Senin, 02 Januari 2012

BANTAHAN ILMIYAH UNTUK ISLAM JAMA'AH (LDII) SERI 2


Terbuktilah Bukan Thaifah Manshuroh (11)
Kesebelas,
Di rahasiakannya gerakan dakwah mereka itu, justru semakin menegaskan bahwa klaim jama’ah mereka sebagai Thaifah manshuroh adalah tidak benar. Sebabnya Thaifah manshuroh yang sesungguhnya itu tidak merahasiakan manhajnya, bahkan manhaj mereka jelas dan dikenal sebagaimana dalam hadits.
Imam Muslim (3/1523) no. 1920:
حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ وَأَبُو الرَّبِيعِ الْعَتَكِيُّ وَقُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ قَالُوا حَدَّثَنَا حَمَّادٌ وَهُوَ ابْنُ زَيْدٍ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ عَنْ أَبِي أَسْمَاءَ عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِينَ عَلَى الْحَقِّ لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللَّهِ وَهُمْ كَذَلِكَ
Menceritakan kepada kami Sa’id bin Manshur dan Abu Rabi’i Al-Ataki dan Qutaibah bin Sa’id, mereka berkata: menceritakan kepada kami Hamad dia ini Ibn Zaid dari Ayub dari Abu Qilabah dari Abi Asma dari Tsauban yang berkata, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Tidak henti-henti Thoifah [1] dari umatku dalam keadaan dhohir diatas kebenaran, tidak membahayakan [2] orang yang melecehkan mereka sehingga datang perkaranya Allah dan mereka dalam keadaan demikian”.[3]
Al-Hafizh Ibn Hajar berkata dalam Fathul Baari Syarah Shahih Bukhari (20/ 369) tentang makna dhohir:
أَيْ عَلَى مَنْ خَالَفَهُمْ أَيْ غَالِبُونَ ، أَوْ الْمُرَاد بِالظُّهُورِ أَنَّهُمْ غَيْر مُسْتَتِرِينَ بَلْ مَشْهُورُونَ  
“Yaitu atas orang yang menyelisihi mereka, mereka menang, atau yang dimaksud dengan dhohir, sesungguhnya mereka tidak bersembunyi-sembunyi bahkan mereka dikenal”.
Yang mana pun makna dhohir ini, tetap saja menunjukan bahwa ath-Thaifah Manshurah tidak merahasiakan manhaj dan aqidah, sebab bagaimana mungkin mereka disebut menang kalau mereka sembunyi?!.
Kemudian aku mengetahui pendapat para ulama tentang hal ini, bahwa Ahli Hadits lah yang layak disebut sebagai Thaifah Manshuroh bukan selainnya, sebab mereka ini adalah kelompok yang paling mengetahui sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan orang-orang yang paling antusias dalam mengamalkannya.[4] Kisah mereka tidak tersembunyi, aqidah mereka jelas, dikenal lagi lantang, pendapat-pendapatnya dikutip, dan kitab-kitab mereka diakui.
Imam Al-Khatib Al-Baghdadi meriwayatkan dalam kitabnya Syarafu Ashaab Al-Hadits dengan sanadnya sampai kepada Imam Abu Isa at-Tirmidzi (w. 279 H) yang berkata, Muhammad ibn Ismail (yaitu Imam Bukhari w. 256 H) berkata, Ali ibn Madini (w. 234 H) berkata tentang hadits Thaifah Manshuroh,
هُمْ أَصْحَابُ الْحَدِيثِ
“Mereka adalah ahli hadits”. [5]
Demikian pula yang dikatakan oleh Abdullah ibn Mubarak (w. 181 H)[6], Ahmad ibn Hambal (w. 241 H) [7], Ibn Qutaibah (w. 276 H)[8] , Ibn Hibban (w. 354 H) [9], dan lain-lain.
Imam Tirmidzi (w. 279 H) dalam Sunan setelah menyebutkan hadits (no. 2167) berkata, “Dan tafsiran al-jama’ah menurut para ulama adalah ahli fikh, ahli ilmu dan ahli hadits…”.



[1] Thoifah bisa bermakna satu orang, sebagaimana kata Imam Bukhori dalam Shahihnya Kitab Akhabaril Ahad, Bab Ma Ja’a Fi Ijaroh Khabarul Wahid… (13/231 -Fath):
وَيُسَمَّى الرَّجُلُ طَائِفَةً لِقَوْلِهِ تَعَالَى ( وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا ) . فَلَوِ اقْتَتَلَ رَجُلاَنِ دَخَلَ فِى مَعْنَى الآيَةِ
“Dan seorang dapat dipanggil Thoifah, sesuai dengan firman Ta’ala: “Dan jika ada dua golongan (Thoifah) dari orang-orang mukmin”. Sekiranya ada dua orang yang saling bunuh, maka keduanya termasuk dalam kandungan ayat tersebut”.
Ibn Hajar kemudian berkata (Al-Fath (13/231)):
أَنَّ لَفْظَ طَائِفَةٍ يَتَنَاوَلُ الْوَاحِدَ فَمَا فَوْقَهُ وَلَا يَخْتَصُّ بِعَدَدٍ مُعَيَّنٍ وَهُوَ مَنْقُولٌ عَنِ بن عَبَّاسٍ وَغَيْرِهِ كَالنَّخَعِيِّ وَمُجَاهِدٍ نَقَلَهُ الثَّعْلَبِيُّ وَغَيْرُهُ
“Sesungguhnya lafazh Thoifah berarti satu orang atau lebih, tidak dibatasi oleh bilangan tertentu. Pendapat ini dinukil (dimangkul) dari Ibn Abbas dan lainnya, seperti An-Nakha’i, Mujahid, sebagaimana dinukil oleh Ats-Tsa’labi dan selainnya”.
Lihat juga perkataan Ibn Atsir dalam An-Nihayah fi Gharibul Atsar (3/336), semakna dengan ini.
[2] Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syintiqhi berkata,
وَقَدْ حَقَّقَ الْعُلَمَاءُ أَنَّ غَلَبَةَ الْأَنْبِيَاءِ عَلَى قِسْمَيْنِ: غَلَبَةٌ بِالْحُجَّةِ وَالْبَيَانِ، وَهِيَ ثَابِتَةٌ لِجَمِيعِهِمْ، وَغَلَبَةٌ بِالسَّيْفِ وَالسِّنَانِ، وَهِيَ ثَابِتَةٌ لِخُصُوصِ الَّذِينَ أُمِرُوا مِنْهُمْ بِالْقِتَالِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
“Dan para ulama telah menyatakan bahwa kemenangan para Nabi ada dua macam: Pertama, menang dengan hujjah dan bayan (penjelasan) dan ini ditetapkan bagi seluruh Nabi, (dan kedua), menang dengan pedang dan tombak, dan ini hanya dikhususkan bagi orang-orang yang mereka memang diperintahkan berperang dijalan Allah”. Lihat Tafsir Adhwaa Al-Bayan (1/353).
[3] Dikeluarkan juga oleh Tirmidzi (4/504) no. 2229, Ibn Majah (1/5) no. 10 dan lainnya. Telah dikeluarkan riwayat semisal dari Mughirah ibn Syu’bah, Mu’awiyah, Jabir, Imran ibn Husein, Qurrah ibn Iyas Al-Muzani, Jabir ibn Samurah, Sa’ad ibn Abi Waqash dan lain-lain sehingga mutawatir sebagaimana kata Ibn Taimiyyah dalam Iqtidha as-Shiraath al-Mustaqim.
[4] Imam Abu Muhammad bin Qutaibah dalam kitabnya Ta’wil Mukhtalafil Hadits pada Pasal Dikr Ashabul Hadits (1/127 –cet Maktab Al-Islami):
ثُمَّ لَمْ يَزَالُوا فِي التَّنْقِيرِ عَنِ الْأَخْبَارِ وَالْبَحْثِ لَهَا، حَتَّى فَهِمُوا صَحِيحَهَا وَسَقِيمَهَا، وَنَاسِخَهَا وَمَنْسُوخَهَا، وَعَرَفُوا مَنْ خَالَفَهَا مِنَ الْفُقَهَاءِ إِلَى الرَّأْيِ. فَنَبَهُوا عَلَى ذَلِكَ حَتَّى نَجَمَ الْحَقُّ بَعْدَ أَنْ كَانَ عَافِيًا، وَبَسَقَ بَعْدَ أَنْ كَانَ دَارِسًا، وَاجْتَمَعَ بَعْدَ أَنْ كَانَ مُتَفَرِّقًا، وَانْقَادَ لِلسُّنَنِ مَنْ كَانَ عَنْهَا مُعْرِضًا، وَتَنَبَّهَ عَلَيْهَا مَنْ كَانَ عَنْهَا غَافِلًا، وَحُكِمَ بِقَوْلِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ أَنْ كَانَ يُحْكَمُ بِقَوْلِ فُلَانٍ وَفُلَانٍ وَإِنْ كَانَ فِيهِ خِلَافٌ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
Kemudian mereka (Ahli Hadits) terus membahas dan menyaring riwayat-riwayat tersebut sampai mereka paham, mana yang shahih dan mana yang lemah, yang nasikh dan yang mansukh, dan mereka mengetahui siapa saja dari kalangan fuqaha’ yang menyelisihi berita-berita tersebut karena ra’yu-nya, lalu memperingatkan mereka. Dengan demikian, kebenaran yang tadinya redup kembali bercahaya, yang tadinya kusam menjadi cerah, yang tadinya bercerai berai menjadi terkumpul. Demikian pula orang-orang yang tadinya menjauh dari sunnah, menjadi terikat dengannya, yang tadinya lalai menjadi ingat kembali kepadanya, dan yang dulunya berhukum dengan ucapan si fulan dan si fulan walaupun terbukti menyelisihi Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam menjadi berhukum dengan sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam....”
Imam Al-Hakim dalam Muqadimah Ma’rifatu Ulumul Hadits (hal 3 –cet Darul Kutub Ilmiyah) berkata:
وَلَقَدْ صَدَقَا جَمِيعًا أَنَّ أَصْحَابَ الْحَدِيثِ خَيْرُ النَّاسِ، وَكَيْفَ لَا يَكُونُونَ كَذَلِكَ، وَقَدْ نَبَذُوا الدُّنْيَا بِأَسْرِهَا وَرَاءَهُمْ، وَجَعَلُوا غِذَاءَهُمُ الْكِتَابَةَ وَسَمَرَهُمُ الْمُعَارَضَةَ وَاسْتِرْوَاحَهُمُ الْمُذَاكَرَةَ
“Dan sungguh semuanya benar, sebab memang Ashabul Hadits adalah sebaik-baiknya manusia. Bagaimana tidak demikian? Mereka telah mengorbankan dunia seluruhnya di belakang mereka. Kemudian menjadikan penulisan sebagai makanan mereka, penelitian sebagai hidangan mereka, mengulang-ulangnya kembali sebagai istirahat mereka…”
[5] Al-Khatib Al-Baghdadi dalam Syarafu Ashaab Al-Hadits (1/27 – cet Darul Ihyaus Sunnah)
[6] Idem (1/26).
[7] Idem (1/27).
[8] Ta’wil Mukhtalaful Hadits 51
[9] Dalam Shahih (1/14 – al-ihsan)

Berlebihan Dalam Masalah Imammah (12)
Keduabelas,
Jama’ahnya Haji Nur Hasan telah berlebihan dalam meletakan masalah imammah (keimaman) sehingga sampai meletakan masalah ini diatas rukun Islam yang lima, bahkan sebagai syarat diterimanya rukun Islam yang lima dan semua amalnya, bahkan orang Islam yang tidak melakukan syirik sekalipun kalau tidak membai’at imam (lebih khusus lagi imam mereka) maka semua amalnya itu tidak akan diterima, bai’at kepada imam dianggap sebagai pengesah keislaman seseorang dan menghalalkan hidupnya, seakan-akan dengan inilah Islam itu dibangun dan karena inilah Islam itu disebarkan. 
Ini tentu saja pemahaman yang batil, sebab syahadatlah yang menjadi pen-sah keislaman seseorang bukan bai’at menurut ijma kaum muslimin.
Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”. (Adh-Dhariyat 56).
Manusia diciptakan Alloh untuk mentauhidkan-Nya bukan untuk mentauhidkan keimaman Haji Nur Hasan.
Dan Allah Ta’ala Berfirman :
إِنَّ اللَّهَ لا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya (An-Nissa 48).
Dan masalah tidak membai’at imam bukan syirik menurut ijma kaum muslimin.
Bahkan menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah[1] rahimahullahu (w. 728 H/ 1328 M) dalam Minhajus Sunnah An-Nabawiyyah (I/75 – Tahqiq Dr. Muhammad Rasyid Salim), itiqad yang demikian dianggap kekufuran, beliau berkata,
إِنَّ قَوْلَ الْقَائِلِ: )إِنَّ مَسْأَلَةَ الْإِمَامَةِ أَهَمُّ الْمَطَالِبِ فِي أَحْكَامِ الدِّينِ، وَأَشْرَفُ مَسَائِلِ الْمُسْلِمِينَ(. كَذِبٌ بِإِجْمَاعِ الْمُسْلِمِينَ سُنِّيِّهِمْ، وَشِيعِيِّهِمْ، بَلْ هَذَ كُفْرٌ. فَإِنَّ الْإِيمَانَ بِاللَّهِ، وَرَسُولِهِ أَهَمُّ مِنْ مَسْأَلَةِ الْإِمَامَةِ، وَهَذَا مَعْلُومٌ بِالِاضْطِرَارِ مِنْ دِينِ الْإِسْلَامِ، فَالْكَافِرُ لَا يَصِيرُ مُؤْمِنًا حَتَّى يَشْهَدَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ، وَهَذَا هُوَ الَّذِي قَاتَلَ عَلَيْهِ الرَّسُولُ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - الْكُفَّارَ أَوَّلًا
“Sesungguhnya yang berpendapat, (bahwa masalah ‘Imammah’ merupakan tuntutan yang paling urgen di dalam hukum Islam dan merupakan masalah kaum muslimin yang paling mulia) adalah dusta belaka berdasarkan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin, baik dari kalangan Ahlus Sunnah maupun kalangan Syi’ah (yakni Syi’ah yang awal –pen). Bahkan pendapat seperti itu adalah sebuah kekufuran. Sebab masalah iman kepada Allah dan Rasul-Nya lebih penting daripada masalah ’Imammah’. Hal itu sudah sangat dimaklumi di dalam dinul Islam. Seorang kafir tidak akan menjadi seorang mukmin hingga ia bersyahadat Laa Ilaaha Illallaahu wa Anna Muhammadan Rasulullah. Atas dasar itulah Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam memerangi kaum kafir yang awal.”
Yang benar, masalah keimaman itu adalah fardhu kifayah, tidak termasuk usuluddin, dan tidak pula untuk menghalalkan hidup seseorang. Imam Al-Mawardzi dalam Ahkam Al-Sultaniyah (1/4) berkata:
فَإِذَا ثَبَتَ وُجُوبُ الْإِمَامَةِ فَفَرْضُهَا عَلَى الْكِفَايَةِ كَالْجِهَادِ وَطَلَبِ  الْعِلْمِ
“Apabila telah pasti kewajiban adanya sebuah imammah, maka hukumnya menjadi fardhu kifayah, sebagaimana hukum jihad dan menuntut ilmu”.
Lebih jauh lagi, jama’ah Nur Hasan Ubaidah telah mencoba memasukan keimaman kedalam rukun Islam  yang lima dengan sedikit permainan kata-kata, mereka biasa berkata, “Rukum Islam itu adalah lima -Syahadat, shalat, zakat, puasa dan haji bagi yang mampu- kemudian diteruskan dengan beramir, berbai’at, dan taat”.
Padahal sahabat Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam saja tidak seberani mereka dalam masalah ini, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad (2/26) no. 4798 :
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ سَالِمِ بْنِ أَبِى الْجَعْدِ عَنْ يَزِيدَ بْنِ بِشْرٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ « بُنِىَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إلاَّ اللَّهُ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَحَجِّ الْبَيْتِ وَصَوْمِ رَمَضَانَ ». قَالَ فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ وَالْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ ابْنُ عُمَرَ الْجِهَادُ حَسَنٌ هَكَذَا حَدَّثَنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم
Menceritakan kepada kami Waqi dari Sufyan dari Manshur dari Salim bin Abi Al-Ja’di dari Yazid bin Bisyr dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhu yang berkata, ‘Islam didirikan atas lima dasar, yaitu: Syahadat bahwasanya tiada yang berhak diibadahi selain Allah (dan Muhammad Rasulullah); Mendirikan shalat; Mengeluarkan zakat; Melaksanakan haji ke Baitullah; Serta melakukan puasa pada bulan Ramadhan”. Kemudian seorang laki-laki berkata kepada Ibn Umar, “Dan jihad fi sabilillah”. Ibn Umar menjawab, “(Ya) Jihad itu memang baik akan tetapi beginilah yang disabdakan Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam kepada kami”.[2]
Lihatlah seorang sahabatpun sangat hati-hati dalam masalah ini. Mereka tidak berani memasukan sedikitpun anggapan baik mereka kedalam syari’at yang telah disebutkan Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam kepada mereka.



[1] Beliau adalah Taqiyuddin Abu Al-Abbas Ahmad bin Abdul Halim bin Taimiyah. Syaikhul Islam yang terkenal. Diantara murid beliau adalah Al-Hafizh Ibnu Katsir, Imam Adz-Dzahabi, Imam Ibnu Qayyim dan lainnya.
[2] Hadits ini rijalnya tsiqah selain Yazid bin Bisyr, dia ini majhul sebagaimana kata Abu Hatim, akan tetapi Ibn HIbban memasukannya dalam Ats-Tsiqah. Penguat baginya adalah hadits Ibn Umar dalam Bukhori no. 4153, dan dari jalan lain dalam Ahmad (2/93).

Benarkan Para Ulama Darul Hadits Seperti Mereka? (13)

Ketigabelas,
Tidak benar jika pemahaman jama’ah Nur Hasan diatas dinisbatkan kepada ulama Mekkah dan Madinah sebagaimana pembenaran yang sering dilakukan oleh jama’ahnya Haji Nur Hasan Ubaidah. Bahkan para ulama tidak mungkin berpemahaman seperti diatas karena sangat jelas kebatilannya.
Imam Masjidil Harom, murid Syaikh Abdul Dhohir Abu Samah yaitu Syaikh Abdullah Khayath rahimahullahu [1]  dalam kitabnya Dalil Al-Muslim fi Al-I’tiqad wa Ath-Thathahir berkata:
التوحيد يسبب السعادة و يُكفّر الذنوب  :المرء بحكم بشريته و عدم عصمته قد تنزلق قدمه، و يقع في معصية الله ، فإذا كان من أهل التوحيد الخالص من شوائب الشرك فإن توحيده لله ، و إخلاصه في قول لا إله إلا الله يكون أكبر عامل في سعادته و تكفير ذنوبه و محو سيئاته ، كما جاء في الحديث عن رسول الله صلى الله عليه و سلم : "من شهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له ، و أن محمدا عبده و رسوله ، و أن عيسى عبد الله و رسوله و كلمته القاها إلى مريم و روح منه و الجنة حقّ و النار حقّ ، أدخله الله الجنة على ما كان من العمل" (رواه البخاري و مسلم)
“Tauhid menjadi sebab seseorang masuk surga dan dilebur dosa-dosanya. Manusia, karena sifat-sifat kemanusiaannya dan karena memang dirinya tidak maksum, suatu ketika pasti akan terpeleset dan terjerumus melakukan kemaksiatan. Jika dia seorang yang benar-benar mentauhidkan Allah, murni dan bebas dari kotoran syirik, maka ketauhidan dan keikhlasannya dalam mengucap ‘lailahailallah’ itu akan menjadi sebab dileburnya dosa-dosa dan kemaksiatannya itu. Hal itu dijelaskan dalam sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, “Barangsiapa bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak disembah kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, juga bersaksi bahwa Isa adalah hamba dan utusan-Nya dan kalimat-Nya yang disampaikan kepada Maryam, serta ruh dari-Nya, dan bersaksi bahwa surga adalah benar adanya, neraka juga benar adanya, maka pasti Allah akan memasukannya ke dalam surga apapun amalan yang dilakukannya”. (Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim)”.
Dinukil oleh Mudaris di Darul Hadits Mekkah yaitu Syaikh Muhammad ibn Jamil ibn Jainu v [2], dalam kitabnya Minhajul Firqatun Najiyah wa Thaifah Manshurah.
sampul kitab Miftahul Jannah

Syaikh Muhammad Sulthan Al-Ma’shumi rahimahullahu adalah pengajar di Darul Hadits Mekkah sejak sekitar tahun 1353 H (1934 H) sampai meninggalnya tahun 1379 H (1959 M). Jika H. Nur Hasan Al-Ubaidah mengaku pernah belajar sebelum tahun 1941 M di Darul Hadits maka bisa jadi pernah belajar kepada Syaikh Al-Ma’shumi ini. Biografi singkat Al-Ma’shumi rahimahullahu disebutkan oleh Syaikh Ali Hasan Al-Halabi حفظه الله dalam muqadimah tahqiq beliau atas kitab Syaikh Al-Ma’shumi rahimahullahu yang berjudul “Miftahul Jannah: Lailahailallah” (“Kunci Surga: lailaha-ilallah”). Dalam kitab ini (hal. 38). Syaikh Muhammad Sulthan Al-Ma’shumi rahimahullahu pun menulis, “Ketahuilah sesungguhnya Lailahailallah adalah kalimat yang membedakan antara kafir dan islam, itulah kalimat takwa … yang dikehendaki bukanlah ucapan dalam lisan saja tapi bodoh dalam maknanya. (kalau hanya lisan) orang munafik pun mengatakannya juga”.
Jadi menurut Syaikh-Syaikh Di Masjidil Harom dan Darul Hadits, tauhidlah yang menjadi kunci-kunci surga, bukan imamah. Ini tentu bertentangan dengan aqidahnya Haji Nur Hasan dan pengikutnya yang menyatakan bahkan belum sah Islamnya atau tidak akan masuk surga jika seseorang belum berbai’at kepada imamnya. Padahal telah ma’ruf bahwa Nur Hasan Al-Ubaidah mengaku belajar di Darul Hadits dan Masjidil Harom.[3] Anehnya tidak diketahui Al-Ubaidah mendakwahkan atau mengajar tauhid secara mendalam dengan keterangan makna-maknanya sebagaimana para syaikh di Darul Hadits. Justru malah menyeru kepada imamah dan bai’at kepada dirinya.



[1] Beliau adalah Abdullah bin Abdul Ghani Khayath. Salah seorang murid Syaikh Abdul Dhahir Abu Samah, juga pengajar dan imam di Masjidil Harom dan Darul Hadits. Bapak dari Syaikh Usamah Khoyath Imam Masjidil Harom yang sekarang. Wafat tahun 1415 H (1994 M).
[2] Ahli hadits dan penulis yang membekas dihati, Pengajar di Darul Hadits Mekkah, dan salah seorang murid dari Syaikh Muhammad Nasiruddin Al-Albani. Syaikh Jamil wafat tahun 1431 H (2010 M) di Mekkah.
[3] Dalam buku Bahaya Islam Jama’ah hal. 85 disebutkan, “Nur Hasan menyebut ia telah belajar Al-Qur’an dan Hadits di Saudi Arabia selama 18 tahun. Tapi H. Khoiri yang antara tahun 1930-1940 bermukim di Mekkah bilang Cuma 5 tahun saja. H. Khoiri tahu persis soal itu. Karena tahun 1935 pada saat Nur Hasan tiba, Khoiri menjadi ketua Rukbat Nahsyabandi, sebuah asrama pemukim di Saudi Arabia. Harap maklum, Rukbat ini tidak ada hubungannya dengan Tharekat Nahsyabandi. Nur Hasan langsung tinggal di asrama itu, lantaran H. Mahfudl, kakak kandungnya sudah lebih dulu tinggal disana”.
Tapi menurut Makalah CAI –makalah resmi dalam jama’ah ini- disebutkan bahwa Nur Hasan belajar kurang lebih 10 tahun sejak tahun 1929.

La Yahilu (14 - 1)


وَلَا يَحِلُّ لِثَلَاثَةِ نَفَرٍ
Hadits pertama,
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad (2/176) no. 6647,
حَدَّثَنَا حَسَنٌ حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعَةَ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ هُبَيْرَةَ عَنْ أَبِي سَالِمٍ الْجَيْشَانِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍوأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَحِلُّ أَنْ يَنْكِحَ الْمَرْأَةَ بِطَلَاقِ أُخْرَى وَلَا يَحِلُّ لِرَجُلٍ أَنْ يَبِيعَ عَلَى بَيْعِ صَاحِبِهِ حَتَّى يَذَرَهُ وَلَا يَحِلُّ لِثَلَاثَةِ نَفَرٍ يَكُونُونَ بِأَرْضِ فَلَاةٍ إِلَّا أَمَّرُوا عَلَيْهِمْ أَحَدَهُمْ وَلَا يَحِلُّ لِثَلَاثَةِ نَفَرٍ يَكُونُونَ بِأَرْضِ فَلَاةٍ يَتَنَاجَى اثْنَانِ دُونَ صَاحِبِهِمَا
Menceritakan kepada kami Hasan, menceritakan kepada kami Ibn Lahi’ah, beliau berkata, menceritakan kepada kami Abdullah ibn Hubairah dari Abi Salam al-Jaitsani dari Abdullah bin Amr sesungguhnya Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda, “Tidak halal menikahi seorang perempuan dengan mencerai perempuan yang lain, dan tidak halal bagi seorang laki-laki menjual atas dagangan temannya sehingga temannya meninggalkan dagangan itu, dan tidak halal bagi tiga orang yang berada di tanah padang tidak bertuan, kecuali mereka mengangkat salah satunya jadi amir atas mereka, dan tidak halal bagi tiga orang yang berada di suatu tempat, yang dua berbisik-bisik meninggalkan temannya (yang satu diacuhkan)”.
Dari segi sanad, hadits ini dhaif karena Ibn Lahi’ah. Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Al-Hadits Adh-Dhai’fah jilid 2 no. 589 mendhaifkannya. Imam Tirmidzi dalam Sunan (1/16) no. 10, setelah meriwayatkan salah satu hadits Ibn Lahi’ah mengatakan,  “…dan Ibn Lahi’ah ini dha’if disisi ahli hadits”. Para ulama yang mengutip hadits ini menyebutkannya hanya sebagai penguat saja bukan menjadikannya pedoman pokok sebagaimana Jama’ahnya Bapak Nur Hasan.
Dari segi makna, andaikata shahih sekalipun, tidak bisa hadits ini dijadikan dalil untuk mengkafirkan mereka yang dianggap tidak mengangkat amir. Kalau kita memperhatikan keseluruhan matan hadits tersebut. Orang yang menikahi seorang perempuan dengan mencerai perempuan yang lain, seorang laki-laki menjual atas dagangan temannya, dan tiga orang yang berada di suatu tempat, yang dua berbisik-bisik meninggalkan yang satunya. Bukankah, tidak ada yang berpendapat kekafiran orang-orang yang melakukan dosa-dosa demikian?!. Padahal semuanya diawali oleh kata “La yahilu…”.
lihat selanjutnya (2) (3) (4)

 

La Islama ... (14 - 2)



...ِنَّهُ لاَ إِسْلاَمَ إِلاَّ
Atsar kedua,
Atsar itu diriwayatkan oleh Imam Ad-Darimi dalam Sunan (no. 251):
أَخْبَرَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ أَخْبَرَنَا بَقِيَّةُ حَدَّثَنِى صَفْوَانُ بْنُ رُسْتُمَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ مَيْسَرَةَ عَنْ تَمِيمٍ الدَّارِىِّ قَالَ : تَطَاوَلَ النَّاسُ فِى الْبِنَاءِ فِى زَمَنِ عُمَرَ ، فَقَالَ عُمَرُ : يَا مَعْشَرَ الْعُرَيْب الأَرْضَ الأَرْضَ، إِنَّهُ لاَ إِسْلاَمَ إِلاَّ بِجَمَاعَةٍ ، وَلاَ جَمَاعَةَ إِلاَّ بِإِمَارَةٍ ، وَلاَ إِمَارَةَ إِلاَّ بِطَاعَةٍ ، فَمَنْ سَوَّدَهُ قَوْمُهُ عَلَى الْفَقْهِ كَانَ حَيَاةً لَهُ وَلَهُمْ ، وَمَنْ سَوَّدَهُ قَوْمُهُ عَلَى غَيْرِ فِقْهٍ كَانَ هَلاَكاً لَهُ وَلَهُمْ
Mengabarkan kepada kami Yazid ibn Harun, mengabarkan kepada kami Baqiyah, menceritakan kepada kami Sofwan ibn Rustum dari Abdurahman ibn Maisaroh dari Tamim Ad-Dari yang berkata, “Sebagian manusia bersikap berlebihan dalam membangun di zaman Umar, berkata Umar, "Hai orang-orang Arab, tanah !, tanah!. Sesungguhnya tidak ada Islam kecuali dengan berjama'ah, dan tidak ada jama'ah kecuali dengan adanya keamiran dan tidak ada keamiran kecuali dengan taat. Barangsiapa yang dijadikan pemimpin oleh kaumnya karena ilmunya/pemahamannya maka akan menjadi kehidupan bagi dirinya sendiri dan juga bagi mereka, dan barangsiapa yang dijadikan pemimpin oleh kaumnya tanpa memiliki ilmu/pemahaman, maka akan menjadi kebinasaan bagi dirinya dan juga bagi mereka".
Dari segi sanad, atsar ini dha’if, tidak shahih dari Umar. Diriwayatkan oleh Imam Ad-Darimi di dalam Sunan-nya (I/79) no. 251 dan Ibn Abdil Barr dalam Jamiul Bayan al-Ilmu no. 244. Kelemahannya karena adanya perowi bernama Shafwan ibn Rustum. Imam Dzahabi v dalam Mizan al-I’tidal (jilid 3 biografi no. 3902 -cet Darul Kutub Al-Ilmiyah) mengatakan, "Shofwan ibn Rustum (meriwayatkan) dari Ruh ibn Al-Qasim, dia tidak dikenal (majhul). Berkata Al-Azdi, “Munkarul hadits”. Kelemahannya bertambah-tambah dengan keterputusan antara Abdurahman bin Maisaroh dan Tamim, dimana Abdurahman sebenarnya tidak pernah bertemu Tamim, disamping Baqiyah juga seorang mudalis. Memang ada beberapa ulama yang menghasankan hadits ini karena ada penguat dari perkataan Abu Darda[1], akan tetapi yang rajih adalah kedhaifannya.
Dari segi makna, andaikata shahih, ada perbedaan antara mereka dengan ulama ahlus sunnah dalam memahami atsar ini. Perkataan ‘la Islama’ bukan berarti belum sah Islamnya (belum Islam). Melainkan dalam arti kesempurnaan, tidak sempurna Islamnya orang yang tidak mengikuti jama’ah. Sebagaimana disampaikan oleh pengajar di Masjidil Harom, Syaikh Sholih Al-Abud حفظه الله.[2] Kemudian, para ulama yang menggunakan atsar Umar itu, tidaklah memaksudkannya untuk jama’ah-jama’ah hizbiyyah sirriyyah model mereka. Bahkan justru para Ulama menggunakan atsar itu untuk menyerang firqah-firqah seperti mereka yang keluar dari penguasa muslim dan jama’ah kaum muslimin.
Sebagaimana yang nampak dari perkataan Syaikh Ibnu Barjas [3] yang mengutip atsar ini secara makna dalam sebuah kitab yang sebenarnya dikutip juga oleh mereka dalam Kitab Muktashor Jama’ah wal Imammah, hanya saja mereka tidak menyampaikan dari kitab itu kepada jama’ahnya kutipan-kutipan dibawah ini

“Sesungguhnya mendengar dan taat kepada pemerintah Muslim adalah salah satu pokok aqidah salafiyyah. Banyak kitab-kitab yang telah memuat permasalahan ini, yang disertai dengan penjabaran dan penjelasannya. Hal ini tidak lain karena penting dan agungnya perkara ini. Urusan agama dan dunia[4] akan menjadi baik bila penguasa didengar dan ditaati. Sebaliknya timbulnya kerusakan dalam masalah agama dan dunia terjadi bila pemerintah sudah ditentang dengan perkataan maupun perbuatan. Perlu diketahui, bahwa dalam Islam, ad-Din ini tidak tegak kecuali dengan jama’ah, dan jama’ah tidak tegak kecuali dengan imammah, dan imammah tidak akan tegak kecuali dengan mendengar dan taat. Berkata Al-Hasan Al-Bashri –rahimahullahu Ta’ala- tentang (makna) Amir, “Mereka adalah yang menguasai kita dalam lima perkara: Shalat jum’at, shalat jama’ah, hari raya, pertahanan dan penegakan hukum …. ” (Mu’amaltul Hukam hal. 7 –cet Maktabah Ar-Rasyid).
Ini penegasan bahwa yang dimaksud amir oleh ulama bukan amir jama’ah hizbiyah atau amir dakwah seperti jama’ahnya Haji Nur Hasan Ubaidah. Sebab amir-amir jamaah hizbiyah tidak menguasai kelima perkara ini.
Syaikh Ibnu Barjas berkata pula pada hal. 39:

“Kaidah yang kelima: Imam yang diperintah Nabi n untuk ditaati adalah para imam yang keberadaannya konkrit diketahui, memiliki kekuasaan dan kemampuan”. Adapun orang yang tidak jelas atau yang tidak memiliki kekuasaan sedikitpun, maka bukanlah termasuk amir yang diperintahkan oleh Nabi untuk ditaati. Berkata Syaikhul islam Ibn Taimiyah rahimahullahu: “Sesungguhnya Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam telah memerintahkan agar kita mentaati pemimpin yang ada dan telah diakui kekuasaan dan kedaulatannya untuk mengatur manusia, tidak memerintah kita untuk mentaati pemimpin yang tidak jelas dan tidak diketahui keberadaannya, juga tidak mempunyai kekuasaan dan kemampuan sedikitpun”. (Minhajus Sunnah An-Nabawiyyah (1/115).
Dan pada hal. 40 beliau berkata,

“Barangsiapa menganggap dirinya sebagai ulil amri yang mempunyai kekuasaan dan kemampuan untuk mengatur manusia, lalu mengajak manusia untuk mendengar dan taat kepadanya atau ada sekelompok jamaah yang membai’atnya untuk wajib didengar dan ditaati, serta memprovokasi manusia agar mau bergabung bersamanya untuk mengembalikan hak-hak kepada yang berhak dengan menggunakan berbagai nama dan slogan sedangkan penguasa yang sah masih tegak berkuasa, maka yang demikian adalah penentangan kepada Allah dan rasul-Nya juga menyelisihi aturan syariat dan telah keluar dari jamaah.
Maka tidaklah wajib untuk taat kepada orang yang seperti ini bahkan diharamkan, tidak boleh mengakuinya dan menjalankan hukumnya. Barangsiapa membantu, menolong dan mendukungnya dengan harta ataupun perkataan bahkan yang lebih kecil dari itu, maka dia telah bekerjasama untuk menghancurkan agama Islam dan membantai umatnya serta membuat onar dipermukaan bumi ini. Allah tidak suka terhadap orang yang membuat kerusakan”.

lihat : (1) (3) (4)


[1] Lafazh Abu Darda,
لا إِسْلامَ إِلا بِطَاعَةِ وَلا خَيْرَ إِلا فِي جَمَاعَةٍ والنصح لله عز وجل وَلِلْخَلِيفَةِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ عَامَّةً
“Tidak ada Islam kecuali dengan taat, dan tidak ada kebaikan kecuali dalam jama’ah, dan nasihat Allah Azza wa Jalla dan bagi Khalifah, dan bagi kaum muslimin semuanya”.
Atsar ini dikeluarkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid (21/289) dan Ibnu Atsakir (25/24). Atsar ini terdapat dalam Kanzul Ummal no. 44282. Dan atsar ini juga dhaif karena keterputusan antara Qotadah dan Abu Darda, sebab Qotadah tidak pernah bertemu dan mendengar dari Abu Darda. lafazh yang dikutip dari Ibnu Abdil Barr, dan begitu pula dari Ibnu Atsakir dan Kanzul Ummal tidak lengkap, sungguh atsar ini telah dikeluarkan oleh Ibnu Abi Hatim dalam Tafsirnya (no. 15540) demikian pula oleh Ibnu Katsir dalam Tafsirnya (6/75) dengan lafazh yang lebih jelas:
 لا إِسْلامَ إِلا بِطَاعَةِ اللَّهِ وَلا خَيْرَ إِلا فِي جَمَاعَةٍ, وَالنَّصِيحَةُ لِلَّهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْخَلِيفَةِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ عَامَّةً
“Tidak ada Islam kecuali dengan ketaatan kepada Allah, dan tidak ada kebaikan kecuali dalam Jama’ah, dan nasihat bagi Allah,  bagi Rasul-Nya, bagi para khalifah dan bagi orang-orang iman semuanya”.
[2] Saudara kita Al-Fadhil Abu Hudzaifah حفظه الله mengatakan: “Ba'da magrib (1 robi'u as-tsany 1432 atau 16 maret 2011, pada dars muqoddimah kitab syarah 'itiqod ahlisunnah aljamaah li imam al-lalikai di sampaikan oleh syaikh DR. Sholeh bin abdullah al-abud (mantan rektor jami'ah islam madinah) di masjid nabawi madinah, dalam sesi tanya jawab saya sempat menanyakan beberapa point:
1.       Ada sebuah jama'ah dari jama'ah-jama’ah di indonesia yang mengkafirkan manusia secara umum
2.       Mereka menggunakan atsar qoul Umar Bin Khottob
تَطَاوَلَ النَّاسُ فِي الْبِنَاءِ فِي زَمَنِ عُمَرَ ، رَضِيَ الله عَنْهُ فَقَالَ عُمَرُ يَا مَعْشَرَ الْعُرَيْبِ الأَرْضَ الأَرْضَ إِنَّهُ لاَ إِسْلاَمَ إِلاَّ بِجَمَاعَةٍ ، وَلاَ جَمَاعَةَ إِلاَّ بِإِمَارَةٍ ، وَلاَ إِمَارَةَ إِلاَّ بِطَاعَةٍ
a.        Bagaimana kedudukan atsar ini ?
b.       Apa makna يَا مَعْشَرَ الْعُرَيْبِ dengan sighot tasghir?
c.        Apa makna الأَرْضَ الأَرْضَ ?
d.       Apa makna لاَ إِسْلاَمَ إِلاَّ بِجَمَاعَةٍ……. Apakah bermakna nafi lil wujud, atau li as-shihah atau naïf lil-kamal?
3.       Dan mereka membai'at pada seseorang yang tidak sedikitpun memiliki kemampuan untuk mengatur masyarakat (kaum muslimin secara umum) , apakah ini sebuah baiat yang sah atau bathil?
Transkrip Tanya Jawab:
Syaikh: na'am, mendekatlah, kamu jauh dariku
Saya :  toyib, ada sebuah jama'ah dari jama'ah-jama’ah di indonesia yang mengkafirkan manusia secara umum. mereka menggunakan atsar qoul umar bin khottob, ketika manusia berlomba-lomba meninggikan bangunan di zaman umar, maka umarpun berkata; ya golongan uraib ( bentuk tasghir)……
syaikh : ……….melanjutkan
الأَرْضَ الأَرْضَ إِنَّهُ لاَ إِسْلاَمَ إِلاَّ بِجَمَاعَةٍ ، وَلاَ جَمَاعَةَ إِلاَّ بِإِمَارَةٍ ، وَلاَ إِمَارَةَ إِلاَّ بِسمع وطاعةٍ
Saya : menurut pentahqiq (sunan ad-darimi) bahwa atsar ini dho'if kerena memliki dua illat (cacat).
Syaikh: tidak, ucapan umar ini tidaklah dhoif  secara ijma' (artinya kedho'ifannya masih diperselisihkan di kalangan ulama -pent), namun  ucapan ini tidaklah dingkari, lagi pula realitasnya juga membenarkan perkataan umar ini, yakni untuk menetapi al-muqoddimah (qoul umar rodhiallohu 'anhu yang tercantum di bab muqoddimah sunan ad-darimi ) ini,
لاَ إِسْلاَمَ إِلاَّ بِجَمَاعَةٍ ،(اي لا اسلام كامل الا بجماعة
Tidak ada islam kecuali dengan jamaah (MAKSUDNYA ADALAH TIDAKLAH ISLAM ITU SEMPURNA TERKECUALI DENGAN JAMA'AH )
 وَلاَ جَمَاعَةَ إِلاَّ بِإِمَارَةٍ ، وَلاَ إِمَارَةَ إِلاَّ بسمعٍ وطاعةٍ
Saya : berarti penafian itu lil kamal ( peniadaan itu untuk kesempurnaan) ,
Syaikh : ya, laa islama kamil…
Saya: bukan bermakna lilwujud atau lil as-shihah?
Syaikh: Bukan, nanti (dilanjutkan-pent) setelah adzan (isya')
----adzan isya' ( kemudian syaikh membahas/menjawab pertanyaan yg sebelum saya)------
Saya : apa makna يَا مَعْشَرَ الْعُرَيْبِ dengan sighot tasghir? apa makna الأَرْضَ الأَرْضَ
Syaikh : apa? apa? يَا مَعْشَرَ الْعُرَيْبِ,  yakni dia (umar rodhiallohu 'anhu ) melihat bangunan-bangunan yang ditinggikan , umar rodhiallohu 'anhu dia adalah kholifah dan sudah sepantasnya ucapannya didengarkan dan dito'ati, ini kewajiban mendengar dan taat kepadanya, ketika mereka meninggikan bangunan –bangunan rumah  ia mengkhawatirkan terjadinya fitnah,
Kemudian ia berkata يَا مَعْشَرَ الْعُرَيْبِ tasghir 'arob, artinya bilamana orang-orang arab tida menegakkan agama ini, maka lebih-lebih lagi orang-orang selain mereka untuk tidak menegakkannya.
الأَرْضَ الأَرْضَ maknanya "janganlah meninggikan bangunan" karena termasuk tanda-tanda akan terjadinya kiamat sebagaimana yang telah dikabarkan oleh Nabi shallallahu’alaihi wasallam. Siapakah dari mereka yang semisal umar menurut kita? Allahu al-musta'an
Saya : pertanyaan terakhir
Syaikh: na'am, kamu tadi telah berkata pertanyaannya Cuma satu –ha-ha ( syaikh ini sedang guyon), pertanyaan terakhir , baik, datangkan……
Saya: yakni, dan mereka membai'at pada seseorang yang tidak sedikitpun memiliki kemampuan untuk mengatur masyarakat (kaum muslimin secara umum) , apakah ini sebuah baiat yang sah atau bathil?.. (afwan saya ada sedikit kesalahan menyebutkan lafal "shohih" menjadi "shoihah" …..maklum karena pertanyaan ini bersifat spontan dan buru-buru menjelang iqomah)
Syaikh: orang ini tidak memiliki kemampuan/kekuasaan, dia tidak dibai'at, sesungguhnya baiat itu diatas al-kitab dan as-sunnah bagi orang yang memiliki kekuasaan seperti pemerintah di negara ini, maka ia memiliki kemampuan, dan perkaranya (keimamannya-pent) telah tegak , pemerintahannya kokoh, dia menegakkan peraturan-peraturan Allah sesuai kemampuannya, inilah baiat yang sya'I, adapun yang lainnya (Negara lain)  adalah  berdasar peraturan/ undang-undang yang tersusun dalam teori kontrak (nadhoriyatu al-aqd) , nadhoriatu al-aqd ringkasnya adalah kesepakatan yang mana mereka bersepakat diatas asas manfaat dan kemudhorotan, dan setiap orang berkeyakinan untuk mendatangkan (asas) kemanfaatan dan menolak kemudhorotan dan setiap orang supaya menetapi ( undang-undang ) ini  selagi tidak bertentangan dengan agama.
Saya : syukron, jazaa kallohu khoir
Syaikh : jelas?!
Saya : jelas
Syaikh : adapun mereka mengkafirkan manusia atau memkafirkan masyarakat, maka itu sangat sesat, yakni setelah bai'at kepada Nabi n maka tidak lagi diterapkan jahilyah, adapun orang yang berkata bahwa kita sekarang berada dimasa jahilyah abad ke 20 –seperti ini- , maka ini salah karena setelah bai'at kepada Nabi n maka tidak lagi diterapkan jahilyah terkecuali nanti di akhir zaman yakni ketika telah turunnya 'isa 'alaihi assalam, nabi 'isa setelah apa turunnya?, setelah keluarnya dajjal, dan dia membunuh dajjal, lalu wafatnya nabi isa, kemudian Allah melepaskan angin yang baik dan semua nyawa orang-orang iman terambil (mati) dan tidak tersisa di muka bumi kecuali seburuk-buruknya manusia kepada merekalah kemudian terjadi kiamat yang besar.
Saya : jelas
Syaikh : jelas , walhamdulillah
Tepatnya di المقدمة 11/04/1432هـ pada menit ke 59 dan seterusnya.
[3] Beliau adalah Ahli hadits dari Saudi, telah meninggal karena kecelakaan tahun 1425 H. Guru-guru Syaikh Abdus Salam diantaranya adalah Syaikh Ibn Bazz, Syaikh Shaleh ibn Utsaimin, Syaikh ibn Jibrin, Syaikh Muhadits Abdullah ibn Duwaisi, Syaikh Shalih ibn Abdurrahman Al-Athram, Syaikh Abdurahman ibn Ghudayan, Syaikh Shalih ibn Ibrahim Al-Balihi, dan lainnya.
[4] Ini juga penjelasan dari Syaikh yang diselisihi pengikut Haji Nur Hasan yang mengatakan bahwa keimaman itu hanya mengurusi akhirat/agama saja.
Man Amila Lillah Fi Jama'ah (14 - 3)


مَنْ عَمِلَ لِلَّهِ فِي الْجَمَاعَةِ
Hadits Ketiga
Imam Thabrani dalam al-Ausath (5/230) no. 5170 meriwayatkan,
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْحُسَيْنِ الْأَنْمَاطِيُّ قَالَ: نَا بِشْرُ بْنُ مَعْمَرٍ الْقَرْقَسَانِيُّ قَالَ: نَا عَبْدُ الرَّحِيمِ بْنُ زَيْدٍ الْعَمِّيُّ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ عَمِلَ لِلَّهِ فِي الْجَمَاعَةِ فَأَصَابَ تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنْهُ، وَإِنْ أَخْطَأَ غَفَرَ لَهُ، وَمَنْ عَمِلَ لِلَّهِ فِي الْفُرْقَةِ، فَإِنْ أَصَابَ لَمْ يَتَقَبَّلِ اللَّهُ مِنْهُ، وَإِنْ أَخْطَأَ تَبَوَّأَ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ»
Menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-Husein Al-Anmathi yang berkata: menceritakan kepada kami Bisyr bin Ma’mar al-Qarqasani yang berkata: menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Za’id Al-Ammi dari Bapaknya, dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas yang berkata, bersabda Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam , “Barangsiapa beramal karena Allah didalam jama’ah jika benar maka Allah akan menerimanya, dan jika salah maka Allah mengampuninya. Dan barangsiapa beramal dalam firqah kemudian benar maka tidak diterima dan jika salah maka dipersilahkan menempati tempat duduknya dalam neraka”.
Dari segi sanad, hadits ini juga dha’if, dikeluarkan juga oleh Thabrani dalam Al-Kabir (12/61) no. 12473 dan disebutkan dalam Majma Al-Bahrain (4/326-327) no. 2546, Ibn Bathah dalam Al-Ibanah Al-Kubro (1/141) no. 136, (2/227) no. 716, Ibn Adi (7/41) biografi Nuh ibn Abi Maryam no. 1975, Al-Khathib dalam Al-Faqih wal Mutafaqih no. 433, semuanya dari jalan Zaid Al-‘Ammi dari Sa’id ibn Jubair dari Ibn Abbas secara marfu. Disebutkan oleh Al-Muttaqi dalam Kanzil Ummal no. 1034.
Hadits ini dha’if karena perawinya yang bernama Zaid Al-Ammi. Berkata Abu Hatim: “Dha’iful hadits, haditsnya ditulis, akan tetapi tidak boleh berhujjah dengannya”. (Jarh wa Ta’dil jilid 3 biografi no. 2535).
Padahal andaikata shahih haditsnya sekalipun, apakah shahih juga makna/pemahaman bahwa kelompok mereka kah yang dimaksud jama’ah dalam hadits tersebut?!!. Justru kami khawatir, mereka lah firqah yang dimaksud dalam hadits tersebut karena mereka telah memisahkan diri dari jama’ah kaum muslimin sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Bin Barjas rahimahullahu sebelumnya. 
lihat : (1) (2) (4)

La Yaqbalullah li Shahibi Bid'ah (14 - 4)


لَا يَقْبَلُ اللَّهُ لِصَاحِبِ بِدْعَةٍ
Hadits Keempat
Sebagai tambahan, kadang mereka berdalil dengan hadits dibawah ini, untuk mengatakan bahwa selain kelompoknya tidak akan diterima amalnya karena banyak bid’ahnya :
حَدَّثَنَا دَاوُدُ بْنُ سُلَيْمَانَ الْعَسْكَرِيُّ قَالَ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيٍّ أَبُو هَاشِمِ بْنِ أَبِي خِدَاشٍ الْمَوْصِلِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مِحْصَنٍ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ أَبِي عَبْلَةَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الدَّيْلَمِيِّ، عَنْ حُذَيْفَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا يَقْبَلُ اللَّهُ لِصَاحِبِ بِدْعَةٍ صَوْمًا، وَلَا صَلَاةً، وَلَا صَدَقَةً، وَلَا حَجًّا، وَلَا عُمْرَةً، وَلَا جِهَادًا، وَلَا صَرْفًا، وَلَا عَدْلًا، يَخْرُجُ مِنَ الْإِسْلَامِ كَمَا تَخْرُجُ الشَّعَرَةُ مِنَ الْعَجِينِ».
Telah menceritakan kepada kami Daud bin Sulaiman Al 'Askari berkata, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ali Abu Hasyim bin Abu Khidasy Al Maushili ia berkata; telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Mihshan dari Ibrahim bin Abu 'Ablah dari Abdullah bin Ad Dailami dari Huzdaifah ia berkata; Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Allah tidak menerima dari ahli bid’ah: puasa, shalat, sedekah, haji dan umrah, jihad, tidak pula amal wajib dan sunnahnya. Ia akan keluar dari Islam seperti keluarnya sehelai rambut dari adonan terigu”.
Dari segi sanad, sesungguhnya hadits ini palsu (maudhu), dikeluarkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan no. 49 melalui Muhammad ibn Mihshan, dan orang ini telah disebut oleh ahli hadits bahwa dia pendusta. Biografi Ibn Mihshan disebutkan Adz-Dzahabi dalam Mizan Al-I’tidal biografi no. 8120. Nama lengkapnya adalah Muhammad ibn Ishaq ibn Ibrahim ibn Akasyah ibn Mihshan al-Asadi. Adz-Dzahabi berkata, “Tidak bisa dipercaya”. Ibnu Hajar menyebutkannya dalam Tahdzib Tahdzib jilid 9 biografi no. 703. Ibnu Mu’in menganggapnya pendusta, Bukhari berkata, “Mungkarul hadits”. Demikian pula yang dikatakan Abu Hatim, “Pendusta”.
Dari segi makna, andai shahih sekalipun berhujjah dengan hadits ini dan hadits lain yang semakna dengannya tentang bid’ah, cukup mengherankan sebab mereka sendiri dipenuhi bid’ah dalam masalah aqidah maupun dalam masalah ibadah sebagaimana telah dan akan anda temukan sebagian pembahasannya dalam buku ini.
Jadi, lagi-lagi hadits-hadits ini bukan hujjah buat mereka tapi justru menunjuk kepada mereka sendiri. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam,
يَقْرَؤُونَ الْقُرْآنَ ، يَحْسِبُونَ أَنَّهُ لَهُمْ ، وَهُوَ عَلَيْهِمْ
“Mereka (Khawarij) membaca Al-Qur’an, lalu menyangka ayat-ayat Al-Qur’an itu bagi mereka, padahal atas mereka” (Diriwayatkan oleh Muslim no. 1066 dan Abu Dawud no. 4768).
lihat : (1) (2) (3)

Lha Kalau tidak punya imam, kita akan mengikuti siapa di hari kiamat nanti? (15)

Kelimabelas,
Jama’ahnya Haji Nur Hasan mengatakan bahwa nanti dihari kiamat manusia akan mengikuti imam yang dibai’atnya didunia, sehingga kalau tidak punya imam, kita akan mengikuti siapa?!. Kata mereka, dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
يَوْمَ نَدْعُوا كُلَّ أُناسٍ بِإِمامِهِمْ فَمَنْ أُوتِيَ كِتابَهُ بِيَمِينِهِ فَأُولئِكَ يَقْرَؤُنَ كِتابَهُمْ وَلا يُظْلَمُونَ فَتِيلاً
”Artinya : (Ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) Kami panggil tiap umat dengan imamnya (bi imamihim); dan barangsiapa yang diberikan kitab amalannya di tangan kanannya maka mereka ini akan membaca kitabnya itu, dan mereka tidak dianiaya sedikitpun”.
Tafsir mereka ini keliru, sebab yang dimaksud ayat ini adalah mengikuti Nabinya masing-masing, bukan mengikuti imam yang dibai’atnya didunia. Sebagaimana yang Imam Bukhari rahimahullahu sebutkan dalam Shahihnya (6/86), Kitab Tafsir: Surat Bani Israil 79 dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhu yang berkata:
إِنَّ النَّاسَ يَصِيرُونَ يَوْمَ القِيَامَةِ جُثًا، كُلُّ أُمَّةٍ تَتْبَعُ نَبِيَّهَا
“Sesungguhnya manusia pada hari kiamat menjadi berkelompok-kelompok (jutsan), setiap umat (kelompok) mengikuti Nabinya”.
Imam Bukhori rahimahullahu (no. 5420) berkata,
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا حُصَيْنُ بْنُ نُمَيْرٍ عَنْ حُصَيْنِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ خَرَجَ عَلَيْنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا فَقَالَ عُرِضَتْ عَلَيَّ الْأُمَمُ فَجَعَلَ يَمُرُّ النَّبِيُّ مَعَهُ الرَّجُلُ وَالنَّبِيُّ مَعَهُ الرَّجُلَانِ وَالنَّبِيُّ مَعَهُ الرَّهْطُ وَالنَّبِيُّ لَيْسَ مَعَهُ أَحَدٌ
Telah menceritakan kepada kami Musaddad telah menceritakan kepada kami Hushain bin Numair dari Hushain bin Abdurrahman dari Sa'id bin Jubair dari Ibnu Abbas radliallahu 'anhuma dia berkata; Nabi shallallahu’alaihi wa sallam keluar menemui kami lalu beliau bersabda: "Telah ditampakkan kepadaku umat-umat (pada hari kiamat), maka aku melihat seorang Nabi lewat bersama satu orang, seorang Nabi bersama dua orang saja, seorang Nabi bersama sekelompok orang dan seorang Nabi tanpa seorang pun bersamanya…”. [1]
Adapun berdalil dengan hadits Ali radhiyallahu’anhu yang disebutkan oleh Al-Qurthubi dalam Tafsir (10/297) tanpa sanad, bunyinya :
وَقَالَ عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: بِإِمَامِ عَصْرِهِمْ. وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ في قوله:" يَوْمَ نَدْعُوا كُلَّ أُناسٍ بِإِمامِهِمْ" فَقَالَ:" كُلٌّ يُدْعَى بِإِمَامِ زَمَانِهِمْ وَكِتَابِ رَبِّهِمْ وَسُنَّةِ نَبِيِّهِمْ
“Dan berkata Ali radhiyallahu’anhu : “(maksud ayat itu) imam dimasa mereka”, dan diriwayatkan dari Nabi shallallahu’alaihiwasallam tentang firman Allah : [“(Ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) Kami panggil tiap umat dengan imamnya] beliau bersabda, ”Tiap-tiap orang mengikuti imam zaman mereka, dan Kitab Rabb mereka, dan Sunnah Nabi mereka...”.[2]
Ketahuilah bahwa hadits ini palsu, Muhammad Dhohir ibn Ali Al-Fatani (w. 986 H) dalam Tadzkiratul Maudhu’at (1/85) berkata, “Didalam rawinya ada Dawud, tertuduh berdusta”.
Bagaimana hadits ini bisa dijadikan dalil?.
Lagi pula andaikata tafsirnya shahih sekalipun, jawabannya adalah seperti sebelumnya, adakah shahih juga imam yang dimaksud itu adalah imam kelompok kalian?.



[1] Dikeluarkan juga oleh Ahmad (1/271) no. 2448, Muslim (no. 220), Tirmidzi (no. 2446), Nasai dalam Al-Kubro (4/378) no. 7604 dan Ibnu Hibban (14/339) no. 6430.
[2] Atsar ini disebutkan pula oleh Al-Alusi dalam Tafsir (11/26), As-Syaukani dalam Fathul Qadir (4/339), As-Sayuthi dalam Dar Mantsur (6/301), dan lainnya, semuanya menisbatkannya kepada Ibn Mardawaih.

Bai'at Kami bai'at Yang Paling Awal !!! (16)

Keenambelas,
Jama’ahnya Nur Hasan merasa bahwa pendirinya telah dibai’at pada tahun 1941 M[1], artinya menurut mereka bai’at ini adalah bai’at yang paling awal. Mereka merasa paling berhak terhadap imamah karena adanya dalil dari riwayat Imam Bukhori rahimahullahu:
حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ فُرَاتٍ الْقَزَّازِ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا حَازِمٍ قَالَ قَاعَدْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ خَمْسَ سِنِينَ فَسَمِعْتُهُ يُحَدِّثُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ
Telah bercerita kepadaku Muhammad bin Basysyar telah bercerita kepada kami Muhammad bin Ja'far telah bercerita kepada kami Syu'bah dari Furat Al Qazaz berkata, aku mendengar Abu Hazim berkata; "Aku hidup mendampingi Abu Hurairah radhiyallahu’anhu selama lima tahun dan aku mendengar dia bercerita dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam yang bersabda: "Bani Isra'il, kehidupan mereka selalu didampingi oleh para Nabi, bila satu Nabi meninggal dunia, akan dibangkitkan Nabi setelahnya. Dan sungguh tidak ada Nabi sepeninggal aku. Yang ada adalah para khalifah yang banyak jumlahnya". Para shahabat bertanya; "Apa yang baginda perintahkan kepada kami?". Beliau menjawab: "Penuihilah bai'at kepada (khalifah)[2] yang pertama (lebih dahulu diangkat), berikanlah hak mereka karena Allah akan bertanya kepada mereka tentang pemerintahan mereka".(Shahih Bukhori no. 3455).
Menurut pemahaman Para pengikut Haji Nur Hasan, siapa yang lebih dahulu dibai’at itulah imam yang sah, walaupun yang membai’atnya bukan ahlu hal wal aqdi. Tidak tanggung-tanggung mereka membuat cerita yang sulit dibuktikan kebenarannya, katanya Nur Hasan paling awal dibai’at yaitu pada tahun 1941 oleh 3 orang “penginshafnya”, sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Muktashor Al-Jama’ah wal Imammah (tulisan pegon bahasa Indonesia),

Terjemahannya :
… terhadap kewajiban tersebut, bahkan beliau (Bapak Imam Haji Nur Hasan) tidak sekedar nasihat atau memangkulkan saja, akan tetapi telah mempraktekan kewajiban tersebut, seperti yang telah diceritakan para sesepuh kita: pada tahun 1941 beliau sudah di bai’at oleh 3 orang yang inshaf pada saat itu, jelas hal itu dilakukan karena beliau memahami wajibnya mendirikan keimaman walaupun jumlah jama’ah masih sedikit, kemudian pada tahun 1960 dilakukan bai’at secara umum.
Perhatikanlah !!!
Dalam hadits diatas sudah jelas bahwa yang dimaksud penuhilah “baiat yang awal” adalah bai’at untuk Khalifah. Akan tetapi, bai’at yang “3 penginshafnya” lakukan pada Haji Nur Hasan bukan bai’at untuk Khalifah/Amir, melainkan mirip bai’atnya tarekat sufi [3]. Karena bai’at untuk mengangkat seseorang menjadi Khalifah, hanya boleh dilakukan oleh ahlu hal wal aqdi atau musyawarah kaum muslimin, sebagaimana dicontohkan oleh Khulafaurasyidin. Sedangkan yang dilakukan oleh Haji Nur Hasan pada dasarnya adalah bai’at murid kepada gurunya (karena ketiganya bukan ahlu hal wal aqdi) walaupun mereka menyangkanya baiat untuk imammah.
Imam Ahmad rahimahullahu meriwayatkan dalam Musnad Ahmad (1/55) no. 391 sebuah hadits yang panjang tentang tidak sahnya bai’at seperti diatas dari perkataan Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu
وَقَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَمَا وَاللَّهِ مَا وَجَدْنَا فِيمَا حَضَرْنَا أَمْرًا هُوَ أَقْوَى مِنْ مُبَايَعَةِ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ خَشِينَا إِنْ فَارَقْنَا الْقَوْمَ وَلَمْ تَكُنْ بَيْعَةٌ أَنْ يُحْدِثُوا بَعْدَنَا بَيْعَةً فَإِمَّا أَنْ نُتَابِعَهُمْ عَلَى مَا لَا نَرْضَى وَإِمَّا أَنْ نُخَالِفَهُمْ فَيَكُونَ فِيهِ فَسَادٌ فَمَنْ بَايَعَ أَمِيرًا عَنْ غَيْرِ مَشُورَةِ الْمُسْلِمِينَ فَلَا بَيْعَةَ لَهُ وَلَا بَيْعَةَ لِلَّذِي بَايَعَهُ تَغِرَّةً أَنْ يُقْتَلَا
Umar radhiyallahu’anhu berkata: Demi Allah, kami tidak menemukan hal yang lebih kuat dari pada membai'at Abu Bakar dalam pertemuan kami, kami khawatir jika orang-orang itu telah terpisah dari kami, sementara bai'at belum ada, maka mereka akan membuat sebuah pembai'atan setelah kami. Dengan demikian, boleh jadi kami akan mengikuti mereka pada sesuatu yang tidak kami ridlai atau berseberangan dengan mereka, sehingga akan terjadi kehancuran. Maka barangsiapa membai'at seorang amir tanpa musyawarah kaum muslimin, sesungguhnya bai'atnya tidak sah, dan tidak ada hak membai'at bagi orang yang membai'atnya, dikhawatirkan keduanya (orang yang membai'at dan dibai'at) akan dibunuh”. (Hadits ini dalam Shahih Bukhari no. 6329).
Kalau mereka membandingkannya dengan bai’at para sahabat kepada Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, maka tidak bisa disamakan sebab Nabi shallallahu’alaihi wa sallam diangkat oleh Allah, seandainya semua manusia tidak mengakuinya sebagai pemimpin sekalipun, beliau tetap sah sebagai pemimpin. Adapun amir-amir hizbiyah sebagaimana amir jama’ahnya Haji Nur Hasan, siapa yang mengangkat dia sebagai amir?.
Imam As-Suyuthi rahimhullahu pernah ditanya tentang seorang sufi yang telah berba'iat kepada seorang syaikh, tetapi kemudian ia memilih syaikh lain untuk diba'iatnya: "Adakah kewajiban yang mengikat itu, bai'at yang pertama atau yang kedua?”. Beliau menjawab,
لَا يَلْزَمُ الْعَهْدُ الْأَوَّلُ وَلَا الثَّانِي، وَلَا أَصْلَ لِذَلِكَ.
"Tidak ada yang mengikatnya, baik bai'at yang pertama maupun bai'at yang kedua dan yang demikian itu tidak ada asal-usulnya”.[4]



[1] Dalam Buku Bahaya Islam Jama’ah (hal 12) disebutkan penjelasanya Ustadz Bambang Irawan yang berbunyi, “Sang Madigol (Nur Hasan –pen) mengaku bahwa dia telah dibai’at sah pada tahun 1941, jadi lebih awal dari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 1945. Itu bohong besar dan taqiyah. Yang benar, Madigol baru dibai’at pada tahun 1960, konsepnya dari Wali Al-Fatah”.
Tentang kisah ini akan dibahas pada pembahasan selanjutnya.
[2] Perhatikanlah… hadits diatas berbicara tentang khalifah kaum muslimin yang kita tahu bersama bagaimana pengertiannya, bukan imam yang hanya mengurusi ‘keagamaan’ saja, yang tidak memiliki kuasa sedikitpun.
[3] Tarekat Sufi biasanya memiliki ritual dimana seorang murid berbai’at pada gurunya. Lisanuddin ibn Al-Khathib (seorang sufi) berkata:
يكون المرتاض يعتمد على شيخ و يلقي أزمته بيده , ليهديه قبل أن تسبقه إليها يد الشيطان
“Murid harus bergantung kepada syaikh (guru) dan memberikan kendalinya kepada tangannya (bai’at), agar syaikh menunjukinya sebelum didahului tangan syetan”.
من لم يكن له شيخ كان الشيطان شيخه
“Barangsiapa tidak mempunyai syaikh, maka syetan adalah syaikhnya”.
Lihat Raudhatut Ta’rif, Lisanuddin ibn Al-Khathib hal. 469, Penerbit Daar Al-Fikr Al-Arabi dari kitab Syaikh Ihsan Ilahi Dhahir rahimahullahu, Al-Mansya wal Mashadir.
[4] Lihat Al-Hawiy Lil Fatawi (1/297 cet Darul Fikr).

Sebelum kedatangan abah bangsa ini tidak ada “jama’ah” dan “orang iman” (17)

Ketujuhbelas,
Mereka menyangka bahwa bangsa ini sebelum kedatangan Bapak Nur Hasan selama berabad-abad berada dalam kejahiliyahan, tidak ada “jama’ah” dan “orang iman”, bahkan dikisahkan Bapak Nur Hasan telah keliling Indonesia untuk membuktikannya, walaupun perjalanan keliling Indonesia ini tidak bisa dibuktikan kebenarannya. Lalu katanya Bapak Nur Hasan datang sebagai “pembawa hidayah”, “kalau beliau tidak datang, niscaya kita masuk neraka” dan lain sebagainya dari ungkapan mereka. Misalkan dalam Makalah CAI,
“… mengamati perkembangan Quran Hadits Jama’ah yang telah dirintis di Indonesia sejak tahun 1941 sampai saat ini tentunya menambah kemantapan dan keyakinan bagi satu-satunya jama’ah bahwa jama’ah kita ini benar-benar mendapat ridlo Alloh, pertolongan Alloh, kemenangan serta ukhro dari Alloh dan memang sudah pada gilirannya manusia-manusia Indonesia dipilih oleh Alloh sebagai calon-calon ahli surga setelah berabad-abad lamanya bangsa ini hidup dalam kejahiliahan”.
Pernyataan dalam Makalah CAI ini adalah sikap takfir (pengkafiran) kepada kaum muslimin yang jelas dan sungguh keterlaluan, bahkan ahlus sunnah tidak mengakui adanya kejahiliyahan secara mutlak setelah diutusnya Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, apalagi sampai berabad-abad!!!.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu mengatakan,
فأما في زمان مطلق فلا جاهلية بعد مبعث محمد صلى الله عليه و سلم فإنه لا تزال من أمته طائفة ظاهرين على الحق إلى قيام الساعة
“Adapun mensifati zaman secara mutlak, maka tidak ada masa jahiliyah setelah diutusnya Muhammad n, karena senantiasa akan ada segolongan dari umatnya yang akan nampak diatas kebenaran sampai kiamat nanti”.[1] (Iqtidho’ush Shirothol Mustaqim : 1/227 – tahqiq Al-Aql).
Pentahqiqnya berkata,
وعليه: فإن إطلاق هذه العبارات على المسلمين عموما، أو على بلد من بلدانهم أو مجتمع من مجتمعاتهم دون تقييده بحالة، أو عمل، أو تصرف، أو شخص معين: يعتبر خطأ وتساهلا ينبغي أن يتحاشاه المسلم
Atas dasar ini, maka menggunakan istilah Jahiliyah dengan mutlak untuk kaum muslimin secara umum, atau untuk suatu negara dari negara kaum muslimin, atau untuk suatu kumpulan dari masyarakat muslim, tanpa dirinci keadaan, perbuatan, tindakan atau individu tertentu, merupakan suatu kesalahan dan peremehan, yang sudah sepatutnya seorang muslim menjauhinya. [2]
Dan pada kenyataannya apakah benar Bapak Nur Hasan melenyapkan kejahiliyahan di Indonesia?, padahal beliau justru menyeru kepada seruan jahiliyah berupa seruan kepada kelompok?, membangun wala (loyalitas) dan baro (permusuhan) dengannya !!!.
Imam Bukhori rahimahullahu meriwayatkan,
حَدَّثَنَا عَلِىٌّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ عَمْرٌو سَمِعْتُ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ - رضى الله عنهما - قَالَ كُنَّا فِى غَزَاةٍ - قَالَ سُفْيَانُ مَرَّةً فِى جَيْشٍ - فَكَسَعَ رَجُلٌ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ رَجُلاً مِنَ الأَنْصَارِ فَقَالَ الأَنْصَارِىُّ يَا لَلأَنْصَارِ . وَقَالَ الْمُهَاجِرِىُّ يَا لَلْمُهَاجِرِينَ . فَسَمِعَ ذَاكَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - فَقَالَ « مَا بَالُ دَعْوَى جَاهِلِيَّةٍ » قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ كَسَعَ رَجُلٌ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ رَجُلاً مِنَ الأَنْصَارِ . فَقَالَ « دَعُوهَا فَإِنَّهَا مُنْتِنَةٌ »
Menceritakan kepada kami Ali menceritakan kepada kami Sufyan, beliau berkata Amru mendengar Jabir bin Abdillah –semoga Allah meridhoi keduanya- berkata, "-Dahulu kami dalam suatu perang- atau berkata Sufyan: dalam suatu pasukan tempur, lalu ada seorang Muhajirin yang menendang pantat seorang Anshor. Maka Orang Anshor itu berkata, "Wahai orang-orang Anshor, tolonglah aku!!". Orang Muhajirin itu juga berkata, "Wahai orang-orang Muhajirin, tolonglah aku". Hal itu pun didengarkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam seraya berkata, "Ada apa ini kenapa ada seruan jahiliah!!" Mereka menjawab, "Ya Rasulullah, Ada seorang Muhajirin yang telah menendang pantat seorang Anshor". Beliau shallallahu’alaihi wasallam bersabda, "Tinggalkanlah (seruan jahiliah itu), karena ia adalah ucapan yang busuk"… (Shahih Bukhori no. 4905).
Dan sesungguhnya nama Muhajirin dan Anshor adalah nama yang baik, bahkan Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam sering memanggil demikian, akan tetapi kita mengambil hikmah dari hadits ini bahwa janganlah nama yang syar’i ini digunakan untuk berpecah belah. Sebagaimana digunakan oleh sebagian kelompok Islam untuk nama-nama : Hizbulloh, Jama’atul Muslimin, Ikhwanul Muslimin, Islam Jama’ah, Quran Hadits Jama’ah, Jama’ah Islamiyah dan lainnya. Karena panggilan-panggilan baik tersebut berubah menjadi seruan jahiliyah.
Wahai kaum muslimin, sikap hati-hati itu sangat terpuji…
Jangan sampai kita termasuk dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik rahimahullahu dibawah ini,
وحدثني مالك عن سهيل بن أبي صالح عن أبيه عن أبي هريرة ان رسول الله صلى الله عليه و سلم قال : إِذَا سَمِعْتَ الرَّجُلَ يَقُولُ هَلَكَ النَّاسُ. فَهُوَ أَهْلَكُهُمْ
Menceritakan kepada ku Malik dari Suhail bin Abi Sholih dari Bapaknya dari Abu Hurairah a, sesungguhnya Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda, “Apabila kamu mendengar seseorang mengatakan, “Telah rusak manusia, maka dia lah sebenarnya yang lebih rusak daripada mereka”. (Al-Muwatho (2/984) no. 1778).[3]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar