Senin, 14 November 2011

Ada Apa dengan KH Ma’ruf Amien dan Aliran Sesat LDII?

Ada Apa dengan KH Ma’ruf Amien dan Aliran Sesat LDII?




Ada Apa dengan KH Ma’ruf Amien dan Aliran Sesat LDII?



DALAM kaitannya dengan LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia), sikap KH Ma’ruf Amin terlihat begitu aneh. Pada majalah Sabili No 23 Th XIII, 1 Juni 2006 (20 Jumadil Awal 1427 H), KH Ma’ruf Amien pernah menceritakan tentang upaya-upaya LDII melakukan pendekatan kepada MUI (Majelis Ulama Indonesia). Misalnya, ketika MUI bersama ormas-ormas Islam mengadakan aksi damai mendukung RUU APP (Rancangan Undang-undang Anti Pornografi dan Pornoaksi), LDII menemui KH Ma’ruf Amin (bahkan sampai menjenguk Ma’ruf Amin yang sedang dirawat di rumahsakit), untuk turut bergabung dan bersama-sama mendukung RUU APP.

Ketika itu KH Ma’ruf Amin menolak keinginan LDII, bahkan ia meminta LDII untuk membuktikan pengakuan sepihak mereka bahwa LDII tidak sesat dan bukan reinkarnasi dari Islam Jama’ah, tetapi mengikuti paham Islam yang benar. Menurut penilaian KH Ma’ruf Amin, “Saya kira mereka (LDII) mau mencoba menggunakan saya untuk memanipulasi atau apalah namanya, dengan pendekatan personal mereka.” (Lihat Sabili No 23 Th XIII, 1 Juni 2006 /20 Jumadil Awal 1427 H).

Kesadaran KH Ma’ruf Amin tentang kesesatan LDII nampaknya, kala itu, masih bagus. Bahkan pada hari Rabu tanggal 26 Juli 2006, di hadapan 250 ulama dan tokoh Islam se Kabupaten Bekasi Jawa Barat, KH Ma’ruf Amin menegaskan, bahwa LDII adalah aliran sesat sebagaimana telah tercantum dalam rekomendasi Musyawarah Nasional MUI (Juli 2005), karena LDII itu jelmaan kembali dari Islam Jama’ah yang telah difatwakan MUI sebagai aliran sesat. Setelah mendengarkan penjelasan KH Ma’ruf Amin, para ulama itu pun menyuarakan keharusan dibuangnya (diturunkannya) berbagai papan nama LDII sebagai konsekuensi logis dari pernyataan Munas MUI yang mengeluarkan rekomendasi bahwa LDII itu sesat.

Namun, LDII tidak berdiam diri. Selama manusia itu masih doyan nasi, masih doyan barang mewah, masih doyan duit dan sebagainya, meski ia bergelar kyai haji dan dikenal sebagai ulama sekalipun, maka harapan untuk bisa dibujuk hatinya tetap terbentang luas. Karena semboyan LDII dalam membujuk calon korbannya sudah tidak seperti di masa Islam Jama’ah dulu, yang bunyinya: Kebo-kebo maju, barongan-barongan mundur (maksudnya, kalau menghadapi kerbau-kerbau –yakni orang-orang bodoh– maka harus terus maju untuk mempengaruhinya, sedang kalau menghadapi ulama-ulama maka harus mundur, tidak usah mempengaruhinya, karena akan kena duri. Ulama diibaratkan barongan yakni rumpun bamboo berduri yang sulit ditembus. Tetapi kini LDII semboyannya berubah jadi: Brambang diombyoki saben lawang dienggoki. Maksudnya, setiap pintu rumah perlu didatangi untuk dibujuk agar masuk LDII. Jadi sampai ulama pun didekati. Terhadap ulama pun tampaknya kini aliran sesat LDII ngglibet, gigih mendekatinya, untuk bisa meruntuhkan keteguhan pendiriannya. Ada seorang ulama yang disumbang LDII berupa lemari es alias kulkas segala. Namun karena ulama yang satu ini tak mau dijerat, maka kulkas dari LDII itupun dikembalikan ke sarang LDII lagi. Meskipun demikian, tidak setiap ulama seperti ulama yang satu ini. Hingga pihak aliran sesat itu masih mengoperasikan harapan untuk meminteri orang pinter sekaliber ulama. Maka ditempuhlah pendekatan-pendekatan yang manusiawi dan duniawi. Ketika sakit, orang itu dibesuk, diberi fasilitas mobil berikut sopir dan bensin untuk sebuah acara resmi, diberi pengawalan hingga menuju podium, siapa tahu terpeleset kulit pisang. Maka hati siapa yang tidak luluh, pendirian siapa yang tidak runtuh?

Bila akidah seorang ulama bisa dibeli, maka serasa langit telah runtuh.

LDII itu sejenis aliran sesat yang gigih. Demi menyesatkan korbannya, berani bersusah payah demi keberhasilan misi yang dibawanya. Dalam kasus LDII, mereka berusaha menyerupai targetnya. Misalnya, ikut pasang spanduk di berbagai jalan raya, yang berisi pesan bahwa LDII bersama MUI turut mendukung RUU APP, yang kala itu sedang gencar diperjuangkan Ummat Islam. Dengan menempuh cara ini (memasang spanduk yang mengesankan adanya kerja sama antara MUI dengan LDII di dalam mendukung RUU APP), maka LDII bisa mengklaim bahwa mereka telah sejajar dengan MUI. Bisa juga mereka mengklaim bahwa LDII tidak ditolak MUI, artinya tidak sesat. Begitulah akal bulus LDII. Mereka yang berhasil dimakan akal bulus LDII, maka mereka itu telah terjebak dalam jeratannya.

Yang jelas, ketika LDII menggelar Rapat Kerja Nasional di Balai Kartini Jakarta, pada tanggal 6 hingga 8 Maret 2007, Ma’ruf Amin hadir (sebagai pribadi) sebagaimana diberitakan Harian Pos Kota edisi 7 Maret 2007, halaman 10. Meski sebagai pribadi, namun kenyataannya Ma’ruf Amin pada kesempatan itu tidak bisa melepaskan diri pribadinya dengan status yang disandangnya sebagai Ketua Komisi Fatwa MUI. Hal ini terlihat ketika ia menjelaskan tentang sikap MUI terhadap LDII, seolah-olah MUI sudah mengakui LDII (sebagai bukan aliran sesat). Padahal, MUI masih menyatakan LDII sesat, sehingga MUI pun melarang anggota-anggotanya menghadiri acara LDII, baik sebagai pribadi atau wakil lembaga (MUI).

Ketika itu Ma’ruf Amin berkilah, kehadirannya pada acara Rakernas LDII bukan masalah, karena saat ini LDII sudah dalam proses klarifikasi untuk kembali ke jalan yang benar, tinggal menunggu klarifikasi dari MUI di daerah yang ditugaskan pusat untuk memantau cabang-cabang LDII daerah. Begitu alasan Ma’ruf. Alasan lain, menurut Ma’ruf Amin, dirinya sudah mengunjungi sejumlah pondok pesantren LDII dan diterima dengan baik, tidak dinajiskan oleh orang LDII.

Kedatangan Ma’ruf Amin ke berbagai ponpes LDII, tentu tidak bisa dilepaskan dari statusnya sebagai Ketua Komisi Fatwa MUI. Karena orang-orang LDII tahu siapa Ma’ruf Amin, maka mereka tidak akan pernah secara demonstratif memposisikan Ma’ruf Amin sesat, dan sebagainya. Alasan yang diajukan Ma’ruf Amin terkesan begitu naif, seperti layang-layang putus yang kehilangan kendali akal sehat. Mana mungkin orang-orang LDII berani menajiskan Ma’ruf Amin secara terbuka, padahal mereka membutuhkan Ma’ruf Amin.

Benarkah LDII sedang menuju kepada jalan yang benar sebagaimana dikemuakkan oleh Ma’ruf Amin? Ternyata, TIDAK. Sebuah buku yang diterbitkan LPPI berjudul Kupas Tuntas Kesesatan dan Kebohongan LDII, menunjukkan dengan jelas bahwa sesungguhnya LDII ya sama saja dengan Lemkari, Islam Jama’ah dan nama-nama lainnya, yang inti ajarannya masih seperti dulu.

Kesesatan LDII terkini, dapat didapati pada dokumen-dokumen yang mereka terbitkan sendiri. Misalnya pada Materi Pengajian bulanan LDII yang diterbitkan pada 16 September 2006, berisi kumpulan masalah sebanyak 54 masalah. Pada bab ke-20 tentang Kafarah, ada ajaran menebus dosa dengan uang, dan bila uang itu sudah diterima oleh sang Imam maka pupuslah dosanya.

Misalnya, bila seseorang itu melakukan kejahatan berupa onani, maka dalam rangka menebus dosa, ia diharuskan melakukan “amal sholih di pusat” selama satu bulan, atau membayar uang pengganti sebesar Rp 2.000 per hari (sama dengan Rp 60.000 per bulan). Bila seseorang melakukan kejahatan berupa sempetan/mairil (homo), maka dalam rangka menebus dosa ia harus melakukan “amal sholih di pusat” selama 3 bulan, atau membayar uang pengganti sebesar Rp 2.000 per hari (sama dengan Rp 180.000 untuk tiga bulan). Semua uang itu diberikan kepada sang Imam.

Bahkan untuk dosa besar seperti aborsi (pengguguran kandungan) sekalipun, bisa ditebus dengan duit. Untuk menebus dosa aborsi, yang harus dilakukan adalah melakukan “amal sholih di pusat” selama 6 bulan, atau membayar uang pengganti sebesar Rp 2.000 per hari (sama dengan Rp 360.000 untuk jangka waktu enam bulan).

Adanya ‘fasilitas’ tebus dosa yang dijajakan LDII seperti inilah yang membuat banyak orang awam tertarik masuk LDII, karena apapun dosa yang diperbuat, bisa ditebus dengan amal sholih atau membayar uang denda sebesar Rp 2.000 per hari. Adanya ‘fasilitas’ tebus dosa seperti ini, sama sekali tidak ada bedanya dengan ajaran Islam Jama’ah yang telah dinyatakan sesat oleh MUI.



Menipu

Salah satu ciri khas aliran sesat seperti LDII adalah ketegaannya menipu atas nama agama. Ketegaan itu tentu saja membuahkan hasil tidak sedikit. Bahkan mencapai triliunan rupiah. Koran Radar Minggu, Jombang, pernah menurunkan tulisan tentang LDII sejak 21 Februari 2003 sampai beberapa bulan kemudian (Agustus). Di antaranya, diberitakan tentang kasus penipuan yang mencapai triliunan rupiah. Peristiwa yang terjadi pada tahun 2002-2003, di Jawa Timur, mengungkap banyaknya korban penipuan LDII melalui sebuah kegiatan keuangan non Bank yang disebut investasi.

Kegiatan penipuan tersebut dikelola dan dikampanyekan oleh para tokoh LDII dengan iming-iming bunga 5% per bulan. Ternyata investasi itu ada tanda-tanda duit yang telah disetor sangat sulit diambil, apalagi bunga yang dijanjikan. Padahal dalam perjanjian, duit yang disetor bisa diambil kapan saja.

Jumlah duit yang disetor para korban mencapai hampir 11 triliun rupiah. Di antara korban itu ada yang menyetornya ke isteri amir LDII Abdu Dhahir yakni Umi Salamah sebesar Rp 169 juta dan Rp 70 juta dari penduduk Kertosono Jawa Timur. Dan korban dari Kertosono pula ada yang menyetor ke cucu Nurhasan Ubaidah bernama M Ontorejo alias Oong sebesar Rp 22 miliar, Rp 959 juta, dan Rp800 juta. Korban bukan hanya sekitar Jawa Timur, namun ada yang dari Pontianak Rp 2 miliar, Jakarta Rp 2,5 miliar, dan Bengkulu Rp1 miliar. Paling banyak dari penduduk Kediri Jawa Timur ada kelompok yang sampai jadi korban sebesar Rp 900 miliar. (Lihat Buku HMC Shodiq, Akar Kesesatan LDII dan Penipuan Triliunan Rupiah, LPPI, Jakarta, Cetakan Pertama, Januari 2004).

Ciri khas lain sebuah aliran sesat adalah klaim kebenaran. Di LDII ada doktrin yang dinamakan manqul. Sistem manqul menurut Nurhasan Ubaidah Lubis adalah: “Waktu belajar harus tahu gerak lisan/badan guru; telinga langsung mendengar, dapat menirukan amalannya dengan tepat. Terhalang dinding atau lewat buku tidak sah. Sedang murid tidak dibenarkan mengajarkan apa saja yang tidak manqul sekalipun ia menguasai ilmu tersebut, kecuali murid tersebut telah mendapat Ijazah dari guru maka ia dibolehkan mengajarkan seluruh isi buku yang telah diijazahkan kepadanya itu.” (Drs. Imran AM., Selintas Mengenai Islam Jama’ah dan Ajarannya, Dwi Dinar, Bangil, 1993, hal.24).

Berdasarkan pengertian itu, maka di Indonesia satu-satunya “ulama” yang ilmu agamanya manqul hanyalah Nurhasan Ubaidah Lubis.

Ajaran tersebut bertentangan dengan ajaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memerintahkan agar siapa saja yang mendengarkan ucapan beliau hendaklah memelihara apa yang didengarnya itu, kemudian disampaikan kepada orang lain, dan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memberikan Ijazah kepada para sahabat. Dalam sebuah hadits beliau bersabda:



نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مَقَالَتِي فَوَعَاهَا , ثُمَّ أَدَّاهَا كَمَا سَمِعَهَا .



Artinya: “Semoga Allah mengelokkan orang yang mendengar ucapanku lalu menyampaikannya (kepada orang lain) sebagaimana apa yang ia dengar.” (HR Syafi’i dan Baihaqi).



Dalam hadits ini Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan kepada orang yang mau mempelajari hadits-haditsnya lalu menyampaikan kepada orang lain seperti yang ia dengar. Adapun cara bagaimana atau alat apa dalam mempelajari dan menyampaikan hadits-haditsnya itu tidak ditentukan. Jadi bisa disampaikan dengan lisan, dengan tulisan, dengan radio, tv dan lain-lainnya. Maka ajaran manqulnya Nurhasan Ubaidah Lubis itu jelas sangat mengada-ada. Tujuannya membuat pengikutnya fanatik, tidak dipengaruhi oleh pikiran orang lain, sehingga sangat tergantung dan terikat denga apa yang digariskan Amirnya (Nurhasan Ubaidah). Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala menghargai hamba-hambanya yang mau mendengarkan ucapan, lalu menseleksinya mana yang lebih baik untuk diikutinya. Firman-Nya:



وَالَّذِينَ اجْتَنَبُوا الطَّاغُوتَ أَنْ يَعْبُدُوهَا وَأَنَابُوا إِلَى اللَّهِ لَهُمُ الْبُشْرَى فَبَشِّرْ عِبَادِ(17)

الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ وَأُولَئِكَ هُمْ أُولُو الْأَلْبَابِ(18)



Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembahnya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal. (QS Az-Zumar : 17-18).



Dalam ayat tersebut tidak ada sama sekali keterangan harus manqul dalam mempelajari agama. Bahkan kita diberi kebebasan untuk mendengarkan perkataan, hanya saja harus mengikuti yang paling baik. Itulah ciri-ciri orang yang mempunyai akal. Dan bukan harus mengikuti manqul dari Nur Hasan. Maka orang yang menetapkan harus manqul dari Nur Hasan itulah ciri-ciri orang yang tidak punya akal. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada buku berjudul Bahaya Islam Jama’ah Lemkari LDII, yang diterbitkan oleh LPPI, Jakarta, cetakan ke-10, tahun 2001, khususnya di halaman 258-260.

Aliran sesat seperti LDII ini, memang sulit dipidanakan. Para korban tidak mudah keluar dari penjara kesesatan yang dibagun sang amir dan kaki tangannya. Kalau toh mereka berhasil meloloskan diri dari penjara kesesatan itu, maka belum tentu mereka punya keberanian mengungkapkan pengalaman pahitnya kepada publik. Meski ada di antara mereka yang berani mengungkap ke publik, namun tetap saja sebagian orang tidak percaya.



Kesaksian korban ajaran LDII

Salah satu korban ajaran LDII yang berani mengungkapkan pengalaman pahitnya adalah Ismuyanto. Kesaksian Ismuyanto pernah disampaikan di hadapan petinggi MUI pada tanggal 5 Maret 2007, bersama-sama dengan rombongan LPPI (Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam), FUI (Forum Ummat Islam), dan Dewan Dakwah yang kala itu secara khusus menghadap MUI (Majelis Ulama Indonesia) di Masjid Istiqlal Jakarta (kantor yang lama).

Ismuyanto adalah seorang suami yang kehidupan keluarganya sangat resah akibat isterinya mengaji di LDII yang beralamat di jalan Ciliwung, Depok, Jawa Barat. Ismuyanto warga Lenteng Agung Jakarta selatan ini menuturkan, sejak setahun lebih sampai sekarang, isterinya selalu melawan, bahkan sehari-harinya menantang minta cerai. Sikap seperti itu muncul setelah sang isteri ikut pengajian LDII di jalan Ciliwung, Depok. Isterinya itu mengatakan, para kiai, orang Muhammadiyah, orang NU (Nahdlatul Ulama) dan sebagainya itu masuk neraka semua. Sampai yang jidatnya hitam pun masuk neraka.

“Dalam hal hubungan dengan yang bukan LDII, bahkan saya sendiri sebagai suami, ketika tak sengaja menginjak sajadahnya, maka isteri saya itu marah-marah. Dulu sajadah kami ditumpuk jadi satu, termasuk sajadah dia, tetapi sekarang, setelah mengaji di LDII, sajadah isteri disendirikan, sedang sajadah saya dan anak-anak juga disendirikan. Demikian pula pakaian kami dipisah, di lemari yang berbeda. Pakaian dia tidak boleh campur dengan pakaian kami. Dulu masih mau sahalat berjama’ah dengan saya, sekarang tidak. Dan bahkan senantiasa minta cerai, dan bilang bahwa tinggal menunggu diusir. Ini semua meresahkan bagi saya dan anak-anak saya,” ujar lelaki setengah umur ini tampak resah dan seolah minta tolong atas penderitaannya.

Testimoni Ismuyanto menunjukkan betapa dahsyatnya doktrin yang dibenamkan aliran sesat LDII. Ia dapat merobah pandangan dan penilaian seseorang meski objeknya sama. Bila orang awam, seperti istri Ismuyanto dapat dipengaruhi oleh doktrin sesat LDII, tentunya kita berharap para ulama pewaris para Nabi tidak akan pernah mampu dikecoh oleh doktrin bodoh dan sesat ala LDII. Nah, kalau sosok yang dikenali sebagai ulama berhasil dikecoh oleh aliran sesat LDII, “apa kata dunia?” (haji/tede)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar