 55).
Sikap ulama Mekkah dan Madinah telah jelas dalam masalah ini, hal itu terangkum dari apa yang disampaikan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin rahimahullahu mengenai Negara Al-Jaza’ir yang notabene mirip dengan Indonesia dari segi bentuk pemerintahan dan hukum yang berlaku didalamnya.
Beliau ditanya,
السائل: بالنسبة للحاكم الجزائري يا شيخ! الآن الشباب الذين طلعوا من السجون أكثرُهم لا زال فيهم بعض الدَّخَن، حتى وإن طلعوا من السجون وعُفي عنهم، لكن لا زالوا يتكلَّمون في مسألة التكفير، ومسألة تكفير الحاكم بالعين، وأن هذا الحاكم الذي في الجزائر حاكمٌ كافرٌ، ولا بيعة له، ولا سمع ولا طاعة لا في معروفٍ ولا في منكرٍ؛ لأنَّهم يُكفِّرونهم، ويجعلون الجزائر ـ يا شيخ! ـ أرض ـ يعني ـ أرض كفر.
Penanya: Hubungannya dengan pemerintah Al-Jaza’ir –wahai Syaikh-, sekarang para pemuda (yakni, anggota FIS) yang telah keluar dari penjara. Kebanyakan diantara mereka masih ada pada mereka sedikit perasaan dendam sehingga walaupun mereka telah keluar dari penjara, dan telah dimaafkan, tapi mereka senantiasa berbicara masalah takfir (pengkafiran), dan masalah pengkafiran pemerintah dengan main tunjuk, dan bahwa Pemimpin (pemerintah) yang ada di Al-Jaza’ir adalah pemimpin kafir, dan tak ada bai’at baginya, tak perlu didengar dan ditaati, baik dalam perkara ma’ruf maupun mungkar, karena mereka (pemuda FIS) telah mengkafirkan pemimpin, dan menganggap Al-Jaza’ir sebagai negara kafir.
الشيخ: دار كفر؟
Syaikh: (mereka menganggapnya) Negara Kafir?
السائل: إي، دار كفر، نعم يا شيخ! لأنَّهم يقولون: إنَّ القوانينَ التي فيها قوانين غربية، ليست بقوانين إسلامية، فما نصيحتُكم أولاً لهؤلاء الشباب؟ وهل للحاكم الجزائري بَيْعَة، علماً ـ يا شيخ! ـ بأنَّه يأتي يعتمِر ويُظهرُ شعائرَ الإسلام؟
Penanya: Betul, negara kafir, wahai Syaikh! Karena mereka (pemuda FIS) berkata, "Sesungguhnya undang-undang yang ada di Al-Jaza’ir adalah undang-undang barat, bukan undang-undang Islam". Pertama, apa nasihat anda kepada para pemuda tersebut? Apakah ada bai’at bagi pemerintah Al-Jaza’ir, dan perlu diketahui –wahai Syaikh- bahwa pemimpin itu biasa melakukan umrah, dan menampakkan syi’ar-syi’ar Islam.
الشيخ: يُصلِّي أو لا يُصلِّي؟
Syaikh: Dia sholat atau tidak?
السائل: يُصلِّي يا شيخ!
Penanya: Dia sholat, wahai Syaikh!
الشيخ: إذن هو مسلمٌ.
Syaikh: Kalau begitu, ia (pemimpin) itu muslim.
السائل: وأتى واعتمر هنا من حوالي عشرين يوماً أو شهر، كان هنا في المملكة.
Penanya: Dia datang kesini (Saudi), dan berumrah sekitar 20 hari atau sebulan.[3] Dia pernah di KSA (Kerajaan Saudi Arabia).
الشيخ: ما دام يُصلِّي فهو مسلمٌ، ولا يجوز تكفيرُه، ولهذا لَمَّا سُئل النَّبِيُّ  عن الخروج على الحُكَّام قال: ] لا ما صلَّوا [، فلا يجوز الخروجُ عليه، ولا يجوزُ تكفيرُه، من كفَّره فهذا ... بتكفيره يُريد أن تعودَ المسألة جَذَعاً، فله بيعة، وهو حاكمٌ شرعيٌّ.
أما موضوعُ القوانين، فالقوانينُ يجب قبول الحقِّ الذي فيها؛ لأنَّ قبول الحقِّ واجبٌ على كلِّ إنسانٍ، حتى لو جاء بها أكفرُ الناس، فقد قال الله عزَّ وجلَّ: {وَإِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً قَالُوا وَجَدْنَا عَلَيْهَا آبَاءَنَا وَاللهُ أَمَرَنَا بِهَا} فقال الله تعالى: {قُلْ إِنَّ اللهَ لاَ يَأْمُرُ بِالفَحْشَآءِ} [الأعراف 28]. وسكت عن قولهم: {وَجَدْنَا عَلَيْهَا آبَاءَنَا}؛ لأنَّها حقٌّ، فإذا كان تعالى قبِل كلمةَ الحقِّ من المشركين فهذا دليلٌ على أنَّ كلمةَ الحقِّ تُقبلُ من كلِّ واحد، وكذلك في قصة الشيطان لَمَّا قال لأبي هريرة: ] إنَّك إذا قرأتَ آيةَ الكرسي لَم يزل عليك من الله حافظ ولا يَقرَبْك الشيطان حتى تُصبح [ قبِل ذلك النَّبِيُّ صلى الله عليه وعلى آله وسلَّم، وكذلك اليهودي الذي قال: ] إنَّا نجد في التوراة أنَّ الله جعل السموات على إصبع، والأرضين على إصبع ـ وذكر الحديث ـ فضحك النَّبِيُّ صلى الله عليه وعلى آله وسلم حتى بَدَت أنيابُه أو نواجِذُه؛ تصديقاً لقوله، وقرأ: {وَمَا قَدَرُوا اللهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَالأَرْضُ جَمِيعًا قَبْضَتُهُ يَوْمَ القِيَامَةِ وَالسَّمَوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ} [الزمر 67] [.
فالحقُّ الذي في القوانين ـ وإن كـان مِن وَضعِ البشرِ ـ مقبولٌ، لا لأنَّه قول فلان وفلان أو وضْعُ فلان و فلان، ولكن لأنَّه حقٌّ.
وأمَّا ما فيه من خطأ، فهذا يُمكنُ تعديلُه باجتماع أهل الحلِّ العقدِ والعلماء والوُجهاء، ودراسة القوانين، فيُرفَضُ ما خالف الحقَّ، ويُقبلُ ما يُوافِقُ الحقَّ.
أمَّا أن يُكفَّرَ الحاكم لأجل هذا؟!
مع أنَّ الجزائر كم بقيت مستعمَرة للفرنسيين؟
Syaikh: Selama ia masih sholat, maka ia adalah muslim, tak boleh dikafirkan. Oleh karena ini, Nabi shallallahu’alaihi wasallam tatkala ditanya tentang pemberontakan melawan pemerintah, maka beliau bersabda, "Jangan, selama ia masih sholat". [HR. Muslim dalam Kitab Al-Imaroh (62)
Tidak boleh memberontak melawan pemimpin itu, tak boleh mengkafirkannya. Barangsiapa yang mengkafirkannya, maka dia (yang mengkafirkannya) dengan perbuatannya ini menginginkan masalah kembali dari awal. Baginya ada bai’at, dia adalah pemimpin yang syar’iy.
Adapun masalah undang-undang, maka undang-undang wajib diterima kebenaran yang terdapat di dalamnya, karena menerima kebenaran adalah wajib bagi setiap orang, walapun kebenaran itu dibawa oleh manusia yang paling kafir. Allah -Azza wa Jalla- berfirman, "Dan apabila mereka melakukan perbuatan keji, mereka berkata: "Kami mendapati nenek moyang kami mengerjakan yang demikian itu, dan Allah menyuruh kami mengerjakannya".
Lalu Allah berfirman, Katakanlah: "Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang keji." Mengapa kamu mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?". (QS. Al-A’raaf: 28)
Allah -Ta’ala- mendiamkan ucapan mereka, "Kami mendapati nenek moyang kami mengerjakan yang demikian itu".
Karena itu adalah benar. Jika Allah -Ta’ala- menerima kalimat kebenaran dari orang-orang musyrik, maka ini adalah dalil bahwa kalimat kebenaran diterima dari setiap orang. Demikian pula kisah setan, tatkala ia berkata kepada Abu Hurairah, "Sesungguhnya jika kau membaca ayat Kursi, maka senantiasa akan ada padamu seorang penjaga dari Allah, dan setan tak akan mendekatimu sampai waktu pagi". [HR. Al-Bukhoriy dalam Kitab Bad'il Kholqi (3033)]
Ucapan itu diterima oleh Nabi - shallallahu’alaihi wasallam - (dari setan,- pen). Demikian pula orang-orang Yahudi yang berkata, "Sesungguhnya kami telah menemukan dalam Taurat bahwa Allah meletakkan langit pada sebuah jari, dan bumi pada sebuah jari –diapun menyebutkan hadits. Kemudian Nabi shallallahu’alaihi wasallam tertawa sampai gigi geraham beliau tampak karena membenarkan ucapan orang itu. Beliaupun membaca ayat: "Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya". [HR. Al-Bukhoriy dan Muslim]
Jadi, kebenaran yang terdapat dalam undang-undang buatan manusia adalah diterima, walaupun berasal dari buatan manusia. (Kebenaran itu diterima) bukan karena itu adalah pendapat fulan, dan fulan, atau buatan fulan, dan fulan. Tapi karena ia adalah kebenaran. Adapun kesalahan yang terdapat di dalamnya, maka itu mungkin bisa dibetulkan dengan berkumpulnya para ahlul halli wal aqdi, para ulama, dan para pemuka, dan mempelajari undang-undang itu. Maka yang menyelisihi kebenaran ditolak, dan yang sesuai kebenaran diterima. Adapun pemerintah dikafirkan, karena masalah seperti ini, (maka tak sepantasnya)! Padahal Al-Jaza’ir berapa lama dijajah oleh orang-orang Perancis?
السائل: 130 سنة.
Penanya: Selama 130 tahun [4]
الشيخ: 130سنة! طيِّب! هل يُمكن أن يُغيَّر هذا القانون الذي دوَّنه الفرنسيَّون بين عشيَّة وضحاها؟! لا يُمكن. أهمُّ شيء: عليكم بإطفاء هذه الفتنة بما تستطيعون، بكلِّ ما تستطيعون، نسأل الله أن يقيَ المسلمين شرَّ الفتن.
Syaikh: 130 tahun ?! Baiklah, apakah mungkin undang-undang ini yang telah dirancang oleh orang-orang Perancis, bisa diubah antara sore dan pagi saja? Ini tak mungkin!! Perkara yang terpenting, wajib bagi kalian memadamkan fitnah (masalah takfir) ini sesuai kemampuan kalian, dengan segala yang kalian mampu. Kami memohon kepada Allah agar Dia melindungi kaum muslimin dari kejelekan fitnah”.[5]



[1] Dengan lafazh ini adalah riwayat Muslim (3/1476) no. 1847, Thabrani dalam Al-Ausath (3/190) no. 2893, dan Al-Hakim (4/547) no. 8533, beliau berkata, “Shahih isnad’.
[2] Adapun mengingkari dan menasehati penguasa itu -bagi orang yang kemungkinan didengar nasihatnya oleh sang penguasa- ada metode dan caranya tersendiri, sebagaimana terdapat dalam hadits dari Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam dan akan kami bahas ditempatnya.
[3] Penulis menduga semua presiden kita juga pernah pula umroh/haji.
[4] Konon bahkan Indonesia kurang lebih 350 tahun dijajah oleh Belanda dan lainnya.
[5] Dinukil dari Kitab Fatawa Al-Ulama’ Al-Akabir fi maa Uhdiro min Dima’ fil Jaza’ir, disusun oleh Syaikh Abdul Malik Ramdani Al-Jazairi حفظه الله.

Siapa Yang Diperintah Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam Untuk Dibaiat ? (7)

Ketujuh,
Jama’ah Kiyai Nur Hasan beralasan bahwa para penguasa di negeri ini tidak dibai’at, artinya tidak menggunakan “ritual bai’at” yang syar’i menurut mereka. Sedangkan Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
مَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مَيْتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barangsiapa yang mati dalam keadaan tidak ada ikatan baiat di lehernya maka dia mati sebagaimananya matinya orang jahiliyyah (yang tidak memiliki penguasa)”  (ini lafazh Thabrani 19/334 no. 769).
Jadi mereka mengangkat salah satu dari kelompoknya untuk dibai’at, dengan harapan terlepas dari ancaman hadits ini, walaupun yang dibai’at ini bukan penguasa!!!.
Ini adalah sebuah kesalahan, sebab yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam untuk dibai’at adalah imam tertinggi yaitu penguasa. Sebagaimana ditunjukan oleh hadits berikut ini,
Imam Abu Dawud rahimahullahu no. 4250 berkata:
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا الأَعْمَشُ عَنْ زَيْدِ بْنِ وَهْبٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدِ رَبِّ الْكَعْبَةِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « مَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَثَمَرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ مَا اسْتَطَاعَ فَإِنْ جَاءَ آخَرُ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوا رَقَبَةَ الآخَرِ »
Menceritakan kepada kami Musadad menceritakan kepada kami Isa bin Yunus, menceritakan kepada kami Al-A’masy dari Zaid bin Wahab dari Abdurrahman bin Abd Rabil Ka’bah dari Abdullah bin Amru sesungguhnya Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Dan Barangsiapa memberi bai’at kepada seorang imam dengan menjabat tangannya dan dilaksanakannya dengan sepenuh hati, hendaknya ia mentaatinya dengan segenap kemampuan. Jika datang yang lain ingin merebut keimamannya penggalah leher (imam) yang lain”.[1]
Asy-Syaikh Al-Muhadits Ahmad An-Najmi [2] rahimahullahu mengatakan,
الجهة الأولى: أنّ البيعة حق للإمام الأعلى فمن أخذ البيعة غير الإمام الأعلى فقد ابتدع في الدين بدعة مذمومة وقد قال النبي  (ورجل بايع إماماً لم يبايعه إلا لدنيا فإن أعطاه منها وفّى له وإن لم يعطه لم يف) وقوله: (سيكون عليكم أمراء فيكثرون قالوا فما تأمرنا قال فوا ببيعة الأول فالأول) وقوله (إذا بويع خليفتان فاقتلوا الآخر منهما).
“Kritikan pertama, Bai’at merupakan hak penguasa tertinggi. Barangsiapa yang mengambil bai’at bukan pada penguasa tertinggi, sungguh dia telah berbuat bid’ah yang tercela di dalam agama. Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda, “Dan seorang laki-laki yang membai’at imamnya hanya untuk perkara dunia[3], jika imamnya memberikan ia loyal, jika tidak maka tidak”. Dan Sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, “Akan muncul kepada kalian banyak amir”. Lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami?. “Hendaklah engkau mengikuti bai'at yang awal (berkuasa) dan yang awal (berkuasa) berikutnya". dan sabda beliau shallallahu’alaihi wasallam, "Jika dibai’at dua khalifah, maka bunuhlah yang paling akhir dari keduanya”.[4]
Syaikh Kibar Ulama Saudi, Shalih Fauzan[5] حفظه الله mengatakan,
البيعة لا تكون إلا لولي أمر المسلمين ، وهذه البيعات المتعددة مبتدعة ، وهي من إفرازات الاختلاف ، والواجب على المسلمين الذين هم في ولاية واحدة ، وفي مملكة واحدة أن تكون بيعتهم واحدة لإمام واحد ، لا تجوز المبايعات المتعددة ، وإنما هذه من إفرازات اختلافات هذا العصر ، ومن الجهل بالدين .
“Bai'at hanya diberikan kepada penguasa kaum muslimin. Bai'at-bai'at yang berbilang bilang dan bid'ah itu akibat dari perpecahan.[6] Setiap kaum muslimin yang berada dalam satu pemerintahan dan satu kekuasaan wajib memberikan satu bai'at kepada satu orang pemimpin. Tidak dibenarkan memunculkan bai'at - bai'at lain. Bai'at - bai'at tersebut merupakan akibat dari perpecahan kaum muslimin pada zaman ini dan akibat kejahilan tentang agama”.[7]
Ahli Hadits Zaman ini, Asy-Syaikh Al-’Allamah Muhammad Nasiruddin Al-Albani rahimahullahu mengatakan,
أَمَّا مُبَايَعَةُ حِزْبٍ مِنَ الْأَحْزَابِ لِفَرْدٍ لِرَئِيسٍ لَهُ، أَوْ جَمَاعَةٍ مِنَ الْجَمَاعَاتِ لِرَئِيْسِهِمْ وَهَكَذَا، فَهَذَا فِي الْوَاقِعِ مِنَ الْبِدَعِ الْعَصْرِيِّةِ الَّتِي فَشَتْ فِي الزَّمَنِ الْحَاضِرِ، وَذَلِكَ بِلَا شَكٍّ مِمَّا يُثِيرُ فِتَنًا كَثِيرَةً جِدًّا بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ
“Adapun pembai’atan yang dilakukan kelompok dari kelompok-kelompok itu, dari anggotanya terhadap pemimpinnya, atau satu jamaah kepada pemimpinnya, dan yang semisalnya, pada kenyataannya termasuk bid’ah yang baru muncul pada masa kini. Tidak diragukan lagi, bahwa ini dapat menimbulkan berbagai fitnah yang sangat banyak sekali di kalangan kaum muslimin”.[8]
Ahli Hadits dari Afrika, imam dan pengajar di Haramain, Syaikh Dr. Taqiyuddin Al-Hilali[9] rahimahullahu berkata,
ولا تشرع البيعة في الإسلام إلا للنبي صلى الله عليه وسلم  ولخليفة المسلمين
“Tidak Disyari’atkam bai’at didalam Islam kecuali kepada Nabi n dan khalifah (penguasa) kaum muslimin”.[10]
Jika mereka mengatakan: “Akan tetapi imam tertinggi itu yaitu para penguasa tidak melangsungkan bai’at dan tidak dibai’at!!!. Mereka diangkat melalui pemilu atau demokrasi yang bukan berasal dari Islam.[11] Jadi mereka tidak layak diakui dan ditaati sebagai imam yang dimaksudkan dalam hadits-hadits !!!!”.
Kami katakan yang dimaksud dengan “tidak ada ikatan baiat di lehernya” dalam hadits yang diatas tadi, maknanya adalah tidak memiliki penguasa, karena memberontak dari penguasa (keluar dari jama’ah), atau keluar dari ketaatan kepada penguasa. Bukan dalam arti mesti tiap-tiap orang berbai’at pada imamnya.
Dalilnya adalah sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam dalam lafazh lain,
مَنْ مَاتَ بِغَيْرِ إِمَامٍ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barangsiapa yang mati tidak mempunyai Imam kemudian dia mati, maka matinya seperti mati jahiliyah”. (ini lafazh Ahmad (4/96 no. 16922).
مَنْ خَرَجَ مِنَ الطَّاعَةِ وَفَارَقَ الْجَمَاعَةَ فَمَاتَ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barangsiapa keluar dari ta’at dan berpisah dari al-jama’ah, lalu dia mati maka matinya seperti mati jahiliyah”. (Muslim no. 1848).
Oleh sebab itulah Nabi shallallahu’alaihi wasallam menyebut orang yang meninggal dunia dalam keadaan tidak memiliki ikatan baiat dengan kematian jahiliyyah karena orang-orang jahiliyyah mereka memiliki sifat khas yaitu sombong untuk patuh kepada seorang pemimpin. Mereka tidak mau terikat dengan ketaatan kepada seorang pemimpin.
Oleh sebab itu dengan sempurnanya ketaatan kepada para pemimpin maka telah sempurna bai’at kita. Tanpa wajib tiap-tiap orang berbai’at kepada para pemimpin itu.
Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu ditanya tentang makna hadits diatas, beliau menjawab:
أرجو أنه لا يجب على كل إنسان المبايعة، وأنه إذا دخل تحت الطاعة وانقاد، ورأى أنه لا يجوز الخروج على الإمام، ولا معصيته في غير معصية الله، أن ذلك كاف، وإنما وصف صلى الله عليه وسلم ميتته بالميتة الجاهلية، لأن أهل الجاهلية كانوا يأنفون من الانقياد لواحد منهم، ولا يرضون بالدخول في طاعة واحد؛ فشبه حال من لم يدخل في جماعة المسلمين بحال أهل الجاهلية في هذا المعنى، والله أعلم.
“Aku berharap bahwa berbaiat (secara langsung kepada penguasa) bukanlah kewajiban tiap-tiap orang. Sesungguhnya jika seorang itu telah masuk ke dalam ketaatan dan kepatuhan (kepada seorang penguasa) dan dia berkeyakinan bahwa dia tidak boleh menentang dan memberontak kepada seorang penguasa serta tidak boleh durhaka kepada aturan penguasa selama aturan tersebut tidaklah bernilai maksiat kepada Allah, maka itu sudah cukup baginya. Orang yang meninggal dunia dalam keadaan tidak memiliki ikatan baiat (sebagaimana penjelasan di atas) kematiannya Nabi shallallahu’alaihi wasallam sebut dengan kematian jahiliyyah karena orang-orang jahiliyyah itu memiliki sifat khas yaitu sombong untuk patuh kepada seorang pemimpin. Mereka tidak mau terikat dengan ketaatan kepada seorang pemimpin. Oleh karena itu, dalam hadits di atas Nabi n serupakan orang yang tidak mau masuk dalam jamaah kaum muslimin sebagaimana orang-orang jahiliah dari sisi ini,  wallahu’alam”.[12]
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taymiyyah rahimahullahu:
وَمَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ وَرَسُولُهُ مِنْ طَاعَةِ وُلَاةِ الْأُمُورِ وَمُنَاصَحَتِهِمْ وَاجِبٌ عَلَى الْإِنْسَانِ وَإِنْ لَمْ يُعَاهِدْهُمْ عَلَيْهِ وَإِنْ لَمْ يَحْلِفْ لَهُمْ الْأَيْمَانَ الْمُؤَكَّدَةَ كَمَا يَجِبُ عَلَيْهِ الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالزَّكَاةُ وَالصِّيَامُ وَحَجُّ الْبَيْتِ. وَغَيْرُ ذَلِكَ مِمَّا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ وَرَسُولُهُ مِنْ الطَّاعَةِ؛ ..
“Apa yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu’alaihi wasallam dari ketaatan kepada penguasa dan menasehati mereka adalah perkara yang wajib atas setiap manusia, walaupun dia tidak pernah mengikat perjanjian (baiat) kepadanya, dan walaupun dia tidak bersumpah dengan berbagai sumpah yang menekankan. Sebagaimana yang telah diwajibkan atasnya  sholat lima waktu, zakat, puasa dan haji dan selainnya dari apa-apa yang diperintahkan Alloh dan Rasul-Nya dari ketaatan (yakni kita wajib melaksanakan sholat, zakat dsb itu walaupun kita tidak dibai’at untuk itu –pen)”. (Majmu’ Al-Fatawa 35/9).



[1] Diriwayatkan juga oleh Muslim no. 1844, Nasai (7/152, 154), Ibn Majah no. 4956 dan Ibn Hibban no. 5916.
[2] Beliau adalah Ahmad bin Yahya bin Muhammad an-Najmi, mufti Arab Saudi bagian selatan. Beliau banyak memiliki karya-karya tulis ilmiah. Beliau wafat pada hari rabu sore, 23 Juli 2008 atau 19 Rajab 1429 H.
[3] Syaikh menggunakan hadits ini untuk membantah orang yang membolehkan membai’at imam-imam ‘dakwah’.
[4] Dalam kitab beliau, al-Mawrid al-Adh'b az-Zilal fima intaqada 'ala ba'adil-manahij ad-da'wiyyah min al-'Aqa'id wal-'A'amal hal. 214.
[5] Beliau adalah wakil mufti Arab Saudi saat ini, dan salah satu ulama senior yang tersisa.
[6] Yakni setiap yang berbeda pendapat dalam masalah agama lantas memisahkan diri dan membai’at para pemimpinnya.
[7] Dari Al-Muntaqo min Fatawi asy-Syaikh Shalih Fauzan (1/367)
[8] Dengarkan dalam Silsilah Al-Huda wan Nur, kaset no. 288
[9] Beliau adalah Abu Shukayb Muhammad Taqi ibn Abdul Qadir ibn Muhammad Thoyyib ibn Hilal. Beliau adalah murid dari Syaikh Abdul Dhohir Abu Samah, Syaikh Abdurrazaq Hamzah, Syaikh Abdurahman Al-Mubarakfuri, Syaikh Muhammad Amin Asy-Syanqithi dan lainnya. Ahli hadits yang piawai dan pernah menjadi Imam dan mengajar di Masjid Nabawi dan Masjidil Harom. Diantara tulisannya adalah ‘Al-Hadiyyah Al-Haadiyah fi Radd ‘ala Firqah At-Tijaniyah’ yang mengisahkan hijrahnya kepada manhaj salaf dari Sufi Tijani. meninggal tahun 1407 H (1987 M).
[10] Dalam kitab Qaulul Baligh fit Tahdzir min Jama’at At-Tabligh karya Syaikh Hamud At-Tuwaijiri v hal. 138
[11] Ini akan ada penjelasannya didepan insyaAlloh.
[12] Al Duror al Saniyyah fi al Ajwibah al Najdiyyah (9/11).

Para Penguasa Itu Tidak Di Bai'at (8)
Kedelapan,
Mereka mengatakan bahwa para penguasa itu selain tidak dibai’at mereka juga diangkat melalui pemilu atau demokrasi yang bukan berasal dari Islam.
Penulis katakan, bukankah telah jelas sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wasalam sebelumnya,
يَكُونُ بَعْدِي أَئِمَّةٌ لَا يَهْتَدُونَ بِهُدَايَ وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ
“Akan ada sesudahku para imam yang tidak mengambil petunjukku. Mereka juga tidak mengambil sunnahku. Akan ada di kalangan mereka orang yang berhati iblis dengan jasad manusia”.
قَالَ قُلْتُ كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ
Ditanyakan kepada beliau, “Bagaimana kami harus berbuat jika kami mendapati hal itu ya Rasulullah?”.
قَالَ تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلْأَمِيرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ
Beliau menjawab, “Dengar dan taatilah amir tersebut, meskipun mereka memukul punggungmu dan merampas hartamu, maka dengarlah dan taatlah”.[1]
Dalam hadits diatas, Rasulullah shallallahu’alaihi wasalam tetap memerintahkan kita untuk mentaati penguasa itu walaupun tidak mengambil petunjuk dan sunnah Nabi shallallahu’alaihi wasalam. Bahkan Akan ada di kalangan mereka orang yang berhati iblis dengan jasad manusia. Bukankah penguasa yang berkuasa tanpa menggunakan ‘ritual bai’at’ atau “diangkat melalui pemilu/demokrasi” termasuk dalam cakupan “tidak mengambil petunjukku, Mereka juga tidak mengambil sunnahku”?.
Para sahabat pun taat kepada pemerintahnya walaupun Khalifah yang memerintah mereka mendapatkan keimamannya dengan pedang (Pembunuhan) sebagaimana dizaman Ibnu Umar dan lainnya. Dan kekejian dan kejahatan apa yang lebih buruk dari pembunuhan sesama Muslim?, namun saat orang itu telah berkuasa maka para sahabat taat kepadanya, dan berlepas diri dari cara-cara tidak syar’i yang dilakukannya demi mendapat kekuasaan.
Yahya bin Yahya rahimahullahu berkata, “Sungguh telah berbai’at Ibnu Umar kepada Abdul Malik bin Marwan padahal Abdul Malik mengambil kekuasaan dengan pedang. Disampaikan kepada ku dari Malik dari Ibnu Umar bahwa dia menulis surat kepada Marwan dan memerintahkan orang untuk mendengar dan taat diatas Kitab dan Sunnah Nabi-Nya”.[2]
Ibnu Umar radhiyallahu’anhu berkata,
" نَحْنُ مَعَ مَنْ غَلَبَ"
“Saya bersama orang yang menang (mengalahkan)”.[3]
Jama’ahnya Nur Hasan berkata lagi, “Bagaimana jika yang kemudian berkuasa adalah seorang perempuan walaupun muslim? Bukankah seorang perempuan tidak boleh menjadi imam?”.
Kami katakan, memang perempuan tidak boleh menjadi imam. Akan tetapi jika kekuasaan telah dilimpahkan kepadanya dan dia telah mantap berkuasa dinegeri itu maka ketaatan menjadi wajib kepadanya selama dia muslim dan menegakan sholat, demi menghilangkan mudhorot yang lebih besar. Dalilnya adalah sabda beliau shallallahu’alaihi wasalam agar mentaati penguasa walaupun yang terpilih adalah seorang budak Habsyi, padahal seperti diketahui sebagaimana halnya wanita, budak tidak berhak menjadi imam[4],
إِنَّ خَلِيلِي أَوْصَانِي أَنْ أَسْمَعَ وَأُطِيعَ وَإِنْ كَانَ عَبْدًا مُجَدَّعَ الْأَطْرَافِ
“Kekasihku mewasiatkanku untuk selalu mendengar dan taat sekalipun (yang menjadi imam adalah) seorang budak yang cacat” (Muslim no. 1837).
Dalam riwayat lain,
اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَإِنْ اسْتُعْمِلَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ كَأَنَّ رَأْسَهُ زَبِيبَةٌ
"Dengarlah dan taatilah sekalipun yang terpilih sebagai penguasa kalian adalah seorang budak habsyi, yang kepalanya seperti kismis". (Bukhori no. 7142)
Mereka berkata lagi, ”Bagaimana Kalau Penguasa Kita Orang Kafir?”.
Jawabnya: Kita tidak berandai-andai sesuatu yang belum terjadi di Indonesia. Tetapi memang hal ini telah terjadi dibelahan bumi yang lain dan para ulama di Mekkah dan Madinah telah menjawab masalah ini, bahwa yang demikian membutuhkan perincian.
Seperti: Apakah pemerintah itu benar-benar kafir atau hanya praduga orang yang bertanya saja?. Bagaimana keadaan orang Islam di negara itu, apakah dalam keadaan lemah atau kuat?. Apakah mereka bisa hijroh ke Darul Islam? Dan lain sebagainya dengan memperhatikan maslahat tidaknya. Dan keputusan masalah ini tidak diserahkan kecuali kepada tokoh-tokoh masyarakat kaum muslimin yang ‘alim tentang ilmu agama dan waqi’. Tidak lah mesti kita terburu-buru mengangkat imam tandingan yang karenanya tertumpah darah kaum muslimin, terjadinya berbagai fitnah dan kerusakan-kerusakan. Tidak pada tempatnya jika masalah ini dijelaskan disini karena akan melenceng dari tema utama kita. Wallahu’alam.



[1] Dengan lafazh ini adalah riwayat Muslim (3/1476) no. 1847, Thabrani dalam Al-Ausath (3/190) no. 2893, dan Al-Hakim (4/547) no. 8533, beliau berkata, “Shahih isnad’.
[2] Asy-Syathibi rahimahullahu dalam Al-I’tisham 2/626 –Dar Ibnu Affan.
[3] Al-Qadhi Abu Ya’la rahimahullahu dalam Ahkam As-Sulthaniyah h. 23
[4] Yang benar itu, pemimpin kaum muslimin mesti dari laki-laki Quraisy sebagaimana dalam hadits shahih:
إِنَّ هَذَا الْأَمْرَ فِي قُرَيْشٍ لَا يُعَادِيهِمْ أَحَدٌ إِلَّا كَبَّهُ اللَّهُ عَلَى وَجْهِهِ مَا أَقَامُوا الدِّينَ
“Sesungguhnya urusan (khilafah/pemerintahan) ini berada pada suku Quraisy dan tidak ada seorangpun yang menentang mereka melainkan Allah Ta'ala pasti akan menelungkupkan wajahnya ke tanah selama mereka (Quraisy) menegakkan ad-din (agama) " (Bukhori no. 3500).

Bagaimana Menyikapi Penguasa Muslim ? (9)

Kesembilan,
Para pemimpin itu bukan orang yang maksum (terlepas dari kesalahan) andai ada beberapa perbuatannya yang melenceng dari sunnah tidak lantas kita harus keluar dari ketaatan kepadanya. Toh setiap orangpun tidak lepas dari kesalahan.
مَنْ وَلِيَ عَلَيْهِ وَالٍ، فَرَآهُ يَأْتِي شَيْئًا مِنْ مَعْصِيَةِ اللهِ، فَلْيَكْرَهْ مَا يَأْتِي مِنْ مَعْصِيَةِ اللهِ، وَلَا يَنْزِعَنَّ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ
“Dan barangsiapa dipimpin oleh seorang pemimpin, kemudian dia melihat pemimpinnya bermaksiat kepada Allah, hendaknya ia membenci dari perbuatannya dan janganlah ia melepas dari ketaatan kepadanya” (Muslim no. 1855).
Dalam hadits lain disebutkan,
عَنْ زِيَادِ بْنِ كُسَيْبٍ العَدَوِيِّ، قَالَ: كُنْتُ مَعَ أَبِي بَكْرَةَ تَحْتَ مِنْبَرِ ابْنِ عَامِرٍ وَهُوَ يَخْطُبُ وَعَلَيْهِ ثِيَابٌ رِقَاقٌ، فَقَالَ أَبُو بِلَالٍ: انْظُرُوا إِلَى أَمِيرِنَا يَلْبَسُ ثِيَابَ الفُسَّاقِ، فَقَالَ أَبُو بَكْرَةَ: اسْكُتْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «مَنْ أَهَانَ سُلْطَانَ اللَّهِ فِي الأَرْضِ أَهَانَهُ اللَّهُ»
Dari Ziyad bin Kusaib Al-’Adawi ia berkata : Aku bersama Abu Bakrah dibawah mimbar Ibnu ’Amir. Sedangkan Ibnu ’Amir berkhutbah dengan pakaian yang tipis. Tiba-tiba Abu Bilal (Abu Bilal adalah Mirdas bin Udayah salah seorang tokoh Khawarij –pen) berkata : ”Lihatlah pemimpin kita itu, dia berpakaian dengan pakaiannya orang fasiq”. (Mendengar perkataan itu) Abu Bakrah (seorang sahabat –pen) berkata kepada Abu Bilal : ”Diam kamu !! Aku mendengar Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda : “Barangsiapa yang menghinakan penguasa Allah di bumi, maka Allah akan hinakan orang itu”. (Tirmidzi no. 2224)
Hadits diatas menggambarkan bahwa pengikut hawa nafsu tertipu dengan anggapan keshalehan dirinya sendiri, terperdaya dengan anggapan banyaknya ibadah yang pernah diperbuatnya, dan su’udzon kepada orang-orang yang Allah telah berikan kelebihan atas mereka baik berupa harta, kedudukan ataupun ilmu. Diantara contoh nyata tipu daya setan ini adalah perilaku Khawarij dalam penentangan dan penghinaan mereka kepada penguasa kaum muslimin. Mereka tidak menerima kekurangan-kekurangan para pemimpin itu seakan-akan mereka sendiri maksum. Setiap kebijakan para pemimpin selalu saja salah dimata mereka karena memang sifat su’udzon menetap dalam hati mereka dengan nyaman.
Saya pernah mendengar dari sebagian pengikut Haji Nur Hasan Ubaidah perkataan semisal Abu Bilal diatas. Kalau yang demikian itu diungkapkan oleh orang awam, mungkin bisa sedikit dimaklumi, akan tetapi jika muncul dari orang yang mengaku memiliki ilmu ad-din, ini sungguh mengherankan. Sampai-sampai mereka mengkafirkan para penguasa itu hanya karena mengenakan pakaian ngelembreh (isbal).[1] Padahal seharusnya mereka menasehati dengan menemui sang pemimpin secara empat mata, jika pemimpin itu mau menerima nasihat kita Alhamdulillah, jika tidak maka kewajiban kita sudah ditunaikan.
حَدَّثَنَا أَبُو الْمُغِيرَةِ حَدَّثَنَا صَفْوَانُ حَدَّثَنِي شُرَيْحُ بْنُ عُبَيْدٍ الْحَضْرَمِيُّ وَغَيْرُهُ قَالَ جَلَدَ عِيَاضُ بْنُ غَنْمٍ صَاحِبَ دَارِيَا حِينَ فُتِحَتْ فَأَغْلَظَ لَهُ هِشَامُ بْنُ حَكِيمٍ الْقَوْلَ حَتَّى غَضِبَ عِيَاضٌ ثُمَّ مَكَثَ لَيَالِيَ فَأَتَاهُ هِشَامُ بْنُ حَكِيمٍ فَاعْتَذَرَ إِلَيْهِ ثُمَّ قَالَ هِشَامٌ لِعِيَاضٍ أَلَمْ تَسْمَعْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ مِنْ أَشَدِّ النَّاسِ عَذَابًا أَشَدَّهُمْ عَذَابًا فِي الدُّنْيَا لِلنَّاسِ فَقَالَ عِيَاضُ بْنُ غَنْمٍ يَا هِشَامُ بْنَ حَكِيمٍ قَدْ سَمِعْنَا مَا سَمِعْتَ وَرَأَيْنَا مَا رَأَيْتَ أَوَلَمْ تَسْمَعْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ لَهُ
Telah menceritakan kepada kami Abu Al-Mughiroh telah menceritakan kepada kami Shafwan telah menceritakan kepadaku Syuraih bin 'Ubaid Al Hadlromi dan yang lainnya berkata; 'Iyadl bin Ghonim mencambuk orang Dariya ketika ditaklukkan. Hisyam bin Hakim meninggikan suaranya kepadanya untuk menegur sehingga 'Iyadl marah. ('Iyadl) tinggal beberapa hari, lalu Hisyam bin Hakim mendatanginya, memberikan alasan. Hisyam berkata kepada 'Iyadl, tidakkah kau mendengar Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda: " Orang yang paling keras siksaannya adalah orang-orang yang paling keras menyiksa manusia di dunia?." 'Iyadl bin ghanim berkata; Wahai Hisyam bin Hakim, kami pernah mendengar apa yang kau dengar dan kami juga melihat apa yang kau lihat, namun tidakkah kau mendengar Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa yang hendak menasehati penguasa dengan suatu perkara, maka jangan dilakukan dengan terang-terangan, tapi gandenglah tangannya dan menyepilah berdua. Jika penguasa itu mau menerima, itulah yang diharapkan, jika tidak mau menerima maka ia telah menunaikan apa yang menjadi kewajibannya.” (Imam Ahmad dalam Musnad 3/403).
Hadits diatas menjadi hujjah bagi orang yang mengaku mengajak kepada persatuan (jama’ah), akan tetapi justru mereka lah yang memecahbelah. Kalau benar orang-orang yang memisahkan diri dari jama’ah kaum muslimin itu menghendaki persatuan kaum muslimin, jalan yang harus ditempuh seharusnya adalah menasehati para penguasa kaum muslimin agar berhukum dengan hukum Allah dan menasehati kaum muslimin agar mentaati para penguasa selain perintah maksiat. Bukannya menyeru kepada imam baru, jama’ah-jama’ah hizbiyah dan persatuan semu yang hakikatnya adalah perpecahan yang nyata.
Nasehat kepada penguasa agar berhukum dengan hukum Allah adalah amalan yang mulia. Namun kalau memang Allah Ta’ala belum takdirkan para penguasa kaum muslimin berhukum secara keseluruhan dengan hukum Allah, maka dengan nasehat tersebut kewajiban kita telah terlaksana, adapun dosanya ada pada penguasa-penguasa tersebut.
Sebagaimana hadits yang telah lalu,
" وَيْحَكَ يَا ابْنَ جُمْهَانَ عَلَيْكَ بِالسَّوَادِ الْأَعْظَمِ، عَلَيْكَ بِالسَّوَادِ الْأَعْظَمِ  إِنْ كَانَ السُّلْطَانُ يَسْمَعُ مِنْكَ، فَأْتِهِ فِي بَيْتِهِ، فَأَخْبِرْهُ بِمَا تَعْلَمُ، فَإِنْ قَبِلَ مِنْكَ، وَإِلَّا فَدَعْهُ، فَإِنَّكَ لَسْتَ بِأَعْلَمَ مِنْهُ ".
“Duhai celaka kamu wahai Ibnu Jumhan, hendaklah kamu selalu bersama As-Sawadil A'zham, hendaklah kamu selalu bersama As-Sawadil A'zham. Jika sang penguasa mau mendengar sesuatu darimu, maka datangilah rumahnya dan beritahulah dia apa-apa yang kamu ketahui, jika ia mau menerimanya, itulah yang diharapkan, dan jika tidak, maka tinggalkanlah, karena kamu tidak lebih tahu daripada dia." (Imam Ahmad dalam Musnad 4/382)
Hadits diatas juga merupakan hujjah bagi yang suka mengekspos kesalahan-kesalahan penguasa didepan umum, menyebarkannya dan memprovokasi untuk melawan penguasa. Sebab kalau memang benar orang tersebut menginginkan kebaikan dan dilandasi semangat keikhlasan dan ingin memberi nasihat, seharusnya orang itu mengamalkan apa yang Nabi shallallahu’alaihi wasallam perintahkan, “jangan dilakukan dengan terang-terangan, tapi gandenglah tangannya dan menyepilah berdua”, dengan demikian mudah-mudahan lebih bisa diterima.



[1] Padahal imam bithonah mereka sendiri pun pakaiannya terbukti tasyabuh dan syuhroh sebagaimana nanti akan datang pembahasannya, insyaAlloh.

Imammah Rahasia (10)

Kesepuluh,
Diantara ciri kebatilan keimaman Haji Nur Hasan dan pengikutnya adalah rahasianya bai’at dan imamah mereka ditengah-tengah kaum muslimin. Ini adalah kerancuan lain dari berbagai kerancuan pengakuan imamah mereka, baik secara akal waupun nash.
Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu sangat keras dalam mengecam dan memperingatkan kaum muslimin agar jangan sampai terjatuh dalam cara-cara semacam ini dalam masalah imamah. Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ibn Abi Ashim dalam Al-Mudzakkir wa At-Tadzkir hal. 91 – cet Dar Al-Manar,
حدثنا أبو بكر بن ابي شيبة نا محمد بن بشر ثنا عبيد الله ابن عمر عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ ، عَنْ أَبِيْهِ ، قَالَ : بَلَغَ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أَنَّ نَاسًا يَجْتَمِعُوْنَ فِيْ بَيْتِ فَاطِمَةَ فَأَتَاهَا فَقَالَ : يَا بِنْتَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, مَا كَانَ أَحَدٌ مِنَ النَّاسِ أَحَبَّ إِلَيْنَا مِنْ أَبِيْكَ وَلاَ بَعْدَ أَبِيْكَ أَحَبَّ إِلَيْنَا مِنْكِ فَقَدْ بَلَغَنِيْ أَنَّ هؤُلاَءِ النَّفَرَ يَجْتَمِعُوْنَ عِنْدَكَ, وَايْمُ اللهِ لَئِنْ بَلَغَنِيْ ذَلِكَ لأَحَرِّقَنَّ عَلَيْهِمُ الْبَيْتَ, فَلَمَّا جَاءُوْا فَاطِمَةَ قَالَتْ : إِنَّ ابْنَ الْخَطَّابِ قَالَ كَذَا وَكَذَا فَإِنَّهُ فَاعِلُ ذَلِكَ ، فَتَفَرَّقُوْا حَتَّى بُوْيِعَ لأَبِيْ بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
Menceritakan kepada kami Abu Bakar ibn Abi Syaibah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar menceritakan kepada kami Ubaidullah ibn Umar dari Zaid ibn Aslam dari Bapaknya, beliau berkata: "Telah sampai (suatu berita) kepada Umar bin Khathab radhiyallahu’anhu bahwa ada beberapa orang yang akan berkumpul di rumah Fathimah. Maka Umar mendatangi Fathimah seraya berkata, "Wahai Putri Rasulullah n, tak ada seorang pun yang yang lebih kami cintai dibandingkan ayahmu, dan tak ada orang yang paling kami cintai setelah ayahmu dibandingkan anda. Sungguh telah sampai berita kepadaku bahwa ada beberapa orang yang berkumpul di sisimu (secara rahasia). Demi Allah, jika sampai berita hal itu kepadaku, maka sungguh aku akan membakar rumah mereka". Tatkala mereka mendatangi Fathimah, maka Fathimah berkata, "Sesungguhnya Umar bin Khathab berkata demikian dan demikian. Sungguh ia akan melakukan hal itu". Lalu merekapun berpencar sehingga Abu Bakar radhiyallahu’anhu dibai’at".[1]
Dalam riwayat lain, Umar radhiyallahu’anhu berkata,
أَمَا وَاللَّهِ مَا وَجَدْنَا فِيمَا حَضَرْنَا أَمْرًا هُوَ أَقْوَى مِنْ مُبَايَعَةِ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ خَشِينَا إِنْ فَارَقْنَا الْقَوْمَ وَلَمْ تَكُنْ بَيْعَةٌ أَنْ يُحْدِثُوا بَعْدَنَا بَيْعَةً فَإِمَّا أَنْ نُتَابِعَهُمْ عَلَى مَا لَا نَرْضَى وَإِمَّا أَنْ نُخَالِفَهُمْ فَيَكُونَ فِيهِ فَسَادٌ فَمَنْ بَايَعَ أَمِيرًا عَنْ غَيْرِ مَشُورَةِ الْمُسْلِمِينَ فَلَا بَيْعَةَ لَهُ وَلَا بَيْعَةَ لِلَّذِي بَايَعَهُ تَغِرَّةً أَنْ يُقْتَلَا
Demi Allah, kami tidak menemukan hal yang lebih kuat dari pada membai'at Abu Bakar dalam pertemuan kami, kami khawatir jika orang-orang itu telah terpisah dari kami, sementara bai'at belum ada, maka mereka akan membuat sebuah pembai'atan setelah kami. Dengan demikian, boleh jadi kami akan mengikuti mereka pada sesuatu yang tidak kami ridlai atau berseberangan dengan mereka, sehingga akan terjadi kehancuran. Maka barangsiapa membai'at seorang amir tanpa musyawarah kaum muslimin, sesungguhnya bai'atnya tidak sah, dan tidak ada hak membai'at bagi orang yang membai'atnya, dikhawatirkan keduanya (orang yang membai'at dan dibai'at) akan dibunuh”. (Hadits ini dalam Musnad Ahmad (1/55) no. 391 dan Shahih Bukhari no. 6329).
Sahabat Ali radhiyallahu’anhu pun berpendapat bahwa bai’at untuk imamah itu bukan bai’at secara rahasia. Sebagaimana diriwayatkan dari Imam Ahmad dalam Kitab Fadhail ash-Shahabah (2/573) no. 969,
قثنا إِسْحَاقُ بْنُ يُوسُفَ قثنا عَبْدُ الْمَلِكِ، يَعْنِي: ابْنَ أَبِي سُلَيْمَانَ، عَنْ سَلَمَةَ بْنِ كُهَيْلٍ، عَنْ سَالِمِ بْنِ أَبِي الْجَعْدِ، عَنْ مُحَمَّدِ ابْنِ الْحَنَفِيَّةِ قَالَ: كُنْتُ مَعَ عَلِيٍّ، وَعُثْمَانُ مَحْصُورٌ، قَالَ: فَأَتَاهُ رَجُلٌ فَقَالَ: إِنَّ أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ مَقْتُولٌ، ثُمَّ جَاءَ آخَرُ فَقَالَ: إِنَّ أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ مَقْتُولٌ السَّاعَةَ، قَالَ: فَقَامَ عَلِيٌّ، قَالَ مُحَمَّدٌ: فَأَخَذْتُ بِوَسَطِهِ تَخَوُّفًا عَلَيْهِ، فَقَالَ: خَلِّ لَا أُمَّ لَكَ، قَالَ: فَأَتَى عَلِيٌّ الدَّارَ، وَقَدْ قُتِلَ الرَّجُلُ، فَأَتَى دَارَهُ فَدَخَلَهَا، وَأَغْلَقَ عَلَيْهِ بَابَهُ، فَأَتَاهُ النَّاسُ فَضَرَبُوا عَلَيْهِ الْبَابَ، فَدَخَلُوا عَلَيْهِ فَقَالُوا: إِنَّ هَذَا الرَّجُلَ قَدْ قُتِلَ وَلَا بُدَّ لِلنَّاسِ مِنْ خَلِيفَةٍ، وَلَا نَعْلَمُ أَحَدًا أَحَقَّ بِهَا مِنْكَ، فَقَالَ لَهُمْ عَلِيٌّ: " لَا تُرِيدُونِي، فَإِنِّي لَكُمْ وَزِيرٌ خَيْرٌ مِنِّي لَكُمْ أَمِيرٌ، فَقَالُوا: لَا وَاللَّهِ مَا نَعْلَمُ أَحَدًا أَحَقَّ بِهَا مِنْكَ، قَالَ: فَإِنْ أَبَيْتُمْ عَلَيَّ فَإِنَّ بَيْعَتِي لَا تَكُونُ سِرًّا، وَلَكِنْ أَخْرُجُ إِلَى الْمَسْجِدِ فَمَنْ شَاءَ أَنْ يُبَايِعَنِي بَايَعَنِي، قَالَ: فَخَرَجَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَبَايَعَهُ النَّاسُ.
“Sungguh telah menceritakan kepada kami Ishaq ibn Yusuf, sungguh menceritakan kepada kami Abdul Malik yakni Ibn Abi Sulaiman dari Salamah ibn Kuhail dari Salim ibn Abi Al-Ja’di dari Muhammad ibn Hanafiyah ia berkata, “Aku bersama Ali saat Utsman dikepung, lalu datanglah seorang laki-laki dan berkata, “Amirul mukminin telah terbunuh”. Kemudian datang laki-laki lain dan berkata, “Sesungguhnya amirul mukminin baru saja terbunuh”. Ali segera bangkit namun aku cepat mencegahnya karena khawatir keselamatan beliau. Beliau berkata, “Celaka kamu ini!”. Ali segera menuju kediaman Utsman dan ternyata Utsman telah terbunuh. Beliau pulang ke rumah lalu mengunci pintu. Orang-orang mendatangi beliau sambil mengedor-ngedor pintu lalu menerobos masuk menemui beliau. Mereka berkata, “Lelaki ini (Utsman) telah terbunuh. Sedangkan orang-orang harus punya khalifah. Dan kami tidak tahu ada orang yang lebih berhak daripada dirimu”. Ali berkata, “Tidak, kalian tidak menghendaki diriku, menjadi wazir bagi kalian lebih aku sukai daripada menjadi amir”. Mereka berkata, “Tidak demi Allah kami tidak tahu ada orang yang lebih berhak daripada dirimu”. Ali berkata, “Jika kalian tetap bersikeras, maka bai’atku tidak boleh menjadi bai’at yang rahasia. Akan tetapi aku akan ke mesjid, barangsiapa ingin membai’atku maka silahkan ia membai’atku”. Ali pun pergi ke mesjid dan orang-orang pun membai’at beliau”.[2]
Andaikata mereka berdalil dengan perkara Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam pada Bai’at Aqobah (secara rahasia), maka mereka telah salah dalam hal ini. Sebab bai’at tersebut merupakan kekhususan bagi beliau shallallahu’alaihi wasallam sebagaimana dipahami dari isi bai’at tersebut. [3] Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda pada Bai’at Aqabah:
تُبَايِعُونِي عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي النَّشَاطِ وَالْكَسَلِ وَعَلَى النَّفَقَةِ فِي الْعُسْرِ وَالْيُسْرِ وَعَلَى الْأَمْرِ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيِ عَنْ الْمُنْكَرِ وَعَلَى أَنْ تَقُولُوا فِي اللَّهِ لَا تَأْخُذُكُمْ فِيهِ لَوْمَةُ لَائِمٍ وَعَلَى أَنْ تَنْصُرُونِي إِذَا قَدِمْتُ يَثْرِبَ فَتَمْنَعُونِي مِمَّا تَمْنَعُونَ مِنْهُ أَنْفُسَكُمْ وَأَزْوَاجَكُمْ وَأَبْنَاءَكُمْ وَلَكُمْ الْجَنَّةُ
“Kalian berbaiat kepadaku untuk mendengar dan taat baik dalam keadaan semangat maupun malas, dan berinfak baik dalam keadaan lapang maupun sempit. Untuk beramar ma'ruf dan nahi munkar. Kalian berkata karena Allah, untuk tidak takut karena Allah terhadap orang yang mencela. Kalian menolongku jika saya datang ke Yatsrib, melindungiku sebagaimana kalian melindungi diri, istri dan anak-anak kalian, dan kalian akan mendapatkan surga”.[4]
Perlu diperhatikan juga, bahwa baiat tersebut diberikan kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam sedang beliau adalah orang yang dipersiapkan oleh Rabb semesta alam untuk menjadi amir bagi orang-orang mukmin. Siapakah di jaman sekarang ini orang yang mengaku seperti beliau di dalam persiapan Allah Subhanahu wa Ta'ala ?!!!.
Bahkan Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam sendiri telah memerintahkan kepada umatnya agar menjauhi gerakan-gerakan rahasia, dan memerintah mereka agar tetap sabar dalam mentaati para penguasa.
Imam Ath-Thahawi dalam Musykilul Atsar (6/152) no. 2230 meriwayatkan,
بَابٌ بَيَانُ مُشْكِلِ مَا رُوِيَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ أَمْرِهِ بِالْعَلَانِيَةِ وَتَحْذِيرِهِ مِنْ السِّرِّ : حَدَّثَنَا إبْرَاهِيمُ بْنُ أَبِي دَاوُد قَالَ ثنا مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ قَالَ ثنا سَعِيدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْجُمَحِيُّ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ : جَاءَ رَجُلٌ إلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَوْصِنِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ] اعبد الله و[ لَا تُشْرِكُ بِاَللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ شَيْئًا وَتُقِيمُ الصَّلَاةَ وَتُؤْتِي الزَّكَاةَ وَتَحُجُّ وَتَعْتَمِرُ وَتَسْمَعُ وَتُطِيعُ وَعَلَيْك بِالْعَلَانِيَةِ وَإِيَّاكَ وَالسِّرَّ.
Bab penjelasan tentang persoalan apa yang diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam mengenai perintah beliau agar melazimi keterbukaan dan peringatan beliau dari bahaya ketertutupan: Menceritakan kepada kami Ibrahim bin Abu Dawud beliau berkata: menceritakan kepada kami Muhammad ibn Ash-Shabah, menceritakan kepada kami Sa’id ibn Abdurahman Al-Jamhi dari Ubaidullah bin Umar dari Nafi dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhu yang berkata: Datang seorang laki-laki kepada Nabi shallallahu’alaihi wasallam dan berkata: “Ya Rasulullah nasihati saya”. Beliau shallallahu’alaihi wasallam bersabda: "Beribadahlah kepada Allah dan jangan menyekutukan-Nya Azza wa Jalla dengan sesuatupun, dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat, dan puasalah dibulan ramadhan, hajilah ke Baitullah dan umrohlah. Dengar dan taatlah (kepada pemerintah), lazimilah keterbukaan, dan waspadailah sirriyah (ketertutupan/ kerahasiaan)".[5]

[1] Dan telah meriwayatkan pula Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf (8/572/4), semisal ini.
[2] Atsar ini dikeluarkan juga oleh Abu Bakar Al-Khalal dalam As-Sunnah no. 629 dan no. 630, kemudian aku melihat bahwa Al-Ajuri mengeluarkannya juga dalam Asy-Syari’ah no. 1194. Isnad atsar ini hasan, karena Abdul Malik bin Abi Sulaiman shaduq, telah ditsiqahkan oleh lebih dari satu orang.
[3] Lihat Al-Bai’atu Baianas Sunnati wal Bid’ati Indal Jama’atil Islamiyah, Syaikh Ali Hasan Al-Halabi حفظه الله.
[4] Ahmad (3/322) no. 14496.
[5] Hadits ini diriwayatkan pula oleh Ibn Abi Ashim dalam Kitabus Sunnah (no 887) tambahan dalam kurung darinya. Hadits ini dikuatkan oleh Imam Al-Albani dalam Zhilal Al-Jannah (no. 1070), beliau berkata: “Isnadnya jayyid”. Hadits ini diriwayatkan juga oleh Al-Hakim dalam Al-Mustadrak no. 165, beliau berkata, “Shahih dengan syarat Bukhori dan Muslim”, dan disetujui adz-Dzahabi, lalu diriwayatkan juga oleh Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman (no. 3975), semuanya dari jalan Muhammad bin Sabah. Dan Al-Hasan juga meriwayatkan hadits ini secara mauquf pada Umar.

1 komentar:

  1. mas, kenapa sih LDII aja yang dijelek2in/dirintangi/dihalang2i? dari tulisan mas, terlilhat sepertinya ada dendam pribadi antara mas dengan oknum/organisasi LDII… seharusnya sebagai seorang muslim yang baik, jangan ngurusin agama orang lain, seharusnya yang mas urusin tuh orang2 yang ngaku2 Islam tapi cuma di KTP aja,,,,maksiat, korupsi jalan terus… perbaiki tuh keimanan orang2 itu,,,,
    LAgian, emang salah apa dengan ilmu manqul??? menurut saya ilmu mangqul bagus, agar umat ISLAM terhindar dari keislaman yang sesat, coba bayangin kalo gak mangqul, tuh QUR’AN di tafsirin beda2 antara satu kyai dengan kyai lain,,,, coba aja liat di TV kalo Romadhon, antara ust satu dengan yang lain beda2 nafsirin Qur’an, ada yang bilang, jilbab gak wajib, cuma budaya arab aja, ada yang bilang wajib,,, nah loh!
    Pantesan kan di Indonesia TERORIS tumbuh subur,,, ya karena itu tadi, mereka gak mangkul, jadi terserah ustadnya mau nafsirin apa aja,,, ada yang bilang jihad itu untuk dirikan negara Islam, ada yang bilang jihad itu gak tentu perang, bisa juga pakai ilmu,,,, bingung kan???
    kalo di LDII kan mangkul, jadi jelas, dan gak ada tuh pengikut LDII yang terlibat TERORISME!
    Kalo tenaga dan pikiran mas cuma abis buat ngurusin/jelek2in orang LDII doang, catat kata saya, paling banter gak sampai cicit mas, mereka udah gak kenal ISLAM lagi, atau bisa jadi udah jadi teroris! itu karena energi mas dibuang2 untuk ngurusin LDII dan mas gak mangkul, jadi bingung deh!

    BalasHapus